Menurut seorang komentator terkenal, Buddhagosa, berlindung mempunyai empat aspek. Pertama adalah penghormatan. Orang tertentu, bila bertemu dengan orang-lain yang lebih unggul darinya, akan bereaksi dengan kecemburuan atau berusaha menjatuhkan orang-lain. Pikiran bahwa seorang mungkin lebih unggul darinya seakan mengancam keberadaannya. Mereka yang sudah matang sebaliknya akan bereaksi dengan kekaguman dan penghormatan, dan dalam agama Buddha, penghormatan pada kebajikan seseorang atau karena tingkat spiritualnya, adalah suatu sikap mental yang bermanfaat. Perasaan hormat kadang-kadang demikian besar sehingga diekspresikan dalam bentuk bahasa badan. Berdiri tegak ketika lagu kebangsaan dikumandangkan, atau sewaktu orang yang lebih tua memasuki ruangan, adalah contoh dari sikap tersebut. Bila kita berlindung pada Tiga Perlindungan, kita menyerahkan diri atau tunduk di depan simbol atau gambar Sang Buddha, sikap badan adalah perwujudan keluar dari perasaan hormat dan syukur dari dalam hati kita. Kita berjanji seperti ini:
Sejak hari ini, saya akan memberi penghormatan, selalu akan setia, menghormat dengan telapak tangan menyatu dan berlindung hanya pada ke tiga ini: Buddha, Dhamma dan Sangha. Demikian kupermaklumkan!
Pengakuan sebagai murid (sissabhavupagamana) adalah perwujudan lain dari perlindungan tersebut. Di dalam agama Buddha, seperti hal-nya pada umumnya agama timur lain, hubungan antara guru dan murid sangat ditekankan (lihat 116). Sang Buddha menerangkan alasan untuk itu:
Seorang guru hendaknya memandang muridnya sebagai anaknya sendiri. Seorang murid hendaknya memandang gurunya sebagai ayahnya sendiri. Jadi, ke duanya, disatukan dalam rasa hormat satu sama lain serta tinggal dalam kerukunan bersama, mencapai perkembangan dan kemajuan di dalam Dhamma dan tata-tertib.
Walau kita mungkin mempunyai guru yang masih hidup ketika menerima perlindungan ini, namun Sang Buddha tetaplah guru utama kita. Keyakinan yang kokoh yang mendorong kita untuk meminta perlindungan pada Tiga Perlindungan, juga akan menciptakan hubungan spiritual yang unik antara kita dan Sang Buddha, walau dalam kenyataannya Sang Buddha telah mencapai Nibbana. Menyangkut hal ini, Sang Buddha bersabda:
Dia yang keyakinannya pada Tathagata telah mapan, mantap, tetap, kokoh, tak-tergoyah oleh pertapa atau Brahmin mana pun, dewa mana pun, Mara, Brahmana, atau siapa pun di dunia ini, dapat dengan sebenarnya berkata: "Saya adalah anak sebenarnya dari Tuanku, terlahir dari mulut-Nya, terlahir dari Dhamma, diciptakan oleh Dhamma, dan pewaris Dhamma.
Kita dapat melihat Sang Buddha dan berhubungan dengan-Nya pada tahap di mana pikiran, ucapan dan tindakan kita sudah selaras dengan Dhamma yang diajar-Nya. Lagi, Beliau bersabda:
Walau seseorang dapat meraih ujung keliman jubah-Ku dan berjalan selangkah demi selangkah di belakang-Ku; tapi bila dia serakah demi keinginan, sengit dalam kerinduan, dengki dalam hati, batinnya menyimpang, tak berhati-hati dan tak-tertahan, berpikiran-kacau dan ribut, dan batinnya tak-terkendali, dia sebenarnya jauh dari-Ku. Mengapa? Karena dia tidak melihat Dhamma, dan karena tidak melihat Dhamma, maka dia tidak melihat Saya. Namun, walau tinggal ratusan mil jauhnya dari Saya, dia yang tidak serakah dalam keinginan, tidak sengit dalam kerinduan, dengan hati yang baik dan batin yang murni, mawas, sabar, tenang, memusatkan-pikiran, dan batin yang terkendali, maka sebenarnya dia dekat pada Saya, dan Saya dekat pada dia. Mengapa? Karena dia melihat Dhamma, dan karena melihat Dhamma, maka dia melihat Saya.
Walau badannya dekat membayangi dibelakang-Ku,
Bila dia tamak dan gelisah,
Betapa jauhnya dia
Yang bergolak dari Yang telah damai,
Yang terbakar dari Yang telah dingin,
Yang rakus dari Yang telah puas!
Tetapi dengan mengerti Dhamma sepenuhnya,
Dan terbebas dari keinginan, berkat wawasannya,
Yang bijaksana, bersih dari keinginan,
Tenang bagaikan kolam tak terhembus angin.
Betapa dekatnya dia
Yang penuh kedamaian dari Yang telah damai,
Yang terdinginkan dari Yang telah dingin,
Yang terpuaskan dari Yang telah puas!
Namun hubungan bisa terlaksana lebih jauh dari sini. Melalui perenungan berkesinambungan pada kebajikan-kebajikan Sang Buddha, dan ketulusan pada kebesaran-Nya serta dengan mengingat sabda-sabda-Nya, maka kita dapat mengisi seluruh batin kita dengan pengaruh-Nya, sedemikian rupa sehingga kita seakan merasakan kehadiran-Nya. Dan bila kita merasakan kehadiran-Nya, kita bertindak seakan ada dalam kehadiran-Nya, dan kita merasakan kepercayaan-diri sepenuhnya yang dikarenakan kehadiran-Nya. Hanya mereka yang benar-benar bersikap setia dan menerima, yang dapat merasakannya. Bagi mereka, Sang Buddha bukan lagi pribadi yang jauh dalam sejarah, namun kekuatan yang hidup dengan kesanggupan merubah dan memberi kekuatan. Pengalaman kehadiran Sang Buddha secara baik digambarkan oleh Pingiya, yang melakukan perjalanan panjang untuk melihat dan mendengarkan Sang Buddha. Ketika dia kembali, dia memuji Sang Buddha di depan gurunya, yang kemudian mempertanyakan masalahnya, karena sebagai murid Pingiya jauh dari guru seperti Buddha, lalu Pingiya menjawab:
Saya tidak dapat jauh, Brahmin, walau sebentar,
Dari Gotama yang adalah kebijaksanaan agung,
Dari Gotama yang adalah pengertian agung.
Dari-Nya, yang mengajarkan saya Dhamma
Yang tampak-seketika, tak terbatas-waktu,
Demi penghancuran keserakahan,
Yang tiada bandingannya di mana pun.
Dengan mengindahkan-Nya siang dan malam, Brahmin,
Saya melihat-Nya dengan batin, pula dengan mata,
Oleh karenanya, saya tidak jauh pula dengan Dia.
Keyakinan, kegembiraan, batin dan kesadaran-Ku
Tak pernah meninggalkan ajaran Gotama yang agung.
Di situ saya menundukkan kepala.
Saya sekarang telah tua, kekuatan telah memudar,
Oleh karenanya, badan ini tidak lagi ke mana-mana,
Tetapi saya tetap bepergian dengan batin
Karenanya, Brahmin, saya ada dalam kehadiran-Nya.
Aspek selanjutnya dari perlindungan adalah Menerima Petunjuk (tapparayanata), yang telah kita pelajari sebelumnya (lihat 181).