//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: "PERLINDUNGAN" oleh Bhante Sri Pannavaro  (Read 10785 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
"PERLINDUNGAN" oleh Bhante Sri Pannavaro
« on: 12 October 2008, 11:28:28 PM »
      Dua hari yang lalu, pada saat bulan purnama di bulan Juli, umat Buddha memperingati Hari Asadha. Kalau pada waktu Waisak Pangeran Siddhattha atau Petapa Siddhattha mencapai Kebuddhaan dan menjadi Buddha, menemukan Dhamma atau Dharma, dua bulan kemudian Sang Buddha membabarkan Dhamma yang telah Beliau dapatkan kepada dunia. Untuk yang pertama kali, kesempatan yang sulit itu memang tidak didengar oleh banyak orang. Hanya lima orang, yaitu mereka yang dulunya menjadi sahabat Petapa Siddhattha sewaktu bertapa di Hutan Uruvela.

      Sehari setelah bulan purnama di bulan Juli, para bhikkhu mulai menjalani masa vassa selama tiga bulan. Biasanya masa vassa di India berlangsung di tengah musim hujan. Musim hujan itu kalau panjang empat bulan, kalau pendek tiga bulan. Di Indonesia, Juni sampai Agustus itu musim panas, tetapi kali ini rasanya masa vassa itu seperti masa vassa yang sungguh-sungguh karena masih turun hujan, mungkin nanti sampai bulan Agustus masih turun hujan. Musim hujan dimulai bulan September dan sebagaimana tiap-tiap tahun para bhikkhu juga akan memberikan bimbingan atau pelajaran Dhamma selama musim vassa.

      Saudara-saudara, rasanya bimbingan Dhamma dalam masa vassa kali ini akan menjadi istimewa, akan menjadi sangat membantu, karena kita penuh dengan kesulitan-kesulitan. Beras menjadi mahal, minyak goreng menjadi mahal, banyak PHK, banyak kerusuhan-kerusuhan. Saya pikir ya kita semua ini bersiap-siap sajalah. Meskipun tidak di medan perang karena negara kita memang tidak dalam keadaan perang, tetapi kita bersiap-siap saja seperti kita menghadapi perang.

      Sesungguhnya kita juga diajarkan untuk bersiap-siap. Bersiap-siap karena kematian itu bisa datang setiap saat. Bukan hanya kematian itu datang kalau Saudara sedang sulit, tetapi meskipun dalam keadaan aman, makmur, kematian itu bisa juga datang setiap saat. Dalam beberapa kali kesempatan Sang Buddha mengatakan bahwa kematian datang setiap saat, dan kalau kematian itu sudah datang, maka tidak ada tawar-menawar dengan kematian. “Ah, nanti dululah, umur saya kan masih muda, ya menikah saja belum, kok kematian mau datang. Ini bagaimana?” Tidak mungkin! Kita tidak bisa negosiasi dengan kematian. Kalau kematian itu datang…ya datang.

      Tetapi Saudara, kita jangan terlalu takut dengan kematian. Kalau nanti kita terlalu takut dengan kematian, kita akan mengisi pikiran kita dengan kecemasan, kesedihan, dan kekhawatiran. Kita perlu melakukan persiapan karena kematian itu pasti datang, tetapi kita tidak perlu membuat bayangan sendiri: “Jangan-jangan besok saya mati. Jangan-jangan nanti malam saya mati.” Bayangan atau prasangka kita itu tidak akan tepat, kecuali Sang Buddha. Sang Buddha sudah bisa menentukan: tiga bulan kemudian Saya akan meninggal, dan persis tiga bulan, tidak kurang sehari dan tidak lebih sehari, Sang Buddha meninggal.

      Saudara-saudara, persiapan apakah yang harus kita lakukan, apalagi dalam keadaan yang sulit seperti ini? Ada dua macam persiapan: persiapan mental atau persiapan pikiran kita dan persiapan fisik.

      “Sekarang barang-barang mahal, Bhante, apalagi alat-alat elektronik dan segala macam.” Saudara, pandai seperti apapun kita, punya teori yang sangat jitu, atau mungkin juga kita jadi pejabat, kita tidak bisa mengubah Indonesia ini pulih dalam waktu satu minggu; apalagi dalam waktu dua hari, tiga hari. Sulit! Faktor penyebabnya banyak sekali. Apalagi kita orang kecil, tidak mempunyai teori dan juga tidak mempunyai wewenang. Kita tidak mungkin mengubah keadaan ini jadi beres.

      Kalau kita tidak mungkin mengubah keadaan ini menjadi beres, lalu bagaimana? Karena kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengubah keadaan ini menjadi segera beres sekarang, ya tidak ada pilihan lain, kita harus menyesuaikan diri kita. Apa yang saya maksud dengan menyesuaikan? Kalau memang barang-barang itu mahal, ya kita harus mengubah sikap. Kita harus hemat. Kita harus hati-hati melakukan pengeluaran. Hati-hati menggunakan telepon, misalnya. Menghemat listrik. Makan sederhana. Karena kita tidak bisa mengubah keadaan, maka kita yang harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Kalau kita tidak mau menyesuaikan dengan keadaan, ya kita akan bertambah sengsara.

      Memang sulit, sulit sekali. Kalau kita biasa menggoreng dengan minyak Bimoli yang enak itu ya sekarang pakai minyak kelapa bekas. Sudah tiga puluh tahun lupa dengan minyak itu, sekarang balik lagi, ya sudah. Kita harus menyesuaikan diri. Justru kekuatan manusia itu adalah mampu beradaptasi. Bagaimana bisa mampu beradaptasi?

      Manusia bisa mampu beradaptasi itu karena, dan akan cepat beradaptasi, kalau dia mengerti anicca—ketidakkekalan. Kalau dia tidak mau menerima perubahan, kalau dia mengingkari ketidakkekalan, dia akan sulit sekali melakukan penyesuaian.

      Seorang guru besar sosiologi memberitahukan kepada saya, “Apakah kekuatan manusia yang paling besar, bhikkhu, yang tidak dipunyai oleh binatang? Kekuatan manusia yang paling besar itu adalah manusia bisa beradaptasi, binatang tidak bisa. Dan manusia yang bisa beradaptasi itu, menyesuaikan diri, fisik dan mental.”

      Coba sekarang Saudara membawa binatang dari Kanada, sebelah utara Amerika yang dingin, dan Saudara pelihara di sini. Ia pasti akan mati. Tetapi manusia bisa beradaptasi, dari sini pindah ke Amerika, pindah ke Kanada, orang daerah dingin pindah ke Indonesia yang panas, bisa! Meskipun sulit, bisa! Fisik manusia bisa beradaptasi, binatang sulit! Ada yang bisa, tetapi tidak semua.

      Mental kita juga bisa beradaptasi. Saya mendengar cerita zaman Belanda keadaannya begini-begini, zaman Jepang keadaannya begini-begini, tapi rakyat bisa beradaptasi. Itulah kekuatan manusia yang terbesar. Beradaptasi itu istilah gampangnya: menyesuaikan diri. Sudah tentu kita mempunyai pedoman-pedoman di dalam perbuatan kita. Bukan menyesuaikan diri melakukan kejahatan, melakukan hal-hal yang tercela.

      Nah, Saudara-saudara, kalau kita tidak bisa mengubah lingkungan kita, tidak bisa mengubah negara ini sesegera mungkin, kita harus menyesuaikan diri dan kita tidak usah ikut berteori bagaimana krisis moneter ini kok menjadi krisis kepercayaan. Bagaimana arahnya reformasi ini, sudahlah biar saja, itu urusannya satrio-satrio yang di Jakarta sana. Wong cilik ini tidak usah berpikir begitu. Kita melakukan apa yang kita mampu untuk bisa bertahan dan membantu sekeliling kita. Nanti kalau kita ikut-ikutan, wong cilik ini bukan saja teorinya tidak cocok, nanti menyebutkannya saja sulit. “Bhante, katanya sekarang ini anu, lagi krisis monitor.” Maksudnya moneter, yang diucapkan jadi monitor. Katanya, “Anu, Bhante ini orde baru sudah tidak laku. Sekarang ini katanya zaman informasi.” Oh iya ya, zaman informasi. Maksudnya itu reformasi, tapi keliru menyebutkan informasi. Ya, ya, jadi kita tidak usahlah ikut-ikutan. Kita bukan Emil Salim, kita bukan Kwik Kian Gie. Kalau kita hanya ikut baca ya tidak apa-apa, tetapi kalau kita ikut membuat teori, ya nanti tidak cocok, nanti menyebutkan istilah yang aneh-aneh itu saja kita keliru.

      Korupsi, kolusi, nepotisme. Saudara-saudara, bahkan kalau yang tidak mengerti seperti pada waktu perayaan Asadha di Mendut kita bisa berpikir korupsi, kolusi, itu hanya orang-orang gede saja. Kita sendiri, rakyat kecil tidak. Apa betul kita sendiri tidak korupsi, kolusi, nepotisme? Ambil untung sedikit-sedikit itu ya korupsi. Itu korupsinya orang desa. Nanti kalau ada Panitia Waisak, peresmian wihara, yang penting kerabatnya dulu, anak familinya maju dulu. Tidak peduli bisa kerja atau tidak, pokoknya kerabatnya dibawa dulu, itu nepotisme juga.



Bingkai Kehidupan, Kumpulan Ceramah Dhamma Bhante Pannavaro, Perlindungan, pp. 187-192

bersambung...
« Last Edit: 12 October 2008, 11:40:15 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: "PERLINDUNGAN" oleh Bhante Sri Pannavaro
« Reply #1 on: 12 October 2008, 11:38:46 PM »
      Saudara-saudara, saya ingin menggunakan kesempatan ini dengan memberikan pegangan kepada Saudara-saudara. Apa yang harus kita miliki dalam keadaan yang tidak menentu seperti sekarang ini? Apakah pegangan yang dipunyai oleh, dan harus dipunyai oleh setiap umat Buddha dalam menghadapi bermacam-macam masalah yang tidak menentu, yang menimbulkan ketakutan, was-was, gelisah, khawatir, dan sebagainya? Tidak lain adalah Triratna. Tidak ada pilihan lain, yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha.

      Setiap umat Buddha melakukan sembahyang, berupacara. Pada waktu kita akan memulai Dhamma Class, ini kita juga melakukan pembukaan singkat sekali. Semuanya tidak lain ditujukan kepada Triratna—Buddha-Dhamma-Sangha. Setiap umat Buddha juga hafal dengan Buddham, Dhammam, dan Sangham saranam gacchami (Aku berlindung kepada Buddha-Dhamma-Sangha). Kalimat itu jelas sekali. Aku berlindung kepada Buddha-Dhamma-Sangha. Sebagai pelindung fisik, kita punya polisi, tentara, benteng, gembok, kunci, terali dan lain-lain. Namun, sebagai pelindung mental, kita memiliki Buddha, Dhamma, dan Sangha. Mengapa Buddha-Dhamma-Sangha itu dijadikan Pelindung? Mengapa kok tidak sesama manusia saja? Saudara, itu adalah karena Buddha-Dhamma-Sangha sudah bersih dari keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin. Dewa-dewa atau orang lain bisa melindungi kita. Mungkin saja dia melindungi dengan tulus, tetapi mungkin juga dia bisa melindungi dengan pamrih, minta balasan. Paling tidak ya dia mengharapkan ucapan terima kasih, pujian. Kalau dia tidak mendapatkan itu dia bisa kecewa karena dia sudah berkorban melindungi yang harus dilindungi.

      Karena mereka masih mempunyai keserakahan, meskipun mungkin tidak besar, mereka juga mungkin masih mempunyai kebencian, masih mempunyai pandangan-pandangan yang salah. Tetapi Buddha, Dhamma, dan Sangha tidak lagi mempunyai keserakahan, kebencian, ataupun pandangan yang salah. Buddha, Dhamma, dan Sangha tidak membutuhkan imbalan apapun dari kita, pujian pun juga tidak, apalagi imbalan-imbalan yang kasar, seperti sesaji atau persembahan-persembahan. Tidak sama sekali. Saudara-saudara, sekarang yang menjadi persoalan adalah kalau kita sudah menyatakan berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha, apakah kita juga sudah bebas dari penderitaan? Nyatanya banyak umat Buddha yang berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha masih belum bebas dari penderitaan.

      Benar, Saudara, kalau Saudara menyatakan berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha, secara mental Saudara mempunyai pelindung. Paling tidak, pikiran kita tidak dikuasai terus-menerus oleh kekhawatiran, was-was, gelisah, jengkel, benci, dan sebagainya, karena kita mengalihkan pikiran kita kepada Buddha-Dhamma-Sangha. Pada saat kita memikirkan Buddha-Dhamma-Sangha, kebencian, kemarahan, kekhawatiran, kegelisahan itu dilupakan sementara. Itulah artinya perlindungan mental. Mungkin di agama lain ada yang mengingat Maria, ada yang mengingat Yesus, ada yang mengingat Gusti Allah, ya silahkan. Bagi umat Buddha yang diingat adalah Buddha-Dhamma-Sangha. Alasannya Buddha-Dhamma-Sangha ini tidak akan meminta imbalan, bersih dari keserakahan, kebencian, pandangan salah dan sebagainya.

      Mental kita pun menjadi memiliki tameng yang mulia sehingga mental kita tidak hanya dikuasai oleh kemarahan, ketidakmauan menerima kenyataan, kebencian dan sebagainya. Makin sering kita memikirkan Buddha-Dhamma-Sangha, Aku berlindung pada Buddha, Aku berlindung pada Dhamma, Aku berlindung pada Sangha, kemarahan dan kejengkelan itu akan berkurang. “Tetapi penderitaan kan belum selesai, Bhante.” Ya, penderitaan belum selesai. Oleh karena itu, Saudara, kita harus meningkatkan sikap berlindung kita itu. Tidak hanya sekadar: Aku berlindung pada Buddha, Aku berlindung pada Dhamma, Aku berlindung pada Sangha. Kita harus meningkatkan lebih tinggi lagi. Bagaimana caranya?

      Caranya adalah belajar Dhamma. Apa yang diberikan Triratna kepada kita? Buddha adalah bagaikan Penemu obat, Dhamma itulah obat, dan Sangha itu adalah seperti orang yang sudah mencoba obat itu serta sudah sembuh dan kemudian menjadi perawat untuk membantu kita-kita yang masih belum sembuh.

      Yang pertama mungkin saya menabung kedamaian, karena kalau saya sakit, saya sudah kenal dokter spesialis. Dokternya itu Sang Triratna. Tentu itu tidak cukup! Tidak cukup hanya kenal dokter spesialis lalu damai dan tenang. Memang itu perlu dan lebih baik daripada tidak mengenal dokter sama sekali. Nanti kalau betul-betul sakit, bisa kebingungan. Tetapi tidak cukup begitu. Kita suatu ketika harus mengecek, memeriksa kesehatan kita. “Dok, darah saya bagaimana? Dok, kolesterol saya bagaimana?” Dan suatu ketika kita pasti sakit, tidak mungkin tidak.

      Kemudian, kita harus datang kepada dokter itu, mendengarkan nasihatnya, dan dokter kemudian memberikan nasihat, memberikan obat. Kita harus menurut. Kalau kita hanya puas: wah saya sudah aman, saya kenal dokter spesialis itu, spesialis ginjal, spesialis penyakit dalam, spesialis hidung, telinga, tenggorokan, spesialis paru-paru, dan sebagainya, maka itu belum ada manfaatnya. Nah sekarang kita meningkatkannya sehingga tidak hanya kenal, tetapi datang bertanya, “Umur saya ini sudah kepala lima, Dokter, apa yang harus saya perhatikan? Apa yang harus saya lakukan, dan apa yang harus saya hindari?” Dokter akan memberikan nasehat. Kita harus mendengar, memahaminya, dan kemudian berusaha untuk menepati. Itulah berlindung pada Triratna. Tingkat yang selanjutnya, mengerti apa yang diberikan Triratna.


      Perasaan Saudara yang tidak senang adalah penderitaan dan perasaan Saudara yang senang itulah bahagia. Nah, perasaan senang atau tidak senang itu kedua-duanya berbahaya. Meskipun perasaan itu didapat dari berbuat baik, yang halal, yang dibenarkan oleh agama, itu juga berbahaya. Karena perasaan senang hasil dari berbuat baik itu tidak kekal. Dan kalau tidak disadari nantinya malah akan membuat kita kecewa. Kecewa itu adalah penderitaan yang baru, buntutnya jengkel, marah. Nah, oleh karena itu, sadarlah!

      Merasa tidak senang, ya disadari. Merasa senang, ya disadari. “Kalau kita tidak senang bagaimana, Bhante?” Ya tidak usah kebakaran jenggot. Selagi tidak senang, ya sudah, kan akan hilang sendiri. Tidak usah cari selingan pergi ke tempat yang tidak benar, tidak usah pergi ke tempat yang remang-remang, minum-minum, tidak usah. Sadari saja. Nanti akan hilang sendiri.

      Demikian juga kalau lagi puas, lagi gembira. Meskipun itu tidak dari kejahatan, dari kebaikan “Wah lagi senang, lagi bahagia.” Sewaktu selesai meditasi, rasanya bahagia, harus disadari. Bahagianya orang meditasi itu juga tidak kekal. Jangan kaget nanti kalau hilang. Oleh karena itu Sang Buddha mengatakan tujuan kita yang tertinggi itu bukan mencari bahagia. Memang kita tidak ingin menderita, ya lumrah. Orang tidak ingin menderita, ingin bahagia. Ya. Tapi bahagia itu tidak abadi. Bahagia itu hanya sepintas dan sebentar sehingga akan mengecewakan kita pada akhirnya. Maka yang tertinggi itu bukan mencari kebahagiaan, tetapi mencari KEBEBASAN. Kebebasan ini bukan berarti bebas mau bertindak apapun seenaknya saja. Kebebasan di sini berarti bebas dari perangkap, tidak terperangkap oleh kebencian, tidak terperangkap oleh kebahagiaan.

      Kebencian itu bagaikan pancing, Saudara. Kita tidak terpancing bagaimana? Marah. Kalau menghadapi yang tidak disenangi maka menjadi marah dan jengkel. Kalau sudah jengkel, muncul ucapan dan perbuatan yang tidak bisa dikendalikan. Timbullah kejahatan. Itulah pancingan rasa tidak senang. Rasa senang juga sebetulnya pancingan. Pancingannya rasa senang itu apa? Serakah, ingin lagi, ingin lagi, ingin lagi. “Wah, kalau bisa seperti begini terus,” itu pancingan kesenangan.

      Pancingan yang tidak menyenangkan: kemarahan, kejengkelan, kebencian. Pancingan yang menyenangkan: keserakahan. Kedua berbahaya. Nah, Saudara-saudara sekalian, oleh karena itu marilah kita mengasah menggunakan kesadaran. Memang susah sekali, sangat susah. Tetapi kita harus latihan meditasi, belajar Dhamma. Pendeknya apa saja yang kontak pada pikiran, perasaan; harus diketahui ataupun disadari dengan dilandasi pengertian ‘ini tidak kekal’, ‘ini tidak abadi’, ‘ini hanya sebentar’.

      Selesai mendengarkan khotbah, “Wah saya mengerti, senang saya rasanya.” Harus disadari bahwa rasa senang itu juga tidak kekal meskipun senang itu yang timbul dari mendengarkan khotbah. Itu juga tidak kekal, sebentar saja, nanti akan timbul masalah lain dan hilang sudah senangnya.

      Memelihara dan menjaga kesadaran, meskipun tidak bisa setiap detik, itu sangat perlu dilatih sejak dari kita bangun pagi sampai nanti tidur kembali. Sebanyak-banyaknya kita menggunakan kesadaran, kita akan menyadari apa saja yang muncul pada pikiran, perasaan kita. Itulah arti berlindung pada Buddha-Dhamma-Sangha yang tertinggi.

      Jadi tidak nyebut-nyebut nama Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha. Yang kita kerjakan adalah mengawasi pikiran dan perasaan sebanyak mungkin supaya kita tidak terpancing. Karena kalau terpancing yang tidak menyenangkan maka akan timbul marah, panas; sedangkan kalau terpancing yang menyenangkan maka akan timbul serakah, panas juga, sama saja.

      Nah, kalau kita bisa menyadari dengan pengertian ketidakkekalan, kita akan bebas meskipun kita belum mencapai kesucian. Detik-detik itu kita menjadi manusia bebas. Meskipun cuma satu detik, itu berharga sekali. Satu saat saya merasa sedih, tapi begitu ingat kesadaran, saya sadari, “Oh perasaan saya sedih, ini tidak kekal.” Begitu saya menyadari, saya menjadi orang bebas; merasakan kebebasan meskipun sesaat. Jengkel saya rasanya, kok tidak enak, wah buru-buru disadari, “Oh ini perasaan tidak senang sedang muncul, tetapi ini juga tidak kekal, nanti juga lenyap.” Pada saat kita menyadari itu, kita merasa ringan, enteng, dan bebas. Detik itu pula kita bebas dari kemarahan dan kebencian. Nah, suatu ketika kita makan enak, atau angin sepoi-sepoi menyejukkan, “Waduh kalau begini kok rasanya enak.” Eh, hati-hati! Sadarilah bahwa rasa enak tersebut juga tidak kekal. Maka pada saat itu kita bebas dari keserakahan. Detik itu kita adalah orang yang bebas.

      Nah, kalau Saudara bisa mempertahankan detik-detik ini terus, itulah sesungguhnya dikatakan Nibbana atau Nirvana. Kebebasan. Memang sukar. Meskipun kita tidak bisa menikmati Nibbana dalam waktu yang agak lama, ya tidak apa, minimal dalam saat-saat tertentu. Di saat-saat tertentu kita mencicipi apa yang dikatakan Sang Buddha sebagai Nibbana. Kebebasan itu seperti yang saya jelaskan tadi. Itulah KEBEBASAN, tujuan umat Buddha yang tertinggi dan itulah arti berlindung pada Triratna yang sesungguhnya, bukan kita pakai tasbih, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha. Menyebut Buddha-Dhamma-Sangha itu memang baik, tapi itu perlindungan kelas nol. Kelas nol memang baik, daripada tidak sekolah. Daripada memikirkan kejahatan, kegelisahan, pemerkosaan, kekhawatiran, kan lebih baik membawa tasbih, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha, Buddha-Dhamma-Sangha. Pelindung saya Buddha-Dhamma-Sangha. Perasaan kita tentram, tetapi kita belum bebas dari penderitaan. Lebih lanjut, belajar Dhamma, kurangi kejahatan, hindari kejahatan, perbuat kebaikan sebanyak mungkin karena ingat Hukum Kamma. Itulah berlindung yang lebih baik. Meskipun demikian, penderitaan masih belum selesai karena untuk menyelesaikan penderitaan itu bukan hanya dengan berbuat baik. Meskipun Anda berbuat baik setinggi langit, penderitaan tidak akan terhapus. Hapusnya penderitaan itu adalah bagian dari kesadaran, supaya tidak terpancing oleh perasaan yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan. Dengan kesadaran itulah penderitaan akan terhapuskan dan kita memperoleh Kebebasan. Itulah arti berlindung pada Triratna yang sesungguhnya.

      Dalam keadaan krisis seperti ini, cobalah kita meningkatkan latihan spiritual kita. “Wah, nanti tahu-tahu saya ikut jadi korban mati. Bagaimana Bhante?” Bukankah kita sudah punya bekal. Bekalnya berlindung pada Triratna dengan cara yang benar. Tahap permulaan, tahap pertengahan, dan mengembangkan kesadaran. Tidak usah khawatir. Kita mulai saja mulai saat ini. Selain itu kalau memang kita masih belum mati, mungkin matinya nanti di umur 70 atau 80, kan kita sudah beruntung karena sekarang kita sudah mengerti bagaimana cara berlindung yang benar; selain menghindari kejahatan, menambah kebaikan, mempertajam kesadaran dan kewaspadaan untuk merasakan, mencicipi kebebasan dari hawa nafsu, dari kebencian, dari keserakahan, dan sebagainya.

      Itulah yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini. Jadi kalau umat Buddha berdoa, bagaimana caranya? Caranya ya menyadari itu tadi. Meskipun di dalam kamar kecil atau di mana saja, waktu mandi, waktu makan, rasa senang yang muncul itu disadari, rasa yang tidak senang muncul juga disadari. Ini akan membuat kita tenang, seimbang. Kalau senang muncul juga tidak menggebu-gebu, kalau senang tidak muncul juga tidak sedih yang luar biasa. “Jadi bagaimana, Bhante, kalau nonton bioskop, nonton TV?” Boleh, Saudara. “Nonton bola bagaimana?” Boleh. “Jagonya kalah, sedih, bagaimana, Bhante?” Ya disadari. Sadari perasaan tidak senang itu. “Jagonya menang bagaimana?” Itu juga disadari. Senang… senang… tidak abadi, tidak kekal. Itulah caranya kita membebaskan diri kita.

      Demikian juga kenangan masa lalu yang pahit-pahit, yang sangat pahit. Kadang-kadang kenangan/ingatan itu muncul. “Wah, kita sedih sekali kalau teringat hal itu. Sedih sekali, Bhante” Nah, sadari itu. Ini hanya ingatan, ulahnya pikiran. Saya merasa sedih, rasa sedih ini tidak kekal, tidak kekal. Maka akan mudah sekali kita membebaskan dari nostalgia-nostalgia yang nakal-nakal itu. Kita tidak menjadi orang yang dikuasai oleh ingatan-ingatan dan kesan-kesan yang tidak baik. Demikianlah, Saudara, cara membebaskan pikiran kita dari gangguan-gangguan, dari problem-problem dan persoalan-persoalan.

***

Bingkai Kehidupan, Kumpulan Ceramah Dhamma Bhante Pannavaro, Perlindungan, pp. 192-201
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
“KETULUSAN” oleh Bhante Sri Pannyavaro
« Reply #2 on: 13 October 2008, 07:22:29 AM »
Malam itu Pangeran Siddharta merasa gelisah. Berbagai fenomena penderitaan yang baru disaksikan di balik tembok istana mengusik nuraninya dan membuat hatinya terguncang.

      Ia bergulat dengan pikirannya, “Mengapa penderitaan itu harus terjadi”. Muara kehidupan haruslah kebahagiaan, bukan penderitaan. Kebahagiaan akan terwujud manakala tak ada lagi ketakutan akan usia tua, sakit, kematian. Tak ada lagi air mata, diskriminasi, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan ketidakadilan.

      Akhirnya Pangeran Siddharta mengambil keputusan radikal. Kalau banyak orang menjadi pemimpin dengan mencari istana, Pangeran Siddharta justru meninggalkan istana. Kalau orang berjuang keras untuk menjadi kaya, Pangeran Siddharta dengan penuh kesadaran meninggalkan gemerlap kehidupan istana untuk hidup sederhana, sebagaimana layaknya rakyat biasa.

      Ia rela melepas gelar kebangsawanan, kemewahan, kenikmatan hidup dunia, bahkan keluarga yang dicintainya. Pelepasan agung ini tak pernah bisa dicari analoginya dalam kenyataan sekuler.

      Berpuluh tahun lalu, para pejuang kemerdekaan dengan tekad bulat, mengusir penjajah yang menjarah kekayaan alam dan mencabik-cabik harga dirinya dan saudara sebangsa. Mereka mengorbankan segalanya; harta, kehormatan, bahkan nyawa. Mereka adalah pahlawan.

Kekuatan ketulusan

      Komitmen dan sikap Pangeran Siddharta serta para pahlawan pejuang untuk mengatasi penderitaan dan memerdekakan manusia adalah wujud semangat solidaritas, kebersamaan, dan kesetiakawanan sosial. Mereka disatukan oleh kesederajatan, senasib, sepenanggungan sebagai makhluk yang sama-sama tercecer dan tersingkir ke pinggir-pinggir kehidupan.

      Di atas semua itu, tak ada misi sedikitpun yang terselip dalam benak Pangeran Siddharta untuk mendirikan agama; pun tak ada secuil kepentingan untuk mencari pengikut. Pengorbanan dan perjuangan tanpa pamrih Sang Pangeran dan para pahlawan pejuang untuk mencari jalan pembebasan itu yang terus menggugah kita. Mereka dikenang karena ketulusan hatinya. Mereka akan tetap hidup dalam semangat luhur untuk menolong sesama; peduli pada pergumulan kehidupan.

      Kekuatan ketulusan membuat para pejuang kehidupan tak pernah menyesali setiap pengorbanan yang telah dilakukan. Mereka meyakini apa yang dilakukan; bahwa melakukan kebajikan akan berbuah kebahagiaan. Sementara orang yang tidak tulus akan lebih banyak gelisah dan khawatir, bahkan tak jarang kecewa dan menyesal manakala mendapati kenyataan yang tidak sesuai harapan.

      Dalam Anggutara Nikaya V, 2 Buddha Gotama menyatakan, “Seseorang yang sungguh-sungguh (tulus) dalam kebajikan, tidak perlu ada pemikiran yang bertujuan, semoga aku terbebas dari penyesalan; karena seseorang yang bajik dengan sendirinya akan terbebas dari penyesalan. Dan bagi seseorang yang terbebas dari penyesalan, tidak perlu ada pemikiran yang bertujuan, semoga aku berbahagia; karena orang yang terbebas dari penyesalan dengan sendirinya akan berbahagia”.


Tanpa pemilik kebajikan

      Menurut Buddha Gotama, kita harus menghancurkan egoisme pribadi untuk menghentikan penderitaan secara total. Namun, sikap tanpa keakuan itu tidak dapat dimiliki hanya karena mengerti, keakuan adalah ilusi. Keakuan juga tidak akan lenyap karena telah memahami, keakuan menjadi sumber penderitaan.

      Pengertian “tanpa aku” dan “tanpa diri” hanya kunci untuk membuka pintu kebenaran dan kebebasan, tetapi kebenaran tidak terletak pada kunci.

      Pengertian bahwa keakuan hanya ilusi yang diciptakan oleh pikiran sendiri dan bermuara pada kehancuran pribadi maupun masyarakat merupakan pengertian yang harus menjadi wawasan kita. Namun, pengertian “tanpa aku” itu harus terwujud dalam setiap perilaku kita.

      Perilaku bajik yang dilakukan dengan penuh kesadaran (sati) itulah ketulusan sebenarnya. Kesadaran penuh tidak memberi peluang pada hadirnya pemikiran keakuan, baik keakuan sebagai pribadi yang telah berbuat baik, apalagi keakuan yang amat kasar, seperti kehausan akan pahala, keuntungan materi maupun ketenaran.

      Kedamaian sejati akan tumbuh manakala kita mempraktikkan ketulusan altruistik yang sadar dilakukan dalam setiap tindakan. Ini berarti “aku” yang melakukan perjuangan dan pengorbanan tidak teridentifikasi. Tidak ada “aku” utuh yang melakukan perjuangan dan pengorbanan karena tidak ada “aku” yang berdiri sendiri tanpa ada kondisi-kondisi lain.

      Betapa berharganya kesadaran akan hal ini karena gagasan “milikku, perjuanganku, pengorbananku”, lagi-lagi hanya akan menyuburkan ketamakan dan penderitaan mental yang tak berkesudahan. Gagasan tentang “aku” hanya akan membunuh perkembangan spiritual kita.



Pikiran sulit dikendalikan

      Secara alamiah, pikiran yang tidak terlatih akan amat sulit dikendalikan. Pikiran itu merayu orang untuk menjadikannya sebagai makhluk yang diperbudak indera. Pikiran yang tidak terlatih itu menggoda manusia yang telah melakukan kebaikan menjadi sombong dan memamerkan kebaikannya, keilmuannya, hartanya, kedudukannya, pengalamannya, kekuatannya, dan aneka topeng duniawi lainnya yang dianggap dapat mengangkat citra dan pujian kepada dirinya. Demikianlah, khayalan dan emosi selalu menyesatkan manusia jika pikirannya tak pernah dilatih dengan benar.

      Jadi, perbuatan baik saja tak cukup untuk mencapai kebebasan. Kebahagiaan tertinggi tak dapat dicapai tanpa memurnikan pikiran. Buddha Gotama mengajarkan, meditasi adalah pendekatan psikologis yang dapat dilakukan untuk melatih, mengembangkan, dan memurnikan pikiran.


      Bangsa ini sudah terlalu lama jauh dari ketulusan; ketulusan yang membebaskan kita dari keserakahan, kebencian, dan berbagai ilusi yang selalu membakar mental.

      Mari kita, mulai dari diri sendiri, melangkah kembali di jalan ketulusan. Berbuat baik dengan ketulusan hati, menganut agama dengan ketulusan beriman, memangku jabatan dengan ketulusan menunaikan kewajiban, memimpin dengan ketulusan mengabdi.

      Selamat Trisuci Waisak 2551. Semoga semua makhluk terbebas dari penderitaan.


SRI PANNYAVARO
Bhikkhu, Kepala Vihara Mendut

Sumber: Harian Kompas, 2007
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Renungan dari Mendut
« Reply #3 on: 18 October 2008, 12:51:11 AM »
Biodata

Nama lahir: Husodo
Nama keagamaan: Pannyavaro
Nama lengkap (dengan gelar): Sri Pannyavaro Mahathera
Tempat dan tanggal lahir: Blora, 22 Juli 1954
Pendidikan akhir: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1972-1974)
Pentahbisan bhikkhu: 1977, Bangkok, Thailand
Gelar kehormatan: -Enam gelar dari Sangha (Pesamuhan Bhikkhu) Sri Lanka
                         -Satu gelar dari Raja Thailand Bhumibol Addulyadej/Rama IX.
Jabatan: - Kepala Vihara Mendut, Kota Mungkid, Magelang
             - Kepala Vihara Dhamma Sundara, Solo


Ia berbicara pelan, kadang bahkan sangat pelan. Suaranya halus. Kata-kata yang digunakan seperti dipilih secara ketat, membuat kalimat-kalimat yang keluar sebagai ucapan Sri Pannyavaro Mahathera (51) memiliki daya untuk menyapa nurani banyak orang. Suasananya hening dan teduh. Banyak peserta meneteskan air mata. Batuk-batuknya yang sangat mengganggu saat kami berbincang di Vihara Mendut, Magelang, sehari sebelumnya, hilang.


Peristiwa itu terjadi dalam penutupan Sidang Agung Gereja ka****k Indonesia (SAGKI) di Wisma Kinasih, Sukabumi, beberapa waktu lalu. Pannyavaro adalah pembicara terakhir—setelah beberapa tokoh agama lainnya—yang memberikan pemikirannya mengenai Habitus Baru.

Bagi Pannyavaro, Habitus Baru adalah ajakan bagi semua yang “nuraninya masih bisa berkata-kata”. Ajakan itu menjadi amat sulit dipahami bagi yang menganggap bahwa perilaku buruk bukan lagi hal buruk, bahkan bangga melakukannya.

Meski begitu, tak ada alasan untuk tidak optimistis. “Sekeras apa pun batu, tetesan air kesabaran, ketekunan, kasih sayang, kejujuran, dan kebijaksanaan akan membuat batu keburukan itu berlubang,” tuturnya. “Itulah kearifan Buddhis untuk kita semua,” ujar Kardinal J Darmoatmodjo.

“Melubangi batu keburukan” adalah pekerjaan besar, dimulai dari dalam diri dengan mengawasi gerak pikiran agar menuju kepada perilaku bajik. Dalam kebajikan, keserakahan dan kebencian tidak mendapat tempat.

Wawancara dengan Pannyavaro berikut ini mudah-mudahan dapat menjadi bagian dari perenungan ketika menapaki hari-hari di pengujung akhir tahun 2005.

Menurut Anda, apa tantangan terbesar saat ini sebagai individu, masyarakat, dan bangsa?
Yang menjadi keprihatinan kami, kalau semakin banyak saudara-saudara kita melakukan hal-hal yang tidak baik; mencuri, korupsi, memanfaatkan setiap kesempatan untuk kepentingan sendiri, melakukan kekerasan atau perilaku-perilaku yang menurut keadaban bersama merupakan kekejaman, tetapi tidak merasa bersalah, bangga, bahkan bersikap seolah-olah seperti pahlawan. Yang lebih memprihatinkan, sikap mental seperti ini mudah menular kepada yang lain.

Sikap mental seperti itu, di dalam pandangan Buddhis, diumpamakan asawa atau racun, yang meracuni darah kita, pemikiran kita. Awalnya mengambil kecil-kecilan. Lama-lama menjadi kebiasaan. Mencuri, korupsi, dan tindak kekerasan lalu menjadi art.

Meskipun institusi-institusi baru dilahirkan, sistem diatur kembali dalam sinar keadilan, perundingan dilengkapi, tetapi kalau moral masih berorientasi pada kenikmatan indriawi, keserakahan akan menghancurkan segala harapan baik.

Mengapa itu terjadi?
Kenikmatan indriawi itu begitu pentingnya bagi setiap orang apalagi dengan berkembangnya teknologi. Perilaku buruk adalah kenikmatan yang membakar-bakar keinginan, membuat orang tak peduli cara mendapatkannya. Kalau saya tidak senang kepada Anda, saya hancurkan Anda, lalu saya merasa puas.

Kesenangan membakar kita menjadi serakah dan ketidaksenangan (kepada yang lain) menjadi kebencian. Keduanya menciptakan penderitaan pada diri sendiri dan orang lain.

Mengapa orang terjebak kenikmatan seperti itu?
Dunia saat ini didominasi oleh kebudayaan yang berpusat pada materi, karena itu cenderung membakar-bakar keinginan. Kecukupan materi, bukan hanya harta, tetapi terutama kedudukan, kekuasaan dijadikan parameter keberhasilan. Itulah paradigma dunia modern tentang sukses dan bahagia. Etos modernitas sekarang ini adalah etos kerakusan. Manusia modern sulit melihat dimensi internal sebagai faktor terpenting keberhasilan. Orang bisa menjadi sangat kejam karena tak bisa mengendalikan kebencian dan keserakahan.


bersambung...
« Last Edit: 18 October 2008, 12:53:46 AM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Renungan dari Mendut
« Reply #4 on: 18 October 2008, 01:05:55 AM »
Di dalam diri setiap manusia

“Nafsu keserakahan ada di diri setiap orang,” kata Pannyavaro. Keserakahan tak memiliki batas kepuasan, tidak mengenal pertimbangan, kepedulian, dan saat untuk berhenti. Nafsu serakah mudah berubah menjadi kebencian dan menjadi benih kehancuran. Bila suatu saat keserakahan tak mampu memberikan kepuasan sesaat, kebencian muncul ke permukaan, melahirkan kemarahan, keinginan untuk menghancurkan, permusuhan, balas dendam, bahkan pembunuhan.

Ketulusan tak bisa lahir dari keserakahan dan kebencian. Kalau bantuan diulurkan, tetapi perilaku buruk tidak dihentikan, bantuan apa pun tak banyak artinya.

Realitas awal kasih sayang yang sejati, menurut Pannyavaro adalah kesanggupan mengendalikan diri dari segala perilaku tak bermoral. Sekecil apa pun perilaku buruk itu, ia akan memberikan keburukan bagi lingkungan karena ketergantungan merupakan keniscayaan dalam semesta ini.

Apakah sumber dari keserakahan dan kebencian?
Sumbernya adalah egoisme “keakuan”. Self centreness. Egoisme “keakuan” ini menyeret kita ke dalam inti kegelapan, membuat manusia tak bisa membedakan yang baik dari yang buruk. Ia membutuhkan manusia dari Dharma. Kegelapan tak hanya menjadikan gelap bagi jiwa seseorang, tetapi menimbulkan keonaran dalam keluarga, kericuhan di masyarakat, kekerasan, kekejaman, pelecehan hukum, dan pembunuhan. Kegelapan batin yang bersekutu dengan kekuasaan, senjata, bahkan teknologi akan menghancurkan tatanan dunia, peradaban, dan kemanusiaan.

Di sisi lain, ekspresi keberagamaan menguat….
Esensi realitas awal seseorang beragama adalah komitmen kuat untuk melakukan perubahan sikap mental, moral dan perilaku pada setiap pelakunya, lebih dapat membedakan yang buruk dan yang baik, lebih peduli, lebih berbelas kasih, dan lebih menghargai kehidupan. Keberagamaan menjadi tidak bermakna kalau tidak membawa perubahan.

Bagaimana menyikapi ini semua?
Punya komitmen kuat dan sungguh-sungguh untuk mengubah diri sendiri dulu untuk menjadi lebih baik meskipun suliiiit sekali. Bersama itu juga, kita mengajak yang lain dengan keteladanan. Pandai menuntut dan menggugat pihak lain tanpa peduli pada perbaikan diri sesungguhnya telah menanamkan kebencian pada dirinya dan juga orang lain.

Kesungguhan melakukan perubahan pada diri tentu berpengaruh pada masyarakat. Pengaruh menuju perbaikan akan sangat besar kalau para pemimpin mempunyai tekad kuat dan usaha keras untuk melakukan perubahan terhadap pribadinya sendiri. Keteladanan akan perilaku bajik dan kebijakan yang mengalir dari dirinya akan menyejahterakan masyarakat..


Bagaimana kalau membunuh karena meyakini suatu “kebenaran”?
Nurani yang masih bisa berkata-kata akan menghargai setiap kehidupan, selemah dan sekecil apa pun kehidupan itu. Saya meyakini hukum ketidakkekalan alam semesta, karena itu saya percaya orang selalu bisa berubah. Yang jahat bisa menjadi baik, karena itu jangan membenci mereka. Saya tidak setuju pada kejahatan, tetapi tak ada alasan untuk menghancurkan orang yang melakukan kejahatan. Kekerasan akan beranak dan bercucu kekerasan. Orang baik pun bisa menjadi jahat kalau ia terus dibakar oleh keinginan-keinginan. Karena itu, yang paling penting adalah mengawasi gerak pikiran kita sendiri.

Caranya?
Dengan melatih diri terus-menerus; dengan peduli pada penderitaan orang lain, tidak membandingkan, dengan pengendalian diri dan meditasi untuk memperkuat kesadaran. Kalau orang melakukan hal-hal berguna bagi orang lain, tetapi kemudian mulai terpikir bagaimana dari situ ia bisa mendapatkan sesuatu yang bersembunyi di dalam ‘keakuan’-nya, maka itu bukan greatness.

Lalu, apa “keberhasilan”?
Inner success yang mampu memberikan kebahagiaan dan ketentraman adalah kepuasan hati. ‘Kepuasan hati adalah kekayaan tertinggi’, santutti paramang dhanang. Mau mengurangi keserakahan, kebencian, mengurangi saja, maka akan timbul kepuasan hati. Apalagi kalau tahu kapan saat berhenti dari banyak keserakahan dan kebencian sebelum kematian tiba. Kemudian menggunakan waktu yang tersisa untuk lebih menambah kehidupan spiritual.

bersambung...
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Renungan dari Mendut
« Reply #5 on: 18 October 2008, 01:14:15 AM »
Membuang Kemelekatan

Pannyavaro dilahirkan dari keluarga penganut Buddhis tradisional. Tiga adiknya perempuan semua sehingga si sulung itu tak pernah diharapkan menjadi bhikkhu. Kedua orang tuanya mengharapkan ia menjadi dokter, karena itu ia diberi nama Husodo, yang artinya obat. Ia merasa tidak mengecewakan orang tuanya karena ia juga menjadi “dokter” meski yang diobati bukan penyakit medis.

Apa yang membuat Anda memutuskan menjadi bhikkhu?
Banyak faktor yang membawa saya ke sini. Itulah Dharma. Saya melihat tidak ada kebahagiaan yang abadi di dunia. Saya pikir, dengan menjadi bhikkhu, saya bisa mengambil jarak dengan fenomena kebahagiaan yang sementara itu dan kalau bisa memberikan pengabdian saya.

Menurut Buddha, yang membuat kita menderita adalah kemelekatan (attachment) dengan apa pun yang dicapai, yang dimiliki, sekalipun itu didapat dengan cara yang baik. Orang tahu semua di dunia ini bersifat sementara, tetapi ketika terjadi perubahan, misalnya kepergian orang-orang tercinta, kita tetap sulit menerima.

Kekuatan pada kearifan untuk menolak kemelekatan bukan hanya dengan belajar, tetapi dengan praktik mengendalikan diri, meditasi, berbuat kebaikan sehingga kalau menghadapi perubahan bisa seimbang. Tidak hanyut, marah, jengkel, sedih, kecewa, dan frustasi. Intelektualitas saja tak mampu menghantam kemelekatan yang membutakan.

Saya berharap kita terus berusaha melakukan kebajikan, berpikir baik, dan mengeluarkan kata-kata yang baik dalam hubungan sehari-hari. Ada cerita menarik tentang ini. Seorang pejabat yang dikenal culas dan tak suka hal-hal yang spiritual, suatu hari mengunjungi seorang guru meditasi. Ia bertanya, “Menurut Anda, saya seperti apa.” Sang guru menjawab, “Seperti Buddha.”

Para murid terkejut. Lalu bertanya bagaimana sang pejabat melihat guru mereka. “Seperti kerbau,” jawabnya.

Cerita ini bisa ditafsirkan macam-macam. Tetapi, menurut saya, kalau orang dipenuhi oleh pikiran positif, hanya yang baik yang akan keluar dari ucapannya.


***

Oleh Maria Hartiningsih dan Hariadi Saptono
Sumber: Harian Kompas (Minggu, 18 Des 2005)
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
"HIDUPLAH DENGAN HATI-HATI" oleh Bhante Sri Pannavaro
« Reply #6 on: 09 November 2008, 10:01:51 PM »
      Saudara, kita sering mendengar ungkapan HATI-HATI. Kita pun sering memberi nasehat kepada orang lain untuk berhati-hati. Tetapi sesungguhnya, hampir semua dari kita tidak mengerti dengan jelas, apakah sesungguhnya yang disebut dengan ‘hati-hati’ itu. Hati-hati itu memang perlu. Di mana saja kalau berhati-hati itu selalu baik. Tetapi kalau orang yang Saudara beri nasehat itu bertanya, yang disebut hati-hati itu yang bagaimana? Saudara mau jawab bagaimana? Apakah kalau mengendarai mobil 140 km/jam, itu sembrono? Tapi kalau mengendarai mobil 40 km/jam, itu kelewat takut! Apakah yang hati-hati itu kalau 90 km/jam? Apakah begitu? Tidak begitu, Saudara.

      Saudara, menurut Dhamma, yang dimaksud dengan hati-hati adalah suatu sikap yang didasari dengan kusala-cetana. Kusala-cetana adalah niat yang baik. Cetana artinya niat, kehendak, dorongan pikiran, motivasi, yang mendasari pemikiran kita. Dan kusala artinya baik, positif, bersih. Bersih artinya bersih dari kehendak yang tidak baik. Menurut pandangan Dhamma, apapun yang menjadi sikap kita, perbuatan kita, yang kita lakukan dengan jasmani atau ucapan, sebelum kita melakukannya, itu akan muncul dalam pikiran kita sebagai “kehendak”.

      Menurut pandangan agama Buddha, seperti yang disebutkan dalam Dhammapada, pikiran itu adalah awal, pikiran itu adalah pelopor, pikiran itu adalah pendahulu, pikiran itu adalah pemimpin. Apapun yang akan kita ucapkan, yang kita lakukan, sebelum kita melakukannya, sebelum kita mengucapkan, ia telah muncul lebih dahulu di dalam pikiran kita.

      Misalnya pohon yang ada di sana itu. Memang Saudara tidak bisa membuat pohon ini. Dia tumbuh secara alami. Tetapi agar pohon ini bisa ada di sini, sebelumnya ada seseorang yang mempunyai niat, “Saya akan menaruh pohon ini di depan patung Buddha itu.” Setelah niat itu muncul kemudian dia berpikir lebih mendalam, di mana pohon itu harus diambil, pohon jenis apa yang cocok, kemudian dia berpikir yang lebih detil.

      Juga, sebelum patung ini muncul, ia muncul terlebih dahulu di dalam ide seseorang. Saya ingin membuat patung Buddha. Dari ide itu kemudian muncul rencana. Patung Buddha yang seperti apa, yang sebesar apa, yang model apa, bahan apa, sikapnya seperti apa, kalau dijual harganya berapa, dan lain-lain. Dan kemudian muncul patung seperti ini. Sebelum bangunan ini muncul, sebelum gedung-gedung itu muncul, muncul lebih dahulu dalam pikiran seseorang. Saya akan membangun gedung 4 lantai, kemudian dibuat detailnya, dibuat rencananya, dipanggil arsitek, dihitung konstruksinya, dihitung biayanya, berapa lama bisa dilakukan, dan sebagainya, lalu dilaksanakan dan kemudian jadi.

      Yang memutuskan adalah pikiran kita. Jadi betapa pentingnya peranan kehendak kita. Oleh karena itu, orang yang ingin bersikap hati-hati, minimal dia harus mempunyai kehendak yang baik. Kehendak yang bersih dari kehendak tidak baik, bersih dari unsur-unsur yang tidak baik.

      Kehendak yang negatif, yang tidak baik, akan melahirkan atau menghasilkan perbuatan yang tidak baik. Perbuatan yang tidak baik selain merugikan diri sendiri juga akan merugikan orang lain, tidak mempunyai dukungan kuat. Dengan kalimat yang lain, tidak masuk akal, tidak sah. Mengapa demikian? Karena, bukankah semua makhluk, setidak-tidaknya sesama manusia, setiap orang, semuanya, agama apapun yang dianut, suku bangsa apapun, bagaimanapun profesi sosialnya, apakah orang kaya, orang miskin atau sangat miskin, semuanya menginginkan kebahagiaan. Kebahagiaan adalah tujuan, obsesi, dan keinginan setiap orang. Bahkan pencuri sekalipun kalau ditangkap dan ditanya, “Kamu mencuri apa sih tujuannya?” Pencuri itu menjawab, “Saya mencuri karena saya ingin berbahagia.” Tidak ada pencuri yang mencuri untuk sengsara, “Saya mencuri supaya nanti saya ditangkap, supaya digebuki.” Tidak ada yang seperti itu. Pencuri pun seperti Saudara, seperti kita, dia mencuri itu sesungguhnya juga ingin bahagia, hanya saja caranya yang salah. Apakah ada alasan kita untuk membencinya? Sesungguhnya tidak. Justru kasihan.

      Alangkah lemahnya orang yang mempunyai kehendak yang mengandung unsur untuk mencelakakan, memojokkan, menghancurkan, atau melenyapkan orang lain. Alangkah lemahnya dia, tidak masuk di akal, tidak bernalar. Mengapa harus mempunyai niat yang menghancurkan, memojokkan, atau melenyapkan orang lain? Mengapa? Bukankah semua orang termasuk Saudara, ingin bahagia? Mengapa Saudara berbuat begitu? Oleh karena itu, Saudara, saya ingin memberi garis bawah yang tebal untuk ini. Kalau Saudara ingin berhati-hati, cobalah berusaha untuk mengamat-amati, memeriksa, mengintip, mengecek setiap kehendak Saudara, “Apakah kehendak saya ini mengandung unsur yang negatif ataukah positif?” Itu adalah sikap hati-hati yang minimal. Itulah kriteria hati-hati yang pertama.

      Kalau saya boleh mengumpamakan, “kehendak” itu seperti produsen. Kamma, ucapan dan perbuatan-perbuatan yang kita lakukan—yang baik ataupun yang tidak baik—seperti produk (hasil produksinya). Kalau produsen itu memproduksi barang-barang dengan bahan-bahan yang baik, pasti hasil produksinya itu baik. Jadi Saudara, bagaimana menjaga ucapan dan perbuatan kita agar tidak menghancurkan, merugikan orang lain, melenyapkan, membunuh orang lain atau makhluk lain? Sebetulnya Saudara tidak perlu pusing. Kalau Saudara bisa menjaga kehendak Saudara, pasti ucapan dan tingkah laku yang muncul itu akan baik.

      Kadang-kadang walau kita sudah punya niat yang baik, masih saja ada orang yang salah mengerti. Salah mengerti adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Karena kita tidak bisa membuat orang lain mempunyai pandangan seperti yang kita harapkan. Tetapi Saudara minimal sudah punya itikad baik, niat baik, kehendak baik, itu sudah positif.

      Saya ingin memberikan satu contoh dengan cerita. Di negara mayoritas Buddhis patung Buddha ada di mana-mana, kadang-kadang di perempatan jalan, di depan kantor, sekolah-sekolah, di tepi jalan. Ada yang kecil, ada yang sedang, ada yang besar. Suatu hari ada umat Buddha yang berjalan di tengah hujan yang lebat, dia melihat patung Buddha kecil yang kehujanan. Dia pikir, “Wah, tidak pantas ini. Air hujan membasahi patung Buddha yang tidak ada tutupnya.” Tapi dia sendiri tidak membawa payung, pakaiannya basah. Mau diangkat dari semen, patung itu melekat dengan alasnya. Dia melihat ke kanan ke kiri, terlihat ada sebuah sepatu yang sudah dibuang, yang sudah jebol, baunya mungkin tidak karu-karuan. Sepatu yang jebol itu diambil, lalu ditaruh di atas kepala patung Buddha, supaya tidak kehujanan. Kemudian dia pergi. Pada waktu hujan sudah berhenti, ada orang lain lewat dan dia juga umat Buddha. “Siapa ini, sepatu jebol ditumpangi di kepalanya patung Buddha. Tidak betul caranya ini, tidak masuk akal, ini penghinaan.” Lalu diambilnya sepatu jebol itu dan dibuang.

      Saudara, menurut psikologi Buddhis, menurut jiwa Dhamma, atau menurut Ajaran Dhamma, kedua orang ini sama-sama memiliki cetana yang positif. Kedua orang ini sama-sama mempunyai tindakan yang positif, meskipun caranya yang berbeda. Orang yang pertama mengerudungi kepala patung dengan sepatu yang jebol; orang yang kedua mengatakan; perbuatan ini tidak baik. Orang yang pertama tetap mempunyai nilai yang positif, meskipun orang yang kedua salah paham dan mengira orang yang pertama itu mempunyai niat yang tidak baik. Niat yang positif itu tidak berubah menjadi niat yang negatif, meskipun orang lain menilai itu negatif.
Kalau saya menanam jagung, kemudian tumbuh. Sebelum berbuah, orang melihat apa yang ditanam ini, “Ini bukan jagung, ini jali,” tidak menjadi soal.
Meskipun orang menilai jagung ini jali, pada waktunya dia berbuah nanti, dia tetap akan menjadi jagung. Dan Saudara tidak usah pusing dengan apa yang akan Saudara hasilkan nanti. Benih itu, bibit itu seperti cetana. Kalau Saudara sudah memastikan bahwa kehendak Saudara itu baik, maka tidak usah pusing. Ucapan dan perbuatan Saudara, sekalipun orang lain akan salah paham, nilainya tetap positif. Apakah orang kedua yang melemparkan sandal yang jebol itu menghancurkan niat positif orang yang pertama? Tidak. Dan apa yang dia lakukan itu apakah negatif, karena dia merusak hasil orang yang pertama? Juga tidak. Orang yang kedua juga melakukan hal yang positif, karena dia membuang sepatu yang jebol itu dengan niat yang positif
.



Bingkai Kehidupan, Kumpulan Ceramah Dhamma Bhante Pannavaro, Hiduplah dengan Hati-Hati, pp. 97-102

bersambung...
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: "HIDUPLAH DENGAN HATI-HATI" oleh Bhante Sri Pannavaro
« Reply #7 on: 09 November 2008, 10:15:10 PM »
      Kalau kita bisa memeriksa dan memastikan bahwa tidak ada unsur yang negatif maka itu menjadi positif. Sekalipun orang lain salah paham kepada kita, sekalipun kita sudah lakukan namun tidak berhasil, tetap harganya positif. Itulah yang disebut dengan “hati-hati”. Orang yang hati-hati adalah orang yang selalu memeriksa kehendaknya, mengamati kehendaknya, jangan sampai menimbulkan kehendak negatif yang merugikan orang lain. Tetapi ini tidak cukup. Memang berhati-hati itu harus mempunyai niat yang baik, kehendak yang positif, tetapi tidak hanya asal mempunyai kehendak yang positif, tidak hanya asal mempunyai niat baik. Saya ingin menguraikan faktor yang lain, yaitu sati dan sampajanna. Apakah yang disebut dengan sati? Menurut Sutta, sati mempunyai banyak arti. Yang pertama yaitu kemampuan mengingat. Jadi apa-apa yang pernah Anda temui, kenalan-kenalan lama, begitu ketemu Saudara ingat, ini menunjukkan satinya kuat, ingatannya kuat, tidak lemah. Banyak mempelajari, dan yang dipelajarinya itu tidak dilupakan, itu satinya bagus. Tetapi sati juga berarti pengenalan. Memang ingatan dan pengenalan tidak bisa dipisahkan. Mengenali bentuk-bentuk, mengenali sesuatu, mengenali keadaan, mengenali orang-orang. Sati juga berarti kesadaran, sati juga berarti kewaspadaan, sati juga berarti perhatian. Jadi itulah arti dari sati. Ingatan, pengenalan, kesadaran, kewaspadaan, atau perhatian; mewaspadai setiap saat kehendak-kehendak yang muncul. Misalnya ketika dari berdiri sudah agak lama saya ingin duduk, saya harus tahu dengan jelas kehendak ini apakah positif atau negatif. Kalau hanya dari berdiri ingin duduk, dari duduk ingin berdiri, dari duduk ingin berjalan, maka itu netral (tidak positif, tidak negatif). Tetapi selain duduk, berdiri dan berjalan, kita juga mempunyai kehendak lain, misalnya ingin menemui dia, ingin melakukan ini, ingin melakukan itu. Mengamati kehendak adalah fungsi dari sati. Makin kuat sati kita, semakin kita tidak akan kecolongan. Makin lemah sati kita, maka kehendak kita akan muncul tidak karu-karuan. Lalu bagaimana agar sati ini menjadi kuat? Ia harus dilatih.. Tidak ada atlet yang langsung mempunyai otot yang kuat, nafas yang panjang, daya tahan fisik yang kuat. Itu harus dilatih Demikian juga sati yang kuat, kewaspadaan yang kuat, perhatian yang kuat, yang tidak lengah, tidak sembrono, itu harus dilatih. Kalau sati Saudara baik, maka cetana Saudara akan terseleksi. Tidak akan muncul begitu saja, tanpa diketahui, tanpa dilihat, tanpa diamati.

      Terjemahan sampajanna yang paling tepat adalah “pengertian lengkap” (pengertian atau pengetahuan lengkap). Apakah yang dimaksud dengan pengertian lengkap? Sampajanna meliputi 4 hal, yaitu:
a. satthaka-sampajanna
b. sappaya-sampajanna
c. gocara-sampajanna
d. asammoha-sampajanna

A.   Satthaka-sampajanna

Artinya “pengertian yang lengkap tentang kebenaran”. Ini maksudnya adalah kalau Saudara mempunyai kehendak yang baik, Saudara harus melihat “baik” itu dari berbagai segi. Yang pertama dari segi Dhamma. Apakah betul niat saya ini baik dari segi Dhamma, tidak bertentangan dengan Dhamma. Yang kedua, tidak bertentangan dengan hukum negara. Yang ketiga, juga tidak bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis yang berlaku di lingkungan sekitar.

Di daerah saya ada kepercayaan begini: kalau baru selesai melayat orang mati ke kuburan atau ke krematorium, tidak boleh langsung menengok orang sakit. Kalau habis melayat orang mati lalu menengok orang sakit itu nanti membuat si sakit cepat mati. Apakah betul, Bhante? Oh jelas itu tidak betul. Tidak sesuai dengan kebenaran. Mati, sehat, atau sakit itu tergantung dari berbagai macam faktor, singkat kata adalah karena KAMMA masing-masing. Tetapi kalau menurut Dhamma, menengok orang sakit itu memang baik. Hukum negara juga tidak ada yang melarang. Tetapi kalau di lingkungan atau di daerah orang itu menengok orang sakit setelah melayat itu ternyata menjadi pantangan bagi mereka, maka tentu kita harus mengikutinya agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Sebagai bhikkhu, apakah saya tidak ingin memperbaiki pandangan yang salah itu? Ya saya ingin. Tetapi caranya harus bijaksana, tidak radikal. Kalau radikal nanti jadi bumerang. Itu namanya sikap tidak hati-hati.

Saudara tidak perlu menjadi pahlawan, menjadi orang pertama yang memulai, dengan risiko akan membuat keonaran, kekacauan, ketidakharmonisan. Jadi, memang punya niat baik itu syarat mutlak, tetapi dia tidak boleh berdiri sendiri. Tidak asal niat baik. Niat baik itu harus satthaka-sampajanna. Kita harus melihat tidak hanya dari satu arah, tetapi dari berbagai arah, sehingga sikap kita tidak akan membuat keonaran, kekacauan, dan sebagainya. Itulah yang disebut dengan hati-hati. Kalau saudara tidak mau melihat kiri kanan, tidak mau melihat suasana sekitar, beranggapan “pokoknya niatku baik”, ini juga termasuk ceroboh.

B.   Sappaya-sampajanna

Artinya “pengertian lengkap tentang kelayakan”. Apakah yang dimaksud dengan kelayakan? Kalau saya mempunyai niat yang seperti ini, jelas sekali itu baik, bersih, saya sudah cek berkali-kali, periksa berkali-kali, dari segala arah, dari Dhamma, dari hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Tetapi, kita perlu sappaya-sampajanna, yaitu apakah saya mampu melaksanakan niat itu? Saudara harus mengukur pada diri sendiri. Satu contoh, seorang ibu-ibu yang sudah berumur 65 tahun, pendidikannya sampai kelas 5 SD, bisa baca dan tulis. Nah, kalau ibu berumur 65 tahun, dengan pendidikan formal hanya SD kelas 5, sekarang punya cita-cita ingin menjadi menteri—menteri sosial, misalnya, apakah mampu? Saya pernah mendapatkan penjelasan dari seseorang yang sering memberi pelajaran tentang manajemen. Menurut ilmu manajemen modern, seorang pemimpin itu harus bisa mengira-ngira. Jadi kalau mempunyai program atau cita-cita itu harus bisa mengira-ngira, mengukur, saya mampu mencapainya atau tidak? Persis sih memang tidak bisa, halangan pasti muncul, tetapi cita-citanya itu yang bernalar, jangan yang muluk-muluk. Pemimpin yang tidak mempunyai atau tidak melihat visi/gambaran kira-kira tujuan apa yang mampu ia capai, maka orang itu tidak bisa menjadi pemimpin. Karena meskipun programnya baik, bisa saja nantinya tidak terlaksana karena ternyata tidak ada kemampuan untuk mewujudkannya. Nah, itu namanya sembrono, bukan berhati-hati.

C.   Gocara-sampajanna

   Artinya “pengertian yang lengkap tentang ruang lingkup”. Apa yang dimaksud dengan ruang lingkup? Saudara boleh melakukan apa saja, yang sudah tentu dengan niat yang baik dan benar dari segala arah, asalkan apa yang Saudara lakukan itu mempunyai hubungan dengan apa yang ingin Saudara capai. Contohnya bagaimana? Misalnya kita mau membangun ke wihara, lalu kita bikin arisan. Tidak apa. Karena hasil arisannya nanti akan masuk ke panitia pembangunan. Jual parsel, tidak apa. Apa hubungannya parsel dengan wihara? Karena keuntungan dari jual parsel ini masuk ke panitia pembangunan. Bikin malam kesenian, lho wihara belum jadi kok malah senang-senang bikin acara malam kesenian. Tidak apa, asal ada keuntungannya, lalu keuntungannya masuk ke panitia pembangunan. Arisan, jual parsel, bikin malam kesenian, sepertinya tidak ada hubungannya dengan pembangunan wihara, tetapi kalau itu ditujukan untuk mencapai cita-cita, maka ia termasuk gocara-sampajanna.

   Sesungguhnya, dalam hidup bermasyarakat, Saudara sudah cukup bila hanya sampai di sini, yaitu: niat baik, satthaka-sampajanna, sappaya-sampajanna, dan gocara-sampajanna. Ini adalah bekal atau pedoman untuk membawa diri Saudara di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai macam rangsangan, bujukan, dan sebagainya. Tetapi di sini, kalau Saudara ingin meningkatkan batin Saudara menjadi ke tingkat yang lebih tinggi, tidak di level yang biasa, ada yang nomor empat, ini yang paling sulit.



Bingkai Kehidupan, Kumpulan Ceramah Dhamma Bhante Pannavaro, Hiduplah dengan Hati-Hati, pp. 102-107

bersambung...
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: "HIDUPLAH DENGAN HATI-HATI" oleh Bhante Sri Pannavaro
« Reply #8 on: 09 November 2008, 10:25:10 PM »
D.   Asammoha-sampajanna

Yang dimaksud dengan asammoha-sampajanna adalah “pengertian yang lengkap, bebas dari kegelapan batin, bebas dari moha”. Apakah yang dimaksud dengan hal ini, Saudara? Apabila Saudara menginginkan asammoha-sampajanna untuk meningkatkan kualitas batin Saudara, maka setelah berhasil mencapai suatu niat baik saudara tidak boleh memiliki perasaan atau pemikiran, “Saya sudah melakukan tujuan yang baik dan sudah berhasil,” atau, “Saya sudah menolong dia, saya sudah berkhotbah dan selesai, saya sudah membuat orang lain puas, saya sudah menyelesaikan kewajiban.” Hal tersebut tidak boleh ada. Mengapa? Karena bila ada pemikiran seperti itu, maka seakan-akan ada “aku yang sesungguhnya” yang melakukan dan merasakan keberhasilan itu; padahal tidak ada “aku yang sesungguhnya”.

Nah kemudian Saudara bertanya, “Jadi, Bhante, ini siapa yang memberikan Dhamma Class?” Saya pun menjawab, “Saya, aku.” Dan Saudara pun kembali bertanya, “Nah, itu kok boleh, Bhante?” Itu supaya kita tidak bingung ketika berbicara. Ini tas siapa? Ini tas saya, bukan tas Anda. Tetapi pengertian saya sendiri ke dalam harus dimengerti bahwa tidak ada aku yang benar-benar memiliki tas ini, tidak ada aku yang memberi khotbah yang sudah selesai dan membuat Anda puas. Mengapa kok tidak ada? Sebab khotbah ini bisa terjadi karena banyak macam sebab: ada lampu/penerangan, ada bahan, ada kehendak untuk berkhotbah, ada Saudara—kalau tidak ada Saudara, saya mau berkhotbah kepada siapa?

Jadi, seperti ada orang sakit, ada kehendak untuk mengobati, dan ada obat. Obatnya lalu diberikan kepada yang sakit. Yang sakit merasa senang karena sembuh. Kalau ditanya, “Siapa yang menolong dia—yang memberikan obat?” “Saya.” Itu boleh. Tetapi pengertian untuk kemajuan batin harus dimengerti bahwa tidak ada “saya” yang menolong mengambil obat. Mengapa? Karena kalau tidak ada yang sakit, siapa yang mau diambili obat? Kalau ada yang sakit, tidak ada obat, apa yang akan diberikan? Kalau saya sudah mengatakan, saya sudah menolong dia, mengatakan begitu dan merasa begitu menang, itu namanya menang-menangan, mendiskreditkan, menganggap orang sakit dan obat itu tidak ada. Yang ada, aku sudah berbuat menolong. Lalu, yang ada itu apa, Bhante? Yang ada adalah proses, proses yang baik, mata melihat, “Kok dia sakit?” lalu timbul kehendak, melihat obat ada di sini, tangannya bergerak, lalu obat ini diangkat, diberikan pada dia. Dianya lalu senyum-senyum, senang, ya sudah. Hanya begitu saudara—proses. Itu namanya proses yang baik. Aku yang berbuat baik itu tidak ada. Ini hanya salah satu faktor. Untuk bercakap-cakap, membuat orang agar tidak bingung, boleh kita mengatakan, “Dia yang memberikan obat.” Tetapi untuk kepentingan batin, ini tidak boleh. “Aku” yang sejati itu yang mana? Pikirannya, jasmaninya, perasaannya, hidungnya, atau matanya?

Sering saya bertanya, Saudara melihat ini sebagai apa? Bentuk apa ini? Rumah. Siapa di antara Saudara yang melihat ini lalu bilang, “Oh, ini nagasari.” Tidak ada. Tetapi coba Saudara tunjukkan, mana yang intinya rumah, mana yang disebut rumah yang sejati, yang betul-betul rumah? Kalau yang lain-lain dipisah-pisahkan, intinya rumah yang mana? Tidak ada. Coba Saudara tunjuk yang mana? Ini lantai, ini dinding, ini plafon, itu atap. Mana yang disebut rumah? Kalau bentuk ini dirobohkan, ditumpuk-tumpukkan di sini, rumahnya hilang. Orang melihat apa? Oh, itu puing-puing. Jadi rumah itu apa, Bhante? Rumah itu adalah sebutan saja, supaya kita tidak bingung. Ini rumah, ini gelas.

Kalau saya jalan pelan-pelan, Saudara mengatakan ini jalan. Tapi kalau nanti lebih cepat, disebut lari. Apakah ini jalan, atau sungguh-sungguh jalan? Ini hanya kaki yang bergerak begini. Proses kaki ini bergerak, itu yang betul.

Faktor-faktor berkumpul menjadi satu, cocok, lalu jadi, dan itu tidak kekal. Kalau Saudara bisa punya pengertian seperti begitu, batin Saudara akan naik menuju ke level yang tertinggi. Kalau hanya menjaga niat tidak negatif, tidak jahat, baik dari segala arah, punya cita-cita yang masuk akal, tidak muluk-muluk, dan berusaha mencapai sukses, dan bahagia, itu biasa, Saudara. Dan itu sudah cukup untuk hidup bermasyarakat. Jadi kalau Saudara tidak bisa mengerti yang nomor 4, jangan pusing. Tinggalkan saja! Buang! Tidak usah dipikir-pikir. Buang saja! Yang penting saya menginginkan Saudara minimal mempunyai sikap yang disebut hati-hati.

Hati-hati itu menurut Ajaran Buddha adalah punya kehendak baik. Dan itu harus sengaja dilihat, diteliti dan betul-betul kita mengerti itu sebagai baik, dari segala arah. Dari Dhamma, dari undang-undang, dari lingkungan, dan bukan dari hanya karena kita merasa itu baik. Kemudian sappaya-sampajanna, niat itu masuk akal, mampu kita lakukan dan capai. Kemudian berusaha dengan tidak meninggalkan niat yang telah kita sepakati—gocara-sampajanna—maka itu sudah cukup. Kusala cetana, satthaka-sampajanna, sappaya-sampajanna, gocara-sampajanna, cukup! Kalau Saudara tidak mengerti yang nomor 4, buang saja. Tetapi kalau Saudara bisa mengerti, Saudara membawa sikap mental Saudara ke tingkat level yang paling tinggi, yang mungkin itulah ciri khas dari Ajaran Buddha.

***

Bingkai Kehidupan, Kumpulan Ceramah Dhamma Bhante Pannavaro, Hiduplah dengan Hati-Hati, pp. 107-111
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

 

anything