//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Syair & Kisah Dhamma yang sangat berkesan pada awal saya belajar Dhamma  (Read 13405 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Berikut ini adalah sedikit kisah dan syair-syair dhamma baik yang berasal dari Dhammapada maupun sumber lainnya yang sangat berkesan bagi diri saya pada saat awal mula saya bertemu dan mulai mempelajari Buddha Dhamma.. semoga bermanfaat bagi semuanya  _/\_

Ayat-ayat Dhammapada :

Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
oleh diri sendiri seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri.
Tak seseorang pun yang dapat mensucikan orang lain.

Biarpun seseorang banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai dengan ajaran, maka orang lengah itu sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain; ia tak akan memperoleh manfaat kehidupan suci.

Biarpun seseorang sedikit membaca kitab suci, tetapi berbuat sesuai dengan ajaran, menyingkirkan nafsu indria, kebencian dan ketidak-tahuan, memiliki pengetahuan benar dan batin yang bebas dari nafsu, tidak melekat pada apapun baik di sini maupun di sana; maka ia akan memperoleh manfaat kehidupan suci.

Bagaikan sekuntum bunga yang indah tetapi tidak berbau harum; demikian pula akan tidak bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang tidak melaksanakannya.

Bagaikan sekuntum bunga yang indah serta berbau harum; demikian pula sungguh bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang melaksanakannya.

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.

"Ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya." Selama seseorang masih menyimpan pikiran-pikiran seperti itu, maka kebencian tak akan pernah berakhir.

Kebencian tak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah satu hukum abadi.

Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai, demikian pula para bijaksana tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian.

Daripada seribu syair yang tak berguna, adalah lebih baik sebait syair yang berguna, yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.



Syair Dhamma

Baik sepatutnya dibalas baik, jahat jangan dibalas jahat bukan tiada pembalasan, hanya belum saatnya. Hukum Karma berlaku abadi.

Menaklukkan ribuan orang belum bisa disebut sebagai pemenang, tetapi mampu mengalahkan diri sendiri itulah yang disebut penakluk gemilang.

Jangan khawatir orang lain tidak mengerti dirimu, khawatirlah kalau kamu tidak mengerti orang lain.

Apa yang tidak ingin diperlakukan kepada anda jangan diperlakukan kepada orang lain.

Tubuh adalah pohon Bodhi, hati laksana cermin yang berbingkai, setiap saat rajin membersihkannya, jangan sampai dikotori debu

Bila melakukan kesalahan janganlah takut untuk memperbaikinya

Harta utama manusia adalah kesehatannya.

Hutang terbesar manusia adalah hutang budi.



Kisah Zen

Ada 4 pelajar Zen sedang berlatih meditasi bersama2 didalam sebuah gua dengan sebuah lilin saja. mereka berkomitmen untuk tidak berbicara dan bermeditasi selama beberapa minggu.

Pada suatu malam, angin bertiup dan api lilin mulai padam..

Pelajar pertama berkata "Astaga, lilinnya padam!"

Pelajar kedua berkata "Eh, kamu tak seharusnya berbicara."

Pelajar ketiga menyahuti "Bodoh kalian berdua !! kenapa kalian bicara !."

Tak lama kemudian pelajar terakhir sambil tetap menutup matanya berkata "Hanya aku saja yang tidak bicara"


Yang Putih Atau Yang Hitam?

Seorang gembala sedang menggembalakan dombanya.
Seorang yang lewat berkata, "Engkau mempunyai kawanan domba yang bagus.

Bolehkan saya mengajukan beberapa pertanyaan tentang domba-domba itu?"
"Tentu," kata gembala itu. Orang itu berkata, "Berapa jauh domba-dombamu berjalan setiap hari?"

"Yang mana, yang putih atau yang hitam?"
"Yang putih." "Ah,yang putih berjalan sekitar enam kilometer setiap hari."
"Dan yang hitam?" "Yang hitam juga."

"Dan berapa banyak rumput mereka makan setiap hari?"
"Yang mana, yang putih atau yang hitam?" "Yang putih."
"Ah, yang putih makan sekitar empat pon rumput setiap hari."
"Dan yang hitam?" "Yang hitam juga."

"Dan berapa banyak bulu yang mereka hasilkan setiap tahun?"
"Yang mana, yang putih atau yang hitam?" "Yang putih."
"Ah menurut perkiraan saya, yang putih menghasilkan sekitar enam pon bulu setiap tahun kalau
mereka dicukur."
"Dan yang hitam?" "Yang hitam juga."

Orang yang bertanya menjadi penasaran. "Bolehkah saya bertanya, mengapa engkau mempunyai kebiasaan yang aneh,membedakan dombamu menjadi domba putih dan hitam setiap kali engkau menjawab pertanyaanku?"

Gembala itu menjawab, "Tentu saja. Yang putih adalah milik saya."

"Ooo, dan yang hitam?"
"Yang hitam juga," kata gembala itu.

Pikiran manusia membuat pemisahan-pemisahan yang bodoh, yang oleh Telah Sadar dilihat sebagai satu.


Jangan berbuat jahat, tambahkanlah kebajikan, sucikan hati dan pikiran, itulah ajaran para Buddha

Dhamma itu indah pada awalnya, indah pada pertengahannya dan indah pada akhirnya.....  _/\_


Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Mengapa seseorang lahir di suatu keluarga miskin atau kaya..

Mengapa bertemu dengan seseorang, berteman, berjodoh dan bahkan menikah..

Mengapa kondisi fisik seseorang sempurna atau bahkan ada pula yg cacat..

Mengapa ada yg hidup bahagia sejahtera, namun ada juga yang menderita, tertimpa musibah dan bencana..

"Ada sebab ada akibat..Semuanya terjadi bukanlah kebetulan saja"

Sesuai benih yg ditabur demikianlah para penabur akan menuai benihnya

Setiap perbuatan kita di kehidupan ini entah baik atau jahat, diri kita sendirilah yg akan menerimanya kembali..

Bila tidak dalam kehidupan kali ini maka di kehidupan yg akan datang..

Seseorang yg telah mengetahui kebenaran ini tidak akan ada niat untuk menyakiti mahkluk hidup apapun di sekitarnya, karena dia tahu bahwa segala perbuatan yg dilakukan olehnya akan kembali juga kepada dirinya sendiri..

Sesuai hukum kekekalan energi, energi hanyalah berubah bentuk dari satu bentuk ke bentuk lainnya, seperti itulah energi perbuatan kembali lagi pada bentuk lainnya di suatu masa.

"Semua mahkluk mewarisi karmanya sendiri"

Bila ingin melihat kehidupan masa lalu sebelum kelahiran ini, lihatlah kehidupanmu saat ini..

Bila ingin mengetahui kehidupanmu di kehidupan yang akan datang, lihatlah apa yg telah dilakukan oleh dirimu pada kehidupan kali ini..

"Jangan berbuat jahat, tambahkan kebaikan, sucikan hati dan pikiran..itulah inti ajaran para Buddha"

Note:
Apabila anda tidak sepaham, ambillah nilai kebaikannya saja apabila ada nilai baik yg anda rasakan dalam renungan ini..apabila tidak ada maka abaikan saja :)

Semoga semua mahkluk terbebas dari penderitaan dan marabahaya..

Semoga semua mahkluk terbebas dari dendam dan bencana

Semoga semua mahkluk berbahagia

Sadhu...sadhu..sadhu  _/\_
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Attana hi katam pipam
attana samkilissati
attana akatam papam
attanava visujjhati
suddhi asuddhi paccattam
nanno annanam visodhaye."

Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
oleh diri sendiri seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri.
Tak seseorang pun yang dapat mensucikan orang lain.

 _/\_
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Aku akan menderita usia tua,
Aku belum mengatasi usia tua.
Aku akan menderita sakit,
Aku belum mengatasi penyakit.
Aku akan menderita kematian,
Aku belum mengatasi kematian.
Segala milikku yang kucintai dan kusenangi
akan berubah, akan terpisah dariku.

Aku adalah pemilik karmaku sendiri
Pewaris karmaku sendiri
Lahir dan karmaku sendiri
Berhubungan dengan karmaku sendiri

Terlindung oleh karmaku sendiri
Apa pun karma yang kuperbuat
Baik atau buruk
Itulah yang akan kuwarisi.
Hendaklah ini kerap kali direnungkan.
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
BRAHMAVIHARAPHARANA

Aham sukhito homi
Semoga aku berbahagia   

Niddukho homi
Bebas dari penderitaan   

Avero homi
Bebas dari penyakit 

Anigho homi
Bebas dari kesukaran   

Sukhi attanam pariharami
Semoga aku dapat mempertahankan kebahagianku sendiri   

Sabbe satta sukhita hontu
Semoga semua makhluk berbahagia 

Niddukha hontu
Bebas dari penderitaan 

Avera hontu
Bebas dari kebencian   

Abyapajjha hontu
Bebas dari kesakitan 

Anigha hontu
Bebas dari kesukaran   

Sukhi attanam pariharantu
Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaanku sendiri   

Sabbe satta dukkha pamuccantu
Semoga semua makhluk bebas dari penderitaan   

Sabbe satta ma laddhasampattito vigacchantu
Semoga semua makhluk tidak kehilangan  Kesejahteraan yang telah mereka peroleh   

Sabbe satta
Semoga semua makhluk   

Kammassaka
Memiliki karmanya sendiri   

Kammadayada
Mewarisi karmanya sendiri   

Kammayoni
Lahir dari karmanya sendiri   

Kammabandhu
Berhubungan dengan karmanya sendiri   

Kammapatisarana
Terlindung oleh karmanya sendiri   

Yam kammam karissanti kalyanam va
papakam va tassa dayada bhavissanti
Apapun karma yang diperbuatnya baik atau buruk itulah yang akan diwarisinya
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Kisah Tentang Dewa Mara

bagian 1

Vasavattimaradhiraja yang sekarang menjadi maharaja dari para dewa Mara yang bertinggal di Sorga Paranimmitavasavatti adalah seorang Bodhisatta yang sedang menyempurnakan paramathaparami untuk mencapai Kebuddhaan di masa mendatang. Usaha itu telah dimulainya dalam hitungan asankheyya.

Semasa Sammasambuddha Kassapa muncul di dunia, Maradhiraja terlahir sebagai seorang manusia yang bernama Bodhi. Dia bekerja sebagai Senapati utama dan terpercaya dari Maharaja King-kissa. Karenanya, dia juga dipanggil Bodhisenapati.

Pada suatu hari, Maharaja Kingkissa - yang mempunyai saddha terhadap Buddhasasana - mendengar bahwa Sang Buddha Kassapa sedang masuk ke dalam Nirodhasamapatti yang penuh kebahagiaan selama tujuh hari, di bawah naungan pohon beringin yang amat besar. Mendekati saat keluarnya Sang Buddha dari Nirodhasamapatti, Maharaja berpikir : 'Sang Buddha akan segera mengakhiri samadhi-Nya. Barang siapa mempersembahkan dana pada saat itu, akan mendapat berkah yang besarnya tak terhingga, apapun keinginannya akan tercapai. Saya tak akan menyia-nyiakan saat yang baik ini.' Lalu mengeluarkan perintah dan pengumuman pada rakyatnya.

'Barang siapa mendahului Maharaja mempersembahkan dana pada Sang Buddha sesaat beliau mengakhiri samadhi-Nya, saya akan menghukum pancung orang itu.'

Untuk itu Maharaja memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk menjaga sekeliling pohon beringin dimana Sang Buddha sedang melakukan samadhi.

Bila ada orang yang datang hendak mempersembahkan dana, diperintahkannya untuk ditangkap. Bodhisenapati tahu akan pengumuman itu. Namun, dia - yang mempunyai saddha yang amat kuat dan bijaksana -tetap mempunyai keinginan untuk mempersembahkan dana kepada Sang Buddha sesaat Beliau mengakhiri samadhi-Nya. Dia berpikir bahwa berkah yang didapat amatlah besar. Dia tak akan menyesal walau harus mati karenanya.

Pada keesokan harinya, di saat Sang Buddha akan mengakhiri samadhi, Bodhisenapati bersama istrinya, menyiapkan makanan persembahan dan pergi menemui Sang Buddha.

Demi melihat Bodhisenapati beserta istrinya, para prajurit penjaga bertanya : 'Wahai Tuan Senapati, kenapa Tuan melanggar perintah Maharaja. Bukankah Tuan tahu bahwa Maharaja melarang siapapun mempersembahkan dana kepada Sang Buddha? Maharaja sendirilah yang akan mempersembahkan. Atau mungkin Tuan akan pergi ke tempat lain?'

Mendengar itu Bodhisenapati berpikir : 'Kalau seandainya saya berbohong kepada mereka, atau menasehati Maharaja untuk mengundang Sang Buddha ke istana, tentu mereka akan percaya dan mengikuti nasehat saya. Tapi, saya tak ingin melakukannya. Sebab, dengan berbohong, berkah yang saya dapat tak akan sesuai dengan harapan. Jadi, sebaiknya saya berkata dengan sesungguhnya, walau harus mati karenanya.'

Maka, iapun menjawab : 'Ya, kami akan mempersembahkan dana makanan pada Sang Buddha.'

Para prajurit itu pun segera menangkap Bodhisenapati dan istrinya. Dan dibawa menghadap Maharaja untuk diadili. Maharaja amat Marah karena dikhianati panglima perangnya dan menjatuhi hukuman pancung terhadap Bodhisenapati dan istrinya.

Kassapa Sammasambuddha tahu semua apa yang terjadi. Dengan mata Kebuddhaan-Nya, Beliau tahu siapa Bodhisenapati. Beliau menaruh metta padanya.

Beliau segera menciptakan bayangan sendiri untuk tetap tinggal di tempat semula, dan beliau sendiri pergi menemui Bodhisenapati yang sedang menanti dilaksanakannya hukuman pancung terhadapnya. Karena kesaktian-Nya, tak seorang pun bisa melihat kedatangan Beliau selain Bodhisenapati dan istri. Lalu berkata : 'Wahai Bodhisenapati, tetaplah tenang. Tetap pertahankan saddhamu. Jangan menyesali kehidupan ini. Segera persembahkan dana makanan yang telah kau persiapkan dengan keyakinan yang penuh terhadap Tathagata.'

Demi mendengar itu, keyakinan Bodhisenapati semakin mantap. Dengan saddha dan piti yang telah memenuhi batinnya, dipersembahkannya dana mereka pada Sang Buddha serta mengucapkan panidhana :

'Sang Buddha sebagai guru dan pelindung bagi semua makhluk. Saya telah rela menerima kematian demi mempersembahkan dana makanan ini pada Sang Buddha. Semoga dana persembahan ini menjadi penyebab bagi keinginan saya untuk mencapai pencerahan sebagai Sammasambuddha di masa yang akan datang.'

Sambil mengelus kepala Bodhisenapati, Sang Buddha Kassapa berkata :

'Apa yang kau harapkan akan tercapai. Wahai Bodhisenapati, yakinlah, dimasa yang akan datang kau akan mencapai pencerahan sebagai seorang Sammasambuddha.'

***********

Setelah dalam waktu yang amat lama mengikuti daur kehidupan dan kematian dalam vattasamsara ini, Bodhisenapati terlahir sebagai dewa Mara, menguasai Sorga Paranimitavasavatti. Dan sempat bertemu dengan Sang Buddha Gotama, yang sebenarnya merupakan kesempatan yang amat baik untuk berbuat kebajikan dan belajar Dhamma pada Buddha Gotama.

Namun, kesempatan yang amat baik itu sama sekali tidak dimanfaatkannya. Bahkan, sebaliknya, ia selalu menghambat, menghalang dan mengganggu Sang Buddha; sejak awal usaha untuk mencapai Kebuddhaan, hingga menjelang akhir dari kehidupan Sang Buddha. Sebagai dewa puthujana yang amat sakti namun dikuasai oleh kilesa, dengan sombongnya ia menguji dan menghalangi kegiatan Sang Buddha Gotama yang penuh metta. Namun, segala perbuatan jeleknya itu tak (sampai) bisa digolongkan sebagai garuka kamma yang menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam neraka Avici, seperti Bhikkhu Devadatta yang telah melukai Sang Buddha dan memecah belah Sangha.

Kiranya, perbuatannya itu bisa diibaratkan sebagai seorang anak nakal atau durhaka yang selalu tak menyetujui dan melawan orang tuanya. Dan ternyata, Sang Buddha pun tak pernah meramalkan sesuatu yang jelek pada dewa Mara seperti kepada bhikkhu Devadatta.

Rupanya, kenakalan dewa Mara muncul kembali manakala ia tahu ada seseorang yang berusaha melestarikan dan mengembangkan Dhamma secara murni.

Itu terbukti saat Asoka Maharaja akan mengadakan peresmian dan perayaan atas terselesaikannya pemugaran candi-candi Buddha di India, kurang lebih 200 tahun setelah Sang Buddha parinibbana. Ia berusaha mengganggu dan menggagalkan perhelatan besar itu. Namun, kenakalannya itu bisa diredam oleh Upagupta Thera, yang membuat dewa Mara jera dan menyesal. Kembali mengucapkan adhitthana untuk menjadi Sammasambuddha.

Menjelang diadakannya perhelatan peresmian dan perayaan atas berhasilnya pemugaran candi-candi Buddha dan pelestarian Buddhasasana yang diprakarsai oleh Asoka Maharaja, para bhikkhu Arahat dan menguasai Abhinna, berkumpul diketuai oleh Moggalliputta Tissa Thera. Mereka membicarakan tentang maksud dewa Mara yang akan datang mengganggu dan menghalangi terlaksananya perhelatan tersebut. Walaupun para bhikkhu itu telah mencapai Kearahatan dan menguasai Abhinna, namun mereka merasa tak seorang pun mampu mengalahkan kesaktian dewa Mara. Mereka mengetahui dengan mata dewa mereka, hanya seorang bhikkhu yang mampu mengatasi dewa Mara. Dia adalah Kisanaga Upaguta Thera juga disebut Upagupta Thera ) yang saat itu berdiam di dasar samudera Hindia.

Sang Buddha pernah meramalkan bahwa di masa yang akan datang akan muncul seorang bhikkhu bernama Upagupta yang akan meredam kejahatan dewa Mara dengan kesaktiannya yang membuat Mara sadar akan kesalahannya.

Upagupta Thera adalah seorang bhikkhu yang amat sederhana dan lebih suka tinggal sendiri di tempat-tempat yang hening. Tak suka berkumpul beramai-ramai. Dia suka mengembara di hutan-hutan, juga di samudera. Bila tinggal di dasar laut, ia akan menciptakan kuti dari kaca, dan tinggal sendiri dengan tenang dalam jhana samapatti berlama-lama. Tanpa makan dan minum. Hingga badannya amat kurus. Karenanya, ia dinamakan bhikkhu Kisanaga Upagupta.

Pasamuan Sangha memutuskan mengirim dua orang bhikkhu mengundang bhikkhu Upagupta untuk mengatasi gangguan dewa Mara.

Maka dalam sekejap, dua bhikkhu sakti itu telah tiba dihadapan bhikkhu Upagupta. Setelah saling tegur dengan Dhamma patisanthara, bhikkhu utusan itu berkata:

'Avuso Upagupta, kami diutus oleh Pasamuan bhikkhu mengundang Anda untuk ikut membantu terlaksananya perhelatan kita. Kami dengar Mara akan datang menggagalkan maksud kami. Sangha menugaskan Anda untuk mengatasi Mara. Kami harap Anda tak menolak tugas ini.'

Bhikkhu Upagupta pun menjawab :

'Baiklah Avuso, saya menyanggupi tugas ini. Sekarang silakan Avuso pergi lebih dulu. Saya segera akan menyusul.'

Maka, menghilanglah kedua bhikkhu itu dari hadapan Upagupta Thera dan muncul kembali di tengah-tengah Pesamuan para bhikkhu. Tapi, apa yang mereka lihat? Ternyata bhikkhu Upagupta telah tiba lebih dulu. Duduk dengan tenangnya di hadapan Moggalliputta Tissa Thera.

Keesokan harinya, bhikkhu Upagupta pergi pindapata, menerima dana makanan dari para upasaka-upasika. Kala itu Asoka Maharaja melihat bhikkhu Upagupta yang bertubuh amat kurus, merasa ragu-ragu : 'Dewa Mara terkenal amat sakti. Mungkinkah orang sekurus bhikkhu Upagupta itu mampu mengalahkan kesaktian dewa Mara?' Untuk meyakinkan dirinya, ia ingin menguji kemampuan bhikkhu kurus itu. Maka, dengan segera ia memanggil pengawalnya dan memerintahkan membuat mabuk seekor gajah istana yang besar dan dilepas menghadang perjalanan bhikkhu Upagupta.

Sang gajah dengan liar dan ganasnya segera menyerang bhikkhu Upagupta.

Melihat itu, Upagupta Thera segera masuk ke dalam metta jhana dan mengirimkan getaran metta ( cinta kasih ) pada gajah yang sedang mabuk itu, membuat sang gajah tersadar dari keadaan mabuknya. Kembali menjadi gajah istana yang perkasa tapi jinak dan manis. Dengan lembutnya, ia menekuk kaki depannya dan bernamakkara di hadapan Upagupta Thera. Upagupta Thera mengelus kepala si gajah lalu dengan tenang meneruskan perjalanan.

Perhelatan yang konon dilaksanakan selama tujuh tahun, tujuh bulan dan tujuh hari itu dibuka langsung oleh Maharaja Asoka dengan hati yang tenang karena ia yakin pada kemampuan bhikkhu Upagupta.

Perayaan itu dibuat amat meriah dan mewah. Lampu-lampu hias dan penerangan amatlah indah dan cemerlang. Terutama lilin-lilin, bunga-bunga serta dupa pemujaan di altar Sang Buddha ditata begitu indahnya. Sabda-sabda Sang Buddha dilantunkan kembali oleh para bhikkhu dengan suara yang teratur dan merdu. Suasana benar-benar sakral dan menyejukkan hati. Rakyatpun amat bersuka hati dengan diadakan keramaian itu. Raja yang dermawan dan bijaksana itu berhasil merebut hati rakyatnya dengan penerapan Dhamma yang benar.

----------
(Pengabdian Asoka Maharaja terhadap Buddhasasana bukan hanya pemugaran candi-candi Buddha di India. Namun, juga mendukung diadakannya Sangayana yang ketiga. Mendukung pengiriman para Dhammaduta ke luar negeri. Yang terkenal diantaranya yaitu, putra-putrinya sendiri, Mahinda Thera dan Sanghamitta Theri yang dikirim ke Sri Langka. Mahinda Thera mengadakan Sangayana disana. Sementara Sanghamitta Theri mendirikan Sangha Bhikkhuni. Dan, Dhammaduta yang diketuai oleh Sona Thera dan Uttara Thera yang menyebarkan Dhamma ke Burma, Thailand dan sekitarnya, sempat mampir ke pulau Jawa sejenak. Namun, karena perjalanan ke tenggara itu amat berat, tak seorang bhikkhuni pun menyertai sebagai Dhammaduta sehingga tidak terdapat Sangha Bhikkhuni di tempat yang dikunjungi Sona Thera dan Uttara Thera).
--------------

Namun, perhelatan yang memang telah direncanakan amat meriah dan menarik itu, ternyata masih ditambah dengan suatu pertunjukan seru dan mengerikan yang tak diduga sebelumnya. Membuat suasana semakin meriah. Itu disebabkan oleh ulah dewa Mara yang merasa tak senang atas berhasilnya pemugaran candi-candi Buddha dan kini sedang dirayakan. Hatinya merasa gatal melihat kejayaan Buddhasasana.

Dengan segera ia turun dari Sorga Paranimitavasavatti dan menciptakan badai, angin puyuh yang dahsyat menyapu segala perlengkapan perhelatan yang telah diatur sedemikian indah. Melihat itu, Upagupta Thera segera masuk jhana dan ber-adhitthana menghentikan badai dahsyat itu dan mengembalikan segala sesuatu yang telah porak poranda ke tempatnya semula. Dewa Mara terkejut dan merasa terhina demi melihat lawannya hanyalah seorang bhikkhu yang bertubuh amat kurus dan jangkung. Dia merubah diri menjadi seekor kerbau hutan yang amat besar dan ganas. Mengamuk dan merusak barang-barang di sekitarnya. Lalu berlari menubruk hendak melumat tubuh bhikkhu Upagupta.

Sang Thera mengubah diri menjadi seekor harimau yang jauh lebih besar dari kerbau hutan itu. Langsung menerkam dan menangkap si kerbau, membuat si kerbau menguak dan meraung kesakitan. Harimau besar tidak juga melepaskan kerbau yang telah tak berdaya itu, membuat Mara semakin marah dan mengubah diri menjadi seekor naga. Meronta, membebaskan diri dan menyemburkan api beracun menyerang harimau besar. Dengan cepat harimau itu mengubah diri menjadi seekor garuda yang amat besar. Menyambut serangan nagaraja dengan paruhnya yang menganga lebar.

Maka, berlagalah kedua makhluk dahsyat itu dengan serunya. Segala jurus dan usaha dari nagaraja untuk membelit dan menundukkan raja garuda selalu gagal. Dengan lincah dan ligatnya garuda menghindar dan membalas serangan sang naga. Api berbisa yang berkobar-kobar pun seolah-olah bagaikan angin sepoi-sepoi dirasakan garuda.

Akhirnya, sang garuda berhasil menangkap leher naga dengan paruhnya. Diterkamnya tubuh sang naga dengan cakarnya yang besar dan tajam serta dibawa terbang ke udara. Dalam keadaan yang tak berdaya, badan sang naga terombang-ambing di udara lalu dihempaskan kembali ke bumi. Mara semakin gusar dengan kekalahan yang membawa siksa ini.

Ia segera mengubah diri menjadi raksasa yang amat besar dengan taring yang mengerikan. Tangan kanannya menggenggam gada pemukul sebesar pohon kelapa. Meraung-raung menyerang garuda. Namun, garuda pun segera berubah menjadi raksasa pula. Badannya lebih besar dan kedua tangannya memegang gada pemukul pula. Menyambut serangan raksasa Mara. Saling serang, saling mengelak. Bumi pun berdentam-dentam akibat hempasan kaki kedua raksasa. Pukulan-pukulan raksasa Mara sering tidak mengenai sasaran bahkan kalau mengena pun seolah tak dirasa oleh raksasa ciptaan Sang Thera. Namun, pukulan raksasa ciptaan Sang Thera terasa amat menyakitkan di tubuh maupun hati raksasa Mara. Tubuhnya terasa remuk redam dan hatinya pun merasa amat sakit dan pilu menerima setiappukulan yang mengena.

Dewa Mara teringat saat bersama pasukannya menyerang Sang Buddha. Semua senjata yang dilontarkan menyerang tubuh Buddha Gotama berubah menjadi rangkaian besar bunga yang indah memayungi Sang Buddha. Pasukannya mundur tersapu badai. Sang Buddha membalas serangan-serangan dahsyat Mara dengan metta. Beliau sama sekali tidak membalas serangan dengan siksaan seperti yang diterimanya sekarang.
Bhikkhu Upagupta - murid Sang Buddha itu - telah membuatnya benar-benar tak berdaya dan tersiksa. Tubuhnya kembali menjadi dewa Mara, terpuruk lemas di hadapan Sang Thera yang berdiri dengan tenangnya.

Sebenarnya, ia ingin mengerang dan merintih karena rasa sakit di sekujur tubuhnya. Namun, perasaan angkuh yang masih menguasai dirinya membuatnya bungkam seribu basa. Rupanya, penderitaan yang dialaminya itu belum mampu menghancurkan kesombongan dan keangkuhan yang selama ini menjadi kebanggaannya. Dengan pasrah ia menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya pada dirinya, karena memang tak mampu berbuat selain dari itu.

Dengan kesaktiannya, Upagupta Thera menciptakan bangkai anjing yang telah berbau sangat busuk dan berulat. Lalu dikalung-kan pada leher dewa Mara serta beradhitthana :
'Tak seorang pun, dewa bahkan brahma yang mampu melepas bangkai anjing ini dari lehermu.'

bersambung ke bagian 2..
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
bagian 2 (end)

Dewa Mara pun amat terkejut mendengarnya. Kesombongan dan keangkuhan kembali mengendalikan batinnya. Dengan marahnya ia terbang mencari pertolongan pada dewa Catumaharajika. Namun, dewa-dewa Catumaharajika hanya bisa menjawab :

'Tuanku, Tuan saja yang lebih sakti dari kami tak mampu melepasnya. Apalagi kami.'

Begitupun ketika minta pertolongan pada dewa-dewa yang lebih tinggi dari dewa-dewa Catumaharajika, seperti Yamadhiraja dan lain-lain.


Mereka menjawab :

'Tuanku, Tuan saja yang lebih sakti dari kami tak mampu melepasnya. Apalagi kami.'

Mendengar jawaban itu, ia tak segera putus asa. Ia terbang menemui dewa Brahma bahkan Maha Brahma untuk minta pertolongan melepas bangkai anjing yang menjijikkan itu dari lehernya.

'Wahai Maha Brahma yang sakti dan baik hati, tolong lepaskan bangkai anjing ini dari leher saya. Bangkai anjing ini semakin lama semakin busuk saja.'

'Sayang sekali, dewa Mara. Bukannya kami tak mau menolong Anda. Tapi, sebenarnyalah, tak seorang pun dewa atau Brahma di tiga alam ini yang mampu melepas bangkai yang menghiasi leher Anda itu. Hanya ada satu orang yang mampu melakukannya.'

'Katakanlah Tuan, siapa yang mampu melakukannya?' tanya dewa Mara penuh harap. Tapi, jawaban Maha Brahma membuatnya berkecil hati kembali.

'Dia adalah Upagupta Thera, Buddhasavaka yang telah mencapai Kearahatan dan mempunyai Chalabhinna.'

'Murid Gotama itu telah menyiksaku. Tolong nasehatkan padaku, apakah aku harus merengek-rengek padanya? Maha Brahma, saya merasa keberatan berhadapan muka dengannya. Hendak ditaruh dimanakah muka saya ini?'

'Wahai dewa Mara. Kami nasehatkan, kembalilah padanya. Sang Thera adalah seorang yang penuh metta seperti Buddha Gotama gurunya. Atau Anda menunggu hingga Sang Thera Parinibbana? Lalu, siapa pula yang mampu melepas bangkai itu dari leher Anda? Apakah Anda menghendaki perhiasan itu selama hidup Anda?'

Maka, dewa Mara pun berpikir : 'Baiklah! Kalau memang hanya bhikkhu itu yang mampu melepaskannya, aku akan pergi padanya. Bila telah terbebas dari bangkai menjijikkan ini, aku akan pergi dan tak ingin melihat mukanya lagi.'

Setelah berpamitan, maka ia kembali ke dunia menemui bhikkhu Upagupta.

Bhikkhu Upagupta duduk samadhi di kaki gunung Himalaya, seolah sedang menunggu kedatangan dewa Mara. Dewa Mara duduk di hadapan Sang Thera, menunggu dengan tertibnya.

'Dewa yang baik, kau telah kembali rupanya. Kemana saja selama ini?' tegur Sang Thera. Mendengar pertanyaan ini, makin guguplah ia, seperti seorang anak nakal yang ditegur ayahnya.

'Bhante, lepaskanlah bangkai ini dari leher saya.' Hanya itu yang diucapkannya. Sang Thera pun tahu bahwa dewa sakti itu masih tetap dikuasai kesombongan dan keangkuhan.

Bhikkhu Upagupta berdiri. Melolos ikat pinggangnya serta melemparkannya pada dewa Mara. Ikat pinggang itu memanjang di udara, jatuh tepat di tubuh dewa Màra, membelit, mengikat tubuh dewa Mara.
Tubuh yang telah terikat erat dan tak bisa berkutik itu dijinjing oleh
Sang Thera, dibawa terbang menuju puncak gunung Himalaya.

'Lebih baik kau beristirahat di sini selama perhelatan yang diadakan Asoka Maharaja berlangsung. Dengan begini, kau tak bisa mengganggunya,' kata bhikkhu Upagupta sambil mengikat tubuh dewa Mara pada puncak Himalaya. Dan Sang Thera pun beradhitthana :

'Tak seorang pun, dewa bahkan Brahma yang akan mampu melepaskanmu.' Dan ditinggalnya Mara terikat sendirian di atas sana selama tujuh tahun, tujuh bulan dan tujuh hari. Alangkah menderitanya dewa malang itu. Ia hanya bisa mengerang, mengeluh dan meronta tanpa bisa melepaskan diri.

*******

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan pun berganti tahun. Akhirnya, tiba pula saatnya perayaan meriah itu paripurna. Bhikkhu Upagupta pergi ke tempat dewa Mara terikat sedang merenungi dan meratapi nasibnya tanpa bisa dilihat oleh dewa Mara. Sang Thera sengaja tak menampakkan diri agar bisa tahu apakah dewa Mara telah jera atau belum.

Mara yang tahu bahwa hari itu adalah hari berakhirnya perhelatan besar, yang berarti akan terbebaskannya dirinya dari derita setelah tujuh tahun lebih harus berkalungkan bangkai anjing busuk dan badan terikat erat tak bisa beranjak kemana pun.

Baru kali ini dia punya kesempatan merenungkan semua tindakan dan tingkah laku yang salah di masa lalu. Dalam keadaan tak berdaya, batinnya bisa berpikir dengan jernih. Bukan dia yang terhebat di dunia ini!

Dia teringat, karena pikiran usilnya, mengganggu Buddha Gotama yang tak pernah berbuat salah padanya, dengan segala macam cara. Sammasambuddha Gotama yang telah mencapai kesucian tertinggi, terbebas dari nafsu, dia umpan dengan anak-anak gadisnya yang cantik menggairahkan.

Sammasambuddha Gotama yang menguasai segala kesaktian, dia serang dengan kekuatan penuh, dengan pasukan dan senjata lengkap. Sang Buddha mengalahkannya tanpa menyakitinya, tanpa menyiksanya. Keusilannya belum cukup sampai di situ. Kemudian, ia meminta Buddha Gotama untuk segera memasuki Parinibbana.
Begitupun ketika Buddhasasana, karya Sang Buddha berjaya, iapun merasa tak senang. Sang Buddha tak pernah mempunyai urusan dengannya. Buddhasasana pun tak pernah menyusahkannya. Tapi, kenapa pula ia mencari perkara terhadap orang yang tak bersalah. Kenapa pula ia usil terhadap orang yang tak pernah mengusilinya.

Dan kini, karena ulahnya itu, ia terkena batunya. Ia harus tersiksa karenanya. Murid Buddha Gotama yang muncul dua ratus tahun setelah Sang Buddha Parinibbana itu telah memberinya pelajaran yang amat berharga, walau terasa amat pahit. Membuat mata hatinya terbuka lebar. Membuatnya sadar, betapa jahatnya dirinya, betapa usilnya dirinya, betapa bodohnya dirinya.

Mengingat itu semua, dia merasa amat malu pada dunia. Dia merasa amat malu pada Buddha Gotama. Dia merasa amat malu pada bhikkhu Upagupta. Dan lebih dari itu semua, ia merasa amat malu pada diri sendiri. Dia menyesali diri sendiri yang telah buta terhadap kebaikan. Mengabaikan kesempatan yang amat langka.

Akhirnya, ia merasa amat marah terhadap dirinya sendiri. Giginya mengatup, menggeretak. Dengan geram ia meronta. Dihentakkannya kakinya beberapa kali ke tanah. Bumi pun berguncang. Salju pun pecah bertebaran, berserakan menggelinding ke bawah mengikuti aliran sungai Gangga.

Setelah melampiaskan kemarahan yang mengganjal di dada, Dewa Mara merasa lilih, tenang. Pikirannya menjadi semakin jernih.

'Alangkah beruntungnya aku bertemu dengan bhikkhu Upagupta yang mampu menyadarkan diriku. Apa yang terjadi bila tak seorang pun mampu mengajarku. Tentu aku akan tetap tersesat pada kejahatan. Tapi, akan lebih baik lagi bila aku mampu mencapai pencerahan sebagai Sammasambuddha yang penuh welas asih, sebagai pelindung dan guru dari semua makhluk' pikirnya.

Maka, di kesunyian puncak Himalaya yang amat dingin dan penuh salju, dengan lantangnya dewa Mara, penguasa sorga Paranimmitavasavatti itu, beradhitthana : 'Wahai alam semesta dan seisinya, saksikanlah, aku, Maradhiraja penguasa sorga Paranimmittavasavatti, sejak saat ini, menyatakan diri berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha, bertekad akan berusaha menyempurnakan parami untuk mencapai penerangan sempurna sebagai Sammasambuddha, pelindung dan guru bagi semua makhluk.
' Sesudah menguncarkan adhitthana itu, batinnya dipenuhi oleh ketenangan dan kebahagiaan. Ketenangan dan kebahagiaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.

Tiba-tiba, muncullah Upagupta Thera di hadapannya. Dengan malu-malu dewa Mara menegur Sang Thera : 'Bhante, berarti sejak tadi Bhante telah berada di sekitar tempat ini.'

'Benar, dewa yang baik. Saya tahu apa yang Anda perbuat dan mendengar apa yang Anda katakan. Maka dari itu, ijinkan saya menyampaikan hormat saya pada Anda, seorang Bodhisatta.'

'Tapi, Bhante dengan begitu kejamnya telah menyiksa saya. Saya tak ingin menjadi seorang Arahat seperti Bhante, karena saya tak ingin ada orang tersiksa seperti saya. Saya ingin menjadi Sammasambuddha yang penuh welas asih.'

Dengan tersenyum geli, Upagupta Thera berkata :

'Dewa yang baik, janganlah Anda mendendam pada saya. Karena kamma kita di masa lampau, kita berdua harus sering bertemu dan saling menyakiti. Tapi, dalam kehidupan ini, sayalah yang menang dan berhasil mengingatkan Anda kembali ke jalan yang benar.
Itu tugas akhir saya terhadap Anda. Bukankah kita tak akan bertemu lagi pada kehidupan yang akan datang? Karenanya, harap Anda memaafkan saya bila Anda merasa tersiksa karenanya. Jadi, bukan karena saya tak mempunyai welas asih. Tapi, semata-mata karena kewajiban yang harus saya lakukan.'

'Bhante benar. Tak ada lagi hutang piutang diantara kita. Saya merasa amat berterima kasih pada Bhante yang telah menolong saya untuk kembali ke jalan yang benar. Dan Bhante ..., telah terlalu lama saya menderita begini. Tolong bebaskanlah saya sekarang. Saya telah rindu pada kebahagiaan sorgawi di istana saya' pintanya.

Bhikkhu Upagupta memejamkam mata sejenak, sambil mengatupkan kedua telapak tangan di dada. Maka, terurailah ikat pinggang yang membelit tubuh dewa Mara, melayang di udara, menjadi pendek seperti semula dan jatuh tepat di tangan Sang Thera. Bangkai anjing di leher Mara pun lenyap seketika.

Dewa Mara menarik napas dengan lega. Dia merasa amat kagum pada kesaktian Sang Thera, murid Sang Buddha. Kalau muridnya saja begitu sakti, bagaimana pula dengan Sang Buddha. 'Sebelum Anda kembali ke tempat Anda, bolehkah saya meminta sesuatu pada Anda?' tanya Upagupta Thera setelah membebaskan dewa Mara.

'Tentu, Bhante. Apakah yang harus saya perbuat untuk Bhante?'

'Wahai dewa Mara. Dalam satu hal, saya merasa kurang beruntung. Saya dilahirkan jauh sesudah Sang Tathagata parinibbana. Karenanya, saya tak pernah bertemu dan melihat langsung bagaimanakah rupa dari Guru saya tersebut. Dalam hal ini Anda lebih beruntung dari pada saya. Anda pernah bertemu dan melihat langsung Sang Buddha. Saya harap Anda mau mengubah diri Anda menjadi Sang Buddha agar saya dapat melihat bagaimanakah Guru saya itu. Itulah permintaan saya.'

'Baiklah, Bhante. Tapi, dengan satu syarat yang harus Bhante penuhi. Bila saya telah mengubah diri menjadi Sang Buddha, janganlah Bhante namakkara pada saya. Saya tak sanggup lagi menerima buah kamma buruk karenanya,' kata Mara penuh kekhawatiran.

'Baiklah,' jawab Sang Thera.

Maka, Mara mengubah diri menjadi Buddha Gotama, lengkap dengan Mahapurisalakkhana (tiga puluh dua ciri-ciri Kebuddhaan). Berjalan dengan anggunnya diiringi oleh Asitimahasavaka (delapan puluh murid-murid utama).

Setelah cukup lama memperhatikan dengan seksama, dengan penuh hormat, Upagupta Thera melakukan namakkara di hadapan Sang Buddha.

Dengan segera lenyaplah pemandangan Sang Buddha beserta murid-muridnya, berganti dengan dewa Mara yang sedang berdiri dengan muka cemberut memandang Sang Thera.

'Mengapa Bhante mengingkari janji? Mengapa Bhante namakkara pada saya? Lalu, buah kamma apa lagi yang akan saya terima karenanya? Dulu saya telah banyak berbuat jahat pada Sang Buddha. Dan saya harus tersiksa dengan badan terikat di puncak Himalaya ini,' kata Mara dengan penuh kecemasan.

'Janganlah anda cemas. Saya tak mengingkari janji. Bhikkhu Upagupta tidak melakukan namakkara pada dewa Mara. Saya melakukan namakkara pada Sang Buddha, guru saya. Hal itu sama sekali tak berpengaruh pada anda. Anda tidak akan menerima akibat buruk karenanya. Terima kasih atas kebaikan anda. Kini, silakan kembali ke tempat Anda di sorga Paranimmitavasavatti. Sayapun akan kembali ke senasana saya di laut selatan. Selamat tinggal, dewa Mara.' Maka lenyaplah Sang Thera dari pandangan dewa Mara.

Dewa Mara pun segera kembali ke sorga Paranimmitavasavatti, tingkatan sorga yang tertinggi di antara sorga para dewa.

Kini, Maradhiraja yang biasa dikenal sebagai dewa Mara, masih bertinggal di sorga Paranimmitavasavatti sebagai seorang Bodhisatta yang sedang menghimpun Dasaparami.

 _/\_
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
K A M M A

"Sesuai dengan benih yang di tabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebaikan, pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula. Taburlah biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan merasakan buah dari padanya".


Pemuda Subha menghadap Sang Buddha untuk menanyakan perbedaan nyata di antara umat manusia, "Apakah alasannya dan sebabnya, o Guru, kita jumpai di antara umat manusia ada yang berumur pendek dan berumur panjang, berpenyakit dan sehat, jelek dan rupawan , tak berpengaruh dan berpengaruh, miskin dan kaya, hina dan mulia, dungu dan bijaksana."

Sang Buddha bersabda : "Semua mahluk hidup mempunyai karma sebagai milik mereka, warisan mereka, sebab awal mereka, kerabat mereka, pelindung mereka. Karma itulah yang membedakan makhluk hidup dalam keadaan rendah atau tinggi." (Majjhima Nikaya, Cullakammavibhanga Sutta, 135)


Sebagai Buddhis yang mempercayai hukum karma maka kita tidak perlu mencela orang lain yang melakukan perbuatan paling jahat sekalipun, karena selain mereka juga akan memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, juga mereka tidak akan dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya sendiri.

Sang Buddha bersabda : " Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun, juga dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya. " (Dhammapada, 127)
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Orang-Orang Buta dan Seekor Gajah
 
Suatu ketika Sang Budha menceritakan kepada para muridnya sebuah kisah tentang “Orang-Orang Buta dan Seekor Gajah”. Buddha menceritakan hal itu, karena pada waktu itu, ia melihat banyak guru yang berselisih paham tentang “kebenaran”. Mereka tidak mengerti apa itu kebenaran? Baginya sangatlah aneh, mengapa setiap guru mengatakan bahwa apa yang dikatakannya adalah yang paling benar dan apa yang dikatakan guru lain tidak benar. Setelah Sang Budha meninggal dunia, kisah ini berkembang tidak hanya di India, dimana sampai saat ini kisah ini dapat kita temukan pada buku-buku pelajaran di sekolah, tetapi juga di bangsa dan kebudayaan lain kisah ini diceritakan karena darinya kita dapat memetik pelajaran berharga. Kisahnya sebagai berikut:

Pada suatu hari, Seorang Raja di India Utara memerintahkan pelayan-pelayannya untuk memanggil semua orang yang buta sejak lahir ke istana. Kepada pelayan yang lain, ia memerintahkan supaya menghadapkan kepadanya seekor gajah. Orang-orang buta ini tentu saja belum mengerti ‘seperti apa itu gajah’ dalam hidupnya. Mereka tidak tahu. Lalu, mereka meraba-raba gajah tersebut, tetapi hanya diberi kesempatan untuk memegang bagian-bagian tertentu saja. Selanjutnya, Sang Raja meminta masing-masing dari mereka menggambarkan apa dan bagaimana gajah itu.

Si Buta yang telah meraba-raba kaki gajah mengatakan bahwa gajah itu seperti batang pohon. Si Buta yang meraba perut gajah mengatakan bahwa gajah itu seperti balon. Si buta yang meraba bagian taringnya mengatakan bahwa gajah itu seperti batang kayu yang bulat dan licin. Si Buta yang kebagian kepalanya mengatakan bahwa gajah itu seperti periuk. Tidak ketinggalan juga Si buta yang harus meraba bagian belalainya mengatakan bahwa gajah itu seperti selang air. Akhirnya Si Buta yang telah meraba bagian buntutnya mengatakan bahwa gajah itu seperti tali tambang yang rusak. Apa yang terjadi kemudian?


Selanjutnya, mereka saling bertengkar dan tidak mau kalah satu dari yang lainnya. Masing-masing yakin dengan apa yang telah mereka rasakan dan alami dan menganggap apa yang dikatakan temannya salah. Mereka tidak mau mengalah dan akhirnya mereka berkelahi. Dengan kejadian itu Sang Raja merasa terhibur.

Tetapi sebenarnya siapa di antara mereka yang benar? Dan siapa yang salah ? Tentu saja, Sang Raja yang salah karena karena telah memperdaya si buta agar dirinya terhibur dan tentu saja karena sebenarnya Sang Raja sendiri telah mengetahui apa itu gajah. Tetapi, bagi Si Buta, itu merupakan hal yang sangatlah sulit. Masing-masing dari mereka telah menceritakan dengan tepat apa yang telah mereka rasakan ketika meraba. Mereka telah melakukannya dengan baik. Masing-masing mengatakan kebenaran. Tak seorang pun dari mereka berbohong, meskipun sesungguhnya mereka belum menceritakan apa itu gajah secara keseluruhan. Masing-masing dari mereka hanya menceritakan bagian per bagian dari gajah dari apa yang telah mereka raba.

Kesalahan mereka terletak bukan dalam soal kualitas, melainkan keyakinan dan pernyataan mereka yang salah. Tak seorangpun menyadari bahwa masing-masing dari mereka hanya mengatahui sebagian dari gajah saja. Tiba-tiba datang seorang ilmuwan (peneliti) yang juga buta sejak lahir di arena pertengkaran dan harus memecahkan persoalan tersebut. Kira-kira apa yang akan dilakukannya? Tentu saja ia akan mengkalkulasi apa yang dikatakan dari masing-masing Si Buta. Lalu ia membuat prosentase berapa persen dari mereka yang membandingkan seekor gajah dengan batang kayu, balon, batang kayu yang bulat dan licin, selang air, periuk dan tali tambang.

Akhirnya, ia menemukan bahwa 40% dari mereka telah membandingkan seekor gajah dengan batang pohon, 20 % dari mereka membandingkannya dengan batang kayu yang bulat dan halus dan 10% masing-masing dari yang lainnya membandingkannya dengan periuk besar, balon, selang dan tali tambang yang rusak. Sayang sekali bahwa akhirnya ilmuwan tersebut menyimpulkan bahwa gajah itu seperti batang pohon. Dalam kasus ini ia begitu yakin bahwa kebenarannya ialah bahwa gajah itu seperti batang kayu karena hampir setengah dari mereka telah mengatakannya. Padahal, yang mayoritas itu tidak secara otomatis lalu berarti benar, bukan?

Sebenarnya, tidak terlalu sulit bagi si buta tersebut untuk memecahkan persoalan itu yang akhirnya mereka mengerti dengan tepat apa itu gajah yang sesungguhnya, kata Sang Budha. Masing-masing dari mereka harus mengerti bahwa ia sesungguhnya hanya mengerti sebagian dari gajah saja. Oleh sebab itu pertama-tama mereka harus saling mendengarkan apa yang dikatakan lawan bicara, bukan berusaha keras melawan apa yang dikatakan si lawan bicara, mencari dalih-dalih untuk memperkuat pernyataan sendiri.

Selanjutnya mereka harus saling bekerjasama. Mereka secara bersama-sama harus membentuk satu pengertian yang terdiri atas banyak sudut pandang. Dengan kata lain, yang kedua harus saling belajar dari yang lainnya. Berusaha mengerti dan memahami apa yang dikatakan orang lain. Mereka perlu mengerti dan menerima pandangan yang telah ditangkap lawan bicara. Barangsiapa membagi pengetahuannya kepada orang lain, ia tidak akan kehilangan sedikit pun daripadanya. Dan ketika pengetahuan dibagi, bukan berarti berkurang melainkan bertambah. Tetapi sering kita manusia meskipun tidak buta telah menjadi seperti seorang yang buta sejak lahir sebagaimana ceritera di atas ataupun juga tidak menyadari masih buta, terutama ketika menyikapi setiap persoalan hidup. Pertengkaran dan percekcokan menjadi makanan keseharian.

Mengapa demikian? Pertama, karena sesungguhnya kita hanya memegang sebagian kenyataan. Kedua, kita hanya mengerti satu sudut pandang dari kekomplekan kenyataan. Ketiga, kita terlalu memegang teguh sudut pandang kita sendiri dan karenanya kita setiap kali hanya ingin melawan apa yang berbeda dari kita. Kita berusaha keras menunjukkkan bahwa sudut pandang kita yang paling benar. Kita ingin dilihat pintar, bukan mau belajar. Oleh sebab itu mendengarkan dan belajar dari orang lain itu perlu, jika kita ingin lebih mengerti kebenaran.

Dan apa itu kebenaran? Kebenaran adalah rangkaian potongan-potongan gambar seekor gajah yang terdiri atas : 4 batang pohon sebagai kakinya, 1 buah balon sebagai perutnya, 1 periuk besar sebagai kepalanya, 2 buah batang kayu yang bulat dan halus sebagai gadingnya, sebuah selang air sebagai belalainya, dan tali tambang rusak sebagai buntutnya. Cobalah gambar!

sumber: Diterjemahakan dari oleh J. S. de Britto dari : Walter Krahe, Die Blinden
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
The Chant of Metta

Aham avero homi
May I be free from enmity and danger

abyapajjho homi
May I be free from mental suffering

anigha homi
May I be free from physical suffering

sukhi - attanam pariharami
May I take care of myself happily

Mama matapitu
May my parents

acariya ca natimitta ca
teacher relatives and friends

sabrahma - carino ca
fellow Dhamma farers

avera hontu
be free from enmity and danger

abyapajjha hontu
be free from mental suffering

anigha hontu
be free from physical suffering

sukhi - attanam pariharantu
may they take care of themselves happily

Imasmim arame sabbe yogino
May all meditators in this compound

avera hontu
be free from enmity and danger

abyapajjha hontu
be free from mental suffering

anigha hontu
be free from physical suffering

sukhi - attanam pariharantu
May they take care of themselves happily

Imasmim arame sabbe bhikkhu
May all monks in this compound

samanera ca
novice monks

upasaka - upasikaya ca
laymen and laywomen disciples

avera hontu
be free from enmity and danger

abyapajjha hontu
be free from mental suffering

anigha hontu
be free from physical suffering

sukhi - attanam pariharantu
May they take care of themselves happily

Amhakam catupaccaya - dayaka
May our donors of the four supports: clothing, food, medicine and lodging

avera hontu
be free from enmity and danger

abyapajjha hontu
be free from mental suffering

anigha hontu
be free from physical suffering

sukhi - attanam pariharantu
May they take care of themselves happily

Amhakam arakkha devata
May our guardian devas

Ismasmim vihare
in this monastery

Ismasmim avase
in this dwelling

Ismasmim arame
in this compound

arakkha devata
May the guardian devas

avera hontu
be free from enmity and danger

abyapajjha hontu
be free from mental suffering

anigha hontu
be free from physical suffering

sukhi - attanam pariharantu
may they take care of themselves happily

Sabbe satta
May all beings

sabbe pana
all breathing things

sabbe bhutta
all creatures

sabbe puggala
all individuals (all beings)

sabbe attabhava - pariyapanna
all personalities (all beings with mind and body)

sabbe itthoyo
may all females


sabbe purisa
all males

sabbe ariya
all noble ones (saints)

sabbe anariya
all worldlings (those yet to attain sainthood)

sabbe deva
all devas (deities)

sabbe manussa
all humans

sabbe vinipatika
all those in the four woeful planes

avera hontu
be free from enmity and dangers

abyapajjha hontu
be free from mental suffering

anigha hontu
be free from physical suffering
sukhi - attanam pariharantu
may they take care of themselves happily

Dukkha muccantu
May all being be free from suffering

Yattha-laddha-sampattito mavigacchantu
May whatever they have gained not be lost

Kammassaka
All beings are owners of their own Kamma

Purathimaya disaya
in the eastern direction

pacchimaya disaya
in the western direction

uttara disaya
in the northern direction

dakkhinaya disaya
in the southern direction

purathimaya anudisaya
in the southeast direction

pacchimaya anudisaya
in the northwest direction

uttara anudisaya
in the northeast direction

dakkhinaya anudisaya
in the southwest direction

hetthimaya disaya
in the direction below

uparimaya disaya
in the direction above

Sabbe satta
May all beings

sabbe pana
all breathing things

sabbe bhutta
all creatures

sabbe puggala
all individuals (all beings)

sabbe attabhava - pariyapanna
all personalities (all beings with mind and body)

sabbe itthoyo
may all females

sabbe purisa
all males

sabbe ariya
all noble ones (saints)

sabbe anariya
(those yet to attain sainthood)

sabbe deva
all devas (deities)

sabbe manussa
all humans

sabbe vinipatika
all those in the 4 woeful planes

avera hontu
be free from enmity and dangers

abyapajjha hontu
be free from mental suffering

anigha hontu
be free from physical suffering

sukhi - attanam pariharantu
may they take care of themselves happily

Dukkha muccantu
May all beings be free from suffering

Yattha-laddha-sampattito mavigacchantu
May whatever they have gained not be lost

Kammassaka
All beings are owners of their own kamma

Uddham yava bhavagga ca
As far as the highest plane of existence

adho yava aviccito
to as far down as the lowest plane

samanta cakkavalesu
in the entire universe

ye satta pathavicara
whatever beings that move on earth

abyapajjha nivera ca
may they are free of mental suffering and enmity

nidukkha ca nupaddava
and from physical suffering and danger

Uddham yava bhavagga ca
As far as the highest plane of existence

adho yava aviccito
to as far down as the lowest plane

samanta cakkavalesu
in the entire universe

ye satta udakecara
whatever beings that move on water

abyapajjha nivera ca
may they are free of mental suffering and enmity

nidukkha ca nupaddava
and from physical suffering and danger

Uddham yava bhavagga ca
As far as the highest plane of existence

adho yava aviccito
to as far down as the lowest plane

samanta cakkavalesu
in the entire universe

ye satta akasecara
whatever beings that move in air

abyapajjha nivera ca
may they are free of mental suffering and enmity

nidukkha ca nupaddava
and from physical suffering and danger.
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
The Chant of Metta ( Terjemahan Bahasa Indonesia)

Semoga aku bebas dari kebencian dan marabahaya
Semoga aku bebas dari penderitaan batin

Semoga aku bebas dari penderitaan jasmani
Semoga aku dapat mempertahankan kebahagiaanku



Semoga ayah dan ibu- ku

Para guru, kerabat dan teman-teman

Sahabat pelaksana Dhamma 

Bebas dari kebencian dan marabahaya

Bebas dari penderitaan batin

Bebas dari penderitaan jasmani

Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan masing masing


Semoga semua yang bermeditasi dalam lingkungan ini
,
Bebas dari benci dan bahaya

Bebas dari penderitaan batin

Bebas dari penderitaan jasmani

Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaannya masing masing

.
Semoga semua bhikkhu yang berada dilingkungan ini

Para samanera
 para upasaka dan upasika

Bebas dari kebencian dan marabahaya

Bebas dari penderitaan batin

Bebas dari penderitaan jasmani
Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaannya masing masing




Semoga para pendukung kami yang memberikan 4 hal ( : pakaian, makanan, obat dan tempat bernaung)

Bebas dari kebencian dan marabahaya

Bebas dari penderitaan batin

Bebas dari penderitaan jasmani
Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaannya masing masing


Semoga para deva pelindung di vihara ini di rumah ini di lingkungan ini

Semoga para deva pelindung
 bebas dari kebencian dan marabahaya

Bebas dari penderitaan batin

Bebas dari penderitaan jasmani
Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaannya masing masing


Semoga semua mahluk yang berwujud

Semua yang bernafas

Semoga semua mahluk yang tidak berwujud

Semua manusia
 semua yang berkesadaran

Semua wanita semua pria
.
Semua yang telah suci
 semua yang belum suci

Semua deva
 semua manusia

Semua yang berada dalam empat alam yang menyedihkan


Bebas dari kebencian dan marabahaya

Bebas dari penderitaan batin

Bebas dari penderitaan jasmani
Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaannya masing masing

Bebas dari Dukkha

Semoga apa yang telah mereka peroleh tidak hilang



Pewaris karma masing-masing
Di sebelah timur disebelah barat

Di sebelah utara di sebelah selatan

Disebelah tenggara
 di sebelah baratlaut
Di sebelah timur laut
di sebelah barat daya

Di sebelah bawah
disebelah atas


Semoga semua mahluk yang berwujud

semua yang bernafas

Semoga semua mahluk yang tidak berwujud
Semua manusia 
semua mahluk yang berkesadaran

Semua wanita semua pria

semua yang telah Suci

semua yang belum Suci

semua deva semua manusia
semua yang berada dalam empat alam yang menyedihkan


Bebas dari kebencian dan marabahaya

Bebas dari penderitaan batin

Bebas dari penderitaan jasmani

Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaannya masing masing
Bebas dari Dukkha

Semoga apa yang telah mereka peroleh tidak hilang



Pewaris karma masing-masing

Sejauh alam kehidupan tertinggi

sampai sejauh alam kehidupan terendah

diseluruh alam semesta

mahluk apapun yang bergerak diatas bumi


Semoga mereka bebas dari penderitaan batin dan kebencian

Bebas dari bahaya dan penderitaan jasmani



Sejauh alam kehidupan tertinggi

sampai sejauh alam kehidupan terendah diseluruh alam semesta
mahluk apapun yang bergerak dalam air
Semoga mereka bebas dari penderitaan batin dan kebencian

Bebas dari bahaya dan derita jasmani



Sejauh alam kehidupan tertinggi

sampai sejauh alam kehidupan terendah

diseluruh alam semesta
 mahluk apapun juga yang bergerak di udara
Semoga mereka bebas dari penderitaan batin dan kebencian
Bebas 
dari bahaya dan derita jasmani

 _/\_
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Kisah dari ajaran Ajahn Chah

Seseorang pernah bertanya pada Ajahn Chah untuk membicarakan tentang Penerangan; dapatkah ia menjelaskan Penerangannya?

Saat semua orang dengan antusias mendengar jawabannya, Ajahn Chah menjawab , “Penerangan tidak sulit untuk dimengerti.Ambillah pisang dan letakkan di mulut Anda, lalu Anda akan mengetahui seperti apa rasanya. Anda harus berlatih untuk merealisasi, dan Anda harus tekun.

Bila sangat mudah untuk mengalami Penerangan, setiap orang telah melakukannya. Saya mulai mendatangi vihara ketika saya berumur delapan tahun, dan saya telah menjadi bhikkhu selama lebih dari empat puluh tahun. Tetapi Anda mau bermeditasi dalam semalam atau dua malam dan langsung mencapai Nibbana. Anda tidak hanya duduk dan –sim salabim- jadilah Anda. Anda tahu, Anda tidak dapat meminta seseorang untuk meniup kepala Anda dan juga membuat Anda mencapai Penerangan.

Janganlah berpikir bahwa dengan banyak belajar dan banyak mengetahui, Anda akan mengetahui Dhamma. Ini seperti mengatakan Anda telah melihat segala sesuatu yang dapat dilihat hanya karena Anda punya mata. Atau Anda telah mendengar segala sesuatu yang dapat didengar karena Anda punya telinga. Anda mungkin melihat namun Anda tidak benar-benar melihat. Anda hanya melihat dengan ‘mata luar’, tidak dengan ‘mata dalam’. Anda mendengar dengan ‘telinga luar’, tidak dengan ‘telinga dalam’.


Seorang wanita tua yang beriman dari propinsi terdekat datang berziarah ke Wat Pah Pong. Dia berkata pada Ajahn Chah bahwa ia hanya singgah sebentar, lalu ia harus segera kembali untuk menjaga cucunya, dan karena dia seorang wanita tua, ia meminta apakah ia dapat mendengarkan pesan Dhamma. Ajahn Chah menjawab , “ Hai, dengarkan! Tak ada seorang pun di sini, hanya ini! Tidak ada pemilik,tidak ada yang tua, muda, baik atau buruk, kuat atau lemah. Hanya itu, itu saja --hanya berbagai unsur alami yang berjalan semestinya. Semua kosong. Tidak ada yang lahir dan tidak ada yang meninggal! Mereka yang membicarakan kelahiran dan kematian adalah berbicara dengan bahasa anak yang bodoh. Dalam bahasa hati, dari Dhamma,tidak ada suatu seperti kelahiran dan kematian”.
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
BUDDHA MENJAWAB PERTANYAAN DEWA

Demikian apa yang telah Aku (Y.M. Ananda Thera) dengar, ketika Bhagawa menetap di Sawatthi di hutan Jeta, Taman milik Ananthapindhika. Begitu menjelang pagi Dewa berkunjung dengan raut wajah ceria dan sumringah, lalu menghampiri dan bersujud menghormat Bhagawa, sambil bercerita dengan penuh pertanyaan sbb:

Pertanyaan Dewa: “Pedang apakah yang paling tajam? Racun apakah yang sangat menjijikan? Api apakah yang berkobar? Kegelapan apakah yang sangat kelam?”.

Jawaban Buddha: “Ucapan yang sangat kasar adalah pedang yang sangat tajam. Keserakahan dan nafsu keinginan adalah racun yang sangat menjijikan. Kebencian adalah Api yang berkobar-kobar. Kebodohan adalah Kegelapan yang sangat kelam”.

Pertanyaan Dewa: “Bagaimanakah yang disebut Manusia yang menerima manfaat? Bagaimanakah yang disebut Manusia yang kehilangan manfaat? Cinta apakah yang sangat kuat? Senjata apakah yang sangat tajam?”.

Buddha menjawab: “ Siapapun yang memberi, sebenarnya dialah yang menerima manfaat (buah karma baiknya). Sebaliknya siapapun yang menerima dialah sebenarnya yang kehilangan manfaat (karma baiknya habis). Kesabaran adalah Cinta yang sangat kuat. Kebijaksanaan adalah senjata yang sangat tajam”.

Pertanyaan Dewa: “Apakah yang disebut Perampok? Apakah harta dari Kebijaksanaan? Siapakah yang punya kekuatan untuk merampok baik di surga atau di dunia ini?

Buddha menjawab: “ Pikiran yang salah adalah Perampok yang sangat lihai. Sila atau Moralitas adalah harta Kebijaksanaan. Orang yang suka melanggar Sila adalah yang punya kemampuan sebagai Perampok ulung baik di dunia maupun di surga”.

Pertanyaan Dewa: “Siapakah yang paling berbahagia? Siapakah yang paling kaya dan dihormati? Siapakah yang patut dihormati? Siapak yang paling buruk?”.

Buddha menjawab: “Orang yang sedikit keinginan adalah yang paling bahagia. Orang yang merasa puas adalah yang paling kaya dan dihormati. Orang yang suka melanggar Sila adalah yang sangat buruk”.

Pertanyaan Dewa: “Siapakah kerabat yang paling baik? Siapak musuh dari pikiran jahat? Apakah penderitaan yang paling berat? Apakah kebahagiaan yang tertinggi?”.

Buddha menjawab: “Jasa kebajikan merupakan kerabat yang terbaik. Metta (cinta-kasih) merupakan musuh dari pikiran jahat. Neraka adalah adalah penderitaan yang paling berat. Tak terlahir kembali di alam manapun adalah kebahagiaan yang tertinggi”.

Pertanyaa Dewa: “Apakah yang tak pantas dan bernafsu keinginan? Apa pantas dan tak bernafsu keinginan? Demam apa yang terhebat? Siapa yang merupakan tabib ahli dan terlatih?”

Buddha menjawab: “Kesenangan dalam kepuasan hawa nafsu adalah tidak pantas dan bernafsu keinginan. Terbebas dari nafsu keinginan adalah pantas dan tak bernafsu keinginan. Kesrakahan adalah Demam yang terhebat. Buddha adalah tabib yang ahli dan terlatih”.

Pertanyaan Dewa: “Apa yang mampu menutupi dunia? Oleh siapakah dunia dibutakan? Apa penyebab seseorang ditinggalkan keluarga dan teman-temanya? Apa yang merintangi orang untuk terlahir di alam surga (Dewa)?”

Buddha menjawab: “Ketidakmengertian mampu menutupi dunia. Kebodohan dan kegelapan batin menyebabkan dunia dibutakan. Kekikiran dan keserakahan adalah penyebab orang ditinggalkannya oleh keluarga dan teman-temannya. Kemelekatan akan kekotoran batin penghalang orang untuk terlahir di alam Dewa”.

Pertanyaan Dewa: “Benda apa yang tidak dapat terbakar oleh api, juga tidak dapat dihancurkan oleh angin, tidak lapuk oleh air, tapi mampu menhan dunia?” Siapakah yang berani menghadapi Raja mapupun Pencuri dan bisa ditangkap oleh manusia dan bukan manusia?”

Buddha menjawab: “Jasa kebajikan tidak dapat terbakar oleh api, juga tidak dapat dihancurkan oleh angin, tidak lapuk oleh air, namun mampu menahan dunia. Jasa kebajikan yang mampu menghadapi Raja dan Pencuri, juga tidak bisa dibawa pergi oleh manusia maupun bukan manusia.”

Pertanyaan Dewa: ”Kami masih punya keraguan, mohon Buddha untuk mengatasinya, dalam dunia ini maupun dunia mendatang, siapakah yang membodohi dirinya sendiri?”

Buddha menjawab: “Orang yang punya harta kekayaan, tapi tidak mau menanam jasa kebajikan, dalam dunia ini maupun dunia mendatang, dialah orang yang paling membodohi dirinya sendiri”.

Setelah mendengarkan Dhammadesana dari Buddha, maka Dewa itu dipenuhi rasa bahagia, hingga merasa kagum dan memujinya, lalu Dewa itupun beranjali dan bersujud menghormat kepada Buddha yang maha tahu, kemudian pergi tanpa bekas.”


Sumber: Dhamma Bagi Pemula oleh Y.M. Phra Rajavaracariya (Bhnate Vin Vijjano)
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Kisah Cakkhupala Thera (Dhammapada 1:1)

Suatu hari, Cakkhupala Thera berkunjung ke Vihara Jetavana untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Malamnya, saat melakukan meditasi jalan, sang thera tanpa sengaja menginjak banyak serangga sehingga mati. Keesokan paginya, sekelompok bhikkhu yang mengunjungi sang thera menemukan banyak serangga yang mati terinjak itu. Mereka berpikir buruk terhadap sang thera dan melaporkan kejadian ini kepada Sang Buddha.

Mendengar laporan para bhikkhu, Sang Buddha bertanya, "Para bhikkhu, apakah kalian melihat sendiri pembunuhan itu?"
"Tidak, Bhante," jawab mereka serempak.

Sang Buddha kemudian menjawab, "Kalian tidak melihatnya, demikian pula Cakkhupala Thera juga tidak melihat serangga-serangga itu, karena matanya buta. Selain itu Cakkhupala Thera telah mencapai kesucian Arahat. Seorang Arahat tidak lagi mempunyai kehendak untuk membunuh."

"Bagaimana seorang yang telah mencapai arahat tetapi matanya buta?" tanya beberapa bhikkhu.

Maka Sang Buddha menceritakan kisah di bawah ini:

Pada kehidupan lampau
, Cakkhupala pernah terlahir sebagai seorang tabib yang handal. Suatu ketika datang seorang wanita miskin. "Tuan, tolong sembuhkanlah penyakit mata saya ini. Karena miskin, saya tak bisa membayar pertolongan tuan dengan uang. Tetapi, apabila sembuh, saya berjanji dengan anak-anak saya akan menjadi pembantu tuan", pinta wanita itu. Permintaan itu disanggupi oleh sang tabib.

Perlahan-lahan penyakit mata yang parah itu mulai sembuh. Sebaliknya, wanita itu menjadi ketakutan, apabila penyakit matanya sembuh, ia dan anak-anaknya akan terikat menjadi pembantu tabib itu. Karenanya wanita itu berbohong kepada sang tabib, bahwa sakit matanya bukannya sembuh, malahan bertambah parah.

Setelah diperiksa dengan cermat, sang tabib tahu bahwa wanita miskin itu telah berbohong kepadanya karena tidak tidak ingin memenuhi janji pembayaran pengobatan itu. Sang tabib berniat membutakan mata wanita itu sebagai balasan. Lalu ia membuat obat lain dan memberikannya kepada wanita itu untuk dioleskan. Ketika obat itu dioleskan, wanita itupun menjadi buta. Sebagai akibat dari perbuatan jahatnya, tabib itu telah kehilangan penglihatannya pada banyak kehidupan selanjutnya.

Mengakhiri ceritanya, Sang Buddha kemudian membabarkan syair di bawah ini:

"Manopubbangamā dhammā manosețțhā manomayā
manasā ce paduțțhena bhāsati vī karoti vā
tato nam dukkham anveti cakkam va vahato padam."

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin,
pikiran adalah pembentuk.
Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat,
maka penderitaan akan mengikutinya,
bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.


Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, di antara para bhikkhu yang hadir ada yang terbuka mata batinnya dan mencapai tingkat kesucian arahat dengan mempunyai kemampuan batin analitis "Pandangan Terang" (pati-sambhida).

Notes :
Ada 4 macam tingkat kesucian :
1. Sotapatti (pemasuk arus - hanya akan ada 7 kelahiran lagi baginya, orangnya disebut sotapanna, seorang sotapanna tidak akan jatuh ke alam rendah),
2. Sakadagami (hanya akan ada 1 kelahiran lagi baginya sebagai manusia),
3. Anagami (tidak akan lahir kembali menjadi manusia, tetapi di alam Suddhavasa)
4. Arahat (tiada kelahiran lagi baginya di manapun juga).

Sumber : Dhammapada Atthakattha
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..

Offline thodi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 124
  • Reputasi: 1
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Kisah Hidup Raja Shibi
       
Bagian 1
                  
Kebajikan Raja Shibi   
                  
Suatu ketika saat Sang Buddha masih hidup sebagai Bodhisattva, timbunan kebajikan besar yang dikumpulkan dalam berbagai kehidupan masa lalunya menyebabkan beliau terlahir sebagai Raja Shibi. Hormat pada semua yang tua sejak masa kanak-kanaknya dan santun dalam tingkah lakunya, ia benar-benar sangat dicintai oleh seluruh rakyatnya.

Diberkati dengan semangat yang tak terbatas, bijaksana, mulia dan kuat, paham akan berbagai pengetahuan, juga diberkati dengan keberuntungan, ia memerintah rakyatnya seolah mereka anak-anaknya sendiri. Pada Bodhisattva, segala hal yang baik, baik duniawi maupun Dharma, dipadukan dengan sangat baik menyingkirkan segala perbedaannya. Keagungan, yang ditiru oleh mereka yang mendapatkan kedudukan tinggi melalui cara-cara yang tidak benar, keagungan yang menyebabkan bencana bagi orang-orang bodoh dan memabukkan bagi yang batinnya kasar, telah menemukan tempat untuk berdiam dalam dirinya.

Mengalirkan belas kasihnya bahkan lebih deras dari pada kekayaannya, raja mulia ini merasa bahagia apabila memenuhi permintaan dari para pengemis dan ketika melihat wajah gembira mereka. Di seluruh kerajaannya, ia mempunyai balai rumah amal yang didirikan dan diisi dengan segala rupa barang-barang, kebutuhan dan biji-bijian, yang dapat memenuhi setiap harapan. Dengan kerendahan dan kesukacitaan besar, ia terus-menerus menumpahkan pemberian bagai curahan air hujan.

Setiap orang yang kekurangan mendapatkan apa yang dibutuhkannya, dengan keramahan dan tegur sapa. Makanan dibagikan kepada yang lapar, minuman diberikan kepada yang haus. Dengan sikap seperti ini, busana, tempat tinggal, pakaian, wewangian, untaian bunga, perak dan emas diberikan kepada siapapun yang menginginkannya, apapun yang diminta akan diberikan. Kabar tentang kemurahan hati sang raja tersebar luas hingga jauh, sehingga menyebabkan orang-orang dari tempat-tempat jauh berdatangan kesitu dengan hati yang diliputi kesukacitaan, mereka takjub serta senang akan kebenarannya. Dengan niat yang bulat seperti seekor gajah yang menuju telaga luas, mereka tidak ingin lagi mendapatkan dana dari yang lain.

Raja terus menerima para pengemis, menganggap penampilan luar mereka tiada lain adalah permintaan dan pikiran mereka hanya tentang memperoleh. Beliau menerima mereka seolah seperti seorang sahabat lama yang telah lama hilang, yang telah kembali dari jauh; matanya terbelalak berseri gembira, beliau mendengarkan permohonan mereka seolah mendengar kabar gembira. Kebahagiaan para pengemis bahkan melampaui sang raja, mereka menyebarkan kabar menyenangkan kemurahan hatinya tersebut ke seluruh negri di sekelilingnya, sehingga memudarkan keangkuhan para raja tetangga.   
   
                     
Penyamaran Dewa Sakra   
   
Pada suatu hari sang raja saat mengunjungi balai dananya, mendapati hanya ada sedikit pengemis di sana dan menimbulkan kecemasan hatinya. Kehausan para pengemis atas pemberian mudah sekali dipuaskan, namun tidak demikian dengan kehausan sang raja pada keinginan untuk memberi. "Secepatnya juga akan semakin sedikit yang tersisa untuk didanakan." Pikirnya. "Alangkah menyenangkannya jika ada yang meminta lebih! Terberkatilah mereka yang darinya keinginan meminta apa saja, meskipun anggota tubuhku! Dariku mereka hanya meminta hartaku, seolah takut jikalau aku akan menolak permintaan yang tidak lazim."

Saat ia membuat pernyataan tersebut, bumi, yang mengetahui tiadanya keterikatan pada dirinya bahkan pada tubuhnya sendiri, bergetar oleh perasaan cinta bagaikan seorang istri terhadap suaminya. Begitu kuatnya gempa yang terjadi sehingga bahkan raja gunung sekalipun, yang bertaburkan permata, mulai bergelombang, dan Dewa Sakra, Raja dari para dewa, telah keluar untuk mengetahui penyebabnya. Mendapatkan kabar bahwa Raja Shibi telah meninggalkan segala keterikatannya pada dagingnya sendiri, ia merasa kagum: "Bagaimana ini bisa terjadi? Apakah batin sang raja begitu mulianya, apakah ia begitu besar kegembiraannya dalam berdana, sehingga rela bahkan melepaskan anggota tubuhnya sendiri? Aku akan mengujinya."

Saat itu raja sedang duduk di singasana, di tengah-tengah pertemuan, seperti biasa mendengarkan mereka-mereka yang membutuhkan. Menimbun harta, perak, emas serta permata, membuka peti yang berisi busana, demikian pula yang diusung oleh binatang-binatang terlatih, yang berbaris mengangkut harta. Dari segala penjuru datang rombongan para pengemis, diantara mereka terdapat Dewa Sakra, Raja dari para dewa, dalam penyamaran sebagai seorang brahmana tua yang buta
Janganlah karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka..