Semoga cerita ini dapat membantu.
Ada seorang petapa yang tak pernah bicara. Namanya vappa, sepertinya Ia yang paling takutsosok Gautama yang dulu muncul lagi. Waktu Ia dipanggil dan diberitahu Ia akan dapat pencerahan, vappa menyambut berita itu dengan ragu ragu. "jika yang kau katakan padaku benar, aku akan merasakan sesuatu, padahal aku tidak merasa apa apa," katanya.
"Saat kau menggali sumur, tak ada tanda tanda air sampai mendapatkannya, hanya ada batu dan tanah yang perlu disingkirkan. Kau sudah memindahkan cukup banyak rintangan; tak lama lagi air akan mengalir," kata Buddha. Tapi bukannya yakin , Vappa malah tersungkur ditanah, menagis dan memeluk kaki Buddha.
"Itu takkan pernah terjadi," katanya."jangan beri aku harapan kosong."
"aku tidak menawarkan harapan," kata Buddha."Karmamu membawamu padaku, sama seperti empat orang lainnya. Aku bisa melihat tak lama lagi kau akan menjadi yang telah bangun".
"Lalu kenapa aku memiliki begitu banyak pikiran kotor?" tanya Vappa yang sangat mudah marah sehingga petapa lain terintimidasi olehnya.
"Jangan percaya pada pikiranmu," kata Buddha. "Kau tak bisa 'bangun' hanya dengan memikirkannya".
"Saat kelaparan aku pernah mencuri makanan, dan aku juga pernah mencuri dari sesama petapa serta tidur dengan wanita," kata Vappa.
"jangan percaya pada tindakanmu. Tindakanmu dilakukan oleh tubuhmu," kata Buddha. "tubuhmu tidak bisa membuatmu terbangunkan."
Vappa tetap gundah, wajahnya semakin tegang saat mendengar kata kata Buddha. "aku harus pergi dari sini. Kataku tak ada peperangan antara baik dan jahat, tapi aku merasakannya dalam diriku. Aku merasakan betapa baiknya dirimu, itu hanya membuatku merasa lebih buruk."
Kegundahan Vappa begitu nyata, sehingga Buddha bisa merasakan getaran godaan. Buddha bisa mengulurkan tangan dan mengangkat beban rasa bersalah Vappa dari pundaknyadengan sekali sentuh. Tapi membuat Vappa bahagia tidak sama dengan membuatnya bebas, dan Buddha tahu Ia tidak bisa menyentuh setiap orang yang ada didunia ini. Ia berkata,"Aku bisa melihat ada peperangan dalam dirimu, Vappa. Kau harus percaya padaku saat kukatakan takkan pernah menang."
Vappa menunduk makin dalam. "Aku tahu itu. Jadi aku harus pergi?"
"Tidak, kau salah paham," kata Buddha lembut. "Tak seorang pun pernah memenangkan pertarungan itu. Baik lawan jahat sama saja seperti musim panas lawan musim dingin, terang lawan gelap. Meraja menyatu dalam rancangan abadi alam."
"Tapi kau menang. Kau baik; aku merasakanya," kata Vappa.
"Yang kau rasakan adalah sosok yang ada didalamku, dan kau juga memilikinya," kata Buddha. "aku tidak menaklukkan kejahatan atau merangkul kebaikan. Aku memisahkan diriku dari keduanya."
"Bagaimana?"
"Tidak sulit. Setelah aku mengakui pada diriku sendiri bahwa aku takkan pernah menjadi benar benar baik atau bebas dari dosa. Sesuatu didalamku berubah. Aku tidak lagi terganggu oleh perang itu; perhatianku bisa kupusatkan pada hal lain. Pikiranmu melayang melampaui tubuhku dan aku melihat siapa diriku sebenarnya. Aku bukan prajurit. Aku bukan tawanan nafsu. Semua hal itudatang dan pergi. Aku bertanya pada diriku sendiri: siapa yang mengamati peperangan itu? Kepada siapa aku akan kembali saat kesengsaraan berakhir, atau saat kenikmatan berakhir? Siapa yang puas hanya dengan menjadi ada? Kau juga pernah merasakan kedamaian hanya dengan merasakan keberadaanmu sendiri. Bangun dan sadarilah, lalu kau akan bebas seperti aku."
Ajaran ini memiliki efek luar biasa pada Vappa, yang langsung mengunakan seluruh sisa hidupnya dalam misi melayani orang orang paling miskin dan papa dalam masyarakat. Ia yakin Buddha telah menyampaikan kebenaran yang bisa dikenali semua orang: penderitaan adalah bagian hidup yang tak terelakkan. Membebaskan diri dari kesengsaraan dan berlari menuju kenikmatan takkan mengubah fakta tersebut. Namun sebagian besar orang menghabiskan seluruh hidup mereka menghindari sengsara dan mengejar kenikmatan. Bagi mereka hal ini alami, tapi pada kenyataannya mereka begitu jauh terlibat dalam peperangan yang takkan pernah mereka menangkan.
Dikutip dari novel Buddha by Deepak Chopra