//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Candi Borobudur ^_^  (Read 30813 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #60 on: 07 October 2008, 08:17:30 PM »
 _/\_
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #61 on: 02 February 2009, 12:14:34 AM »
Brahmana Jataka
Kelahiran Sebagai Brahmana

Apakah yang mempertahankan orang baik di jalan kebajikan?
Yaitu rasa malu serta kesusilaannya.

Suatu ketika Bodhisattva mengambil kelahiran sebagai putra seorang brahmana mulia, sangat dihormati karena keturunan serta tingkah lakunya, sebuah keluarga yang menjunjung tinggi adat istiadat, mengendalikan dirinya serta menjalankan praktik. Ia menerima diksa sebagaimana umumnya, serta upacara penyucian yang diwajibkan, dan pada usianya yang telah pantas, ia dikirimkan agar tinggal bersama seorang guru untuk belajar, kelahirannya (kastanya) dan juga suri teladan tingkah lakunya.

Anak tersebut dengan segera mengerti apa yang diajarkan kepadanya, bertanggung jawab (yang sangat ditekankan oleh keluarganya), kelakuan baiknya serta tingkah lakunya yang tenang, semuanya sangat jarang menghiasi seorang pemuda, membuat gurunya memperlakukannya dengan lebih sayang serta senang. Singkatnya, jika kesaktian kebajikan dapat mempengaruhi bahkan mereka yang terbakar oleh api kebencian, apalagi terhadap mereka yang memang baik hati. Gurunya, untuk menguji moralitas para siswanya, bermaksud mengeluhkan derita serta kemiskinan dirinya. Di saat jeda pelajaran suci ia mengeluh:

"Bagi orang yang tak memiliki sarana keluarga, tak punya kebahagiaan, bahkan di hari raya! Mengemis makanan membuatku lelah. Kemiskinan sungguh keadaan yang menakutkan dan tiada harapan adalah buahnya. Menjadi orang miskin sama halnya dengan menjadi orang buangan, lahir hanya untuk membanting tulang! Kemiskinan adalah keadaan yang lemah, tiada kegembiraan serta tiada habisnya kesusahan."

Seperti kuda yang berjingkat tertusuk duri, para siswanya begitu tersentuh oleh ucapan gurunya hingga mereka bersemangat mengumpulkan makanan lebih banyak dan lebih baik untuknya. Namun demikian hanya membuatnya kecewa saja, ia berkata:

“Nak, tak usah lakukan berbagai kesulitan itu. Sisa makanan yang dikumpulkan dari mengemis setiap hari tak akan dapat menghapuskan kesulitan kemiskinan. Bila kesulitanku telah menjadi beban bagimu, pusatkan usahamu untuk meningkatkan kekayaanmu! Itulah cara yang tepat dilakukan. Mengapa aku berkata seperti ini?

Sebagaimana rasa lapar yang dihilangkan dengan makanan, rasa haus dengan air, sebagaimana rasa sakit disembuhkan dengan obat serta jampi-jampi yang sesuai, demikian pula halnya penyakit kemiskinan terhapus oleh harta kekayaan. Untuk menghapus kemiskinan, orang harus mendapatkan harta dengan cara bagaimanapun."

Siswanya menjawab:

"Tapi apa yang dapat kita lakukan? Kita tak punya apa-apa. Jika harta seperti halnya makanan, yang dapat diperoleh dengan mengemis, kami tak akan membiarkanmu mengalami kemiskinan seperti ini. Tapi seperti yang kau tahu, brahmana hanya memperoleh harta dengan menerima pemberian, sementara orang-orang di sisi lain, jauh dari kemurahan hati. Sehingga kita tak berdaya dan penuh kesulitan."

Jawab gurunya:

“Lihatlah ke dalam buku agama. Di sana terdapat cara lain bagi seorang brahmana untuk mendapatkan kekayaan! Sayangnya, aku tak sesuai untuk menjalankannya karena aku sudah tua dan juga tidak kuat."

"Bukankah kami masih muda dan kuat!" ujar mereka. "Bila engkau menganggap kami sesuai untuk menjalankan ajaran tersebut, katakana pada kami apa itu. Kami pasti akan membalas kebaikan ajaranmu!"

"Tidak!" jawab gurunya. "Cara untuk mendapatkan harta seperti itu sangat sulit bagi anak muda yang pikirannya kurang teguh. Tapi baiklah mengingat bahwa kalian dengan hormat mendesakku, untuk itu aku akan sekali saja membuka jalan itu.

Dalam ajaran, dikatakan bahwa pada masa-masa sulit mencuri merupakan cara hidup yang diakui oleh brahmana. Dan kesulitan apa yang lebih besar dari kemiskinan di dunia ini? Lalu apa yang menghalangi kita dari menikmati harta orang lain? Sebenarnya, seluruh benda di dunia ini menjadi milik brahmana.

Sekarang, meskipun kalian dengan tanpa ragu melihat harta seperti itu tergeletak, kalian harus ingat terhadap nama baik kalian, dan tidak mengambil benda apa pun dengan cara begitu saja. Gunakan kemahiranmu yang tak terlihat, di tempat yang sepi dan waktu yang lengang."

Ungkapan yang demikian memutuskan kendali para siswanya, yang seketika menganggap bahwa nasihat buruk tersebut seolah-olah baik, di mana mereka semua sangat bersemangat melakukan apa yang telah dianjurkan oleh gurunya. Semua siswa, kecuali Bodhisattva, di mana sifat baiknya tak membiarkannya menerima nasihat gurunya, meskipun itu telah diterima oleh siswa yang lain sebagai tugas.

Malu, dengan mata tertunduk, Bodhisattva tertegun diam. Gurunya, yang mengenali kebajikan murid mudanya yang begitu mulia, melihat bahwa Bodhisattva tak menerima ataupun berbicara menentang rencananya. Ia lalu berpikir dalam hatinya: "Mengapa ia melawan? Apakah ia kurang keberanian? Apakah karena ia tak memedulikanku, ataukah ia mengerti Dharma, dan tahu bahwa pencurian tersebut merupakan perbuatan jahat?"

Berharap dapat membuka isi hati anak itu, gurunya bertanya pada Bodhisattva: "Oh Brahmana Agung semua orang dwijati itu, tak sanggup melihat kemalanganku, berkehendak mengikuti jalan para pahlawan, bersemangat dan pemberani. Pada dirimu aku tak melihat apa pun kecuali kemalasan serta kelambanan. Jelas sekali bila dirimu sama sekali tak peduli pada kesulitanku. Bukankah penderitaanku nyata adanya? Apakah aku tak pernah mengutarakannya secara terbuka? Engkau hanya duduk di sini. Bagaimana bisa Engkau tak tersentuh oleh kesulitanku?"

Mendapat teguran, Bodhisattva dengan hormat membungkuk pada gurunya dan menjawab:

"Mohon, jangan menganggapku demikian! Bukannya tak terpengaruh, ataupun karena keras hati yang membuatku diam; bukan pula tak tergerak oleh penderitaanmu. Namun tindakan yang Guru anjurkan tak dapat dilaksanakan. Kenapa tidak? Sungguh tak mungkin melakukan perbuatan jahat tanpa dilihat.

Bagi pelaku kejahatan tak ada tempat yang disebut sepi: Di mana pun tak ada orang yang benar-benar sendirian. Bukankah mata dewa para makhluk agung, bukankah para Muni suci senantiasa melihat perbuatan kita? Tidak melihat mereka, orang bodoh melakukan perbuatan jahat, menyangka dirinya sendirian. Tetapi memahami hal ini, tak akan membuat hal seperti itu terjadi.

Bahkan, di mana pun yang tak ada orang lain, kosongkah tempat itu dari diriku sendiri? Kesaksianku justru jauh lebih bisa dipercaya daripada siapa pun. Orang lain barangkali memang tidak melihatku, karena sibuk dengan urusan lain, tapi bila aku melakukan perbuatan salah, bersemangat menyerah pada kehendak keinginanku sendiri, apakah benar-benar tak tahu apa yang kulakukan itu? Karena alasan inilah aku tak mau mengikuti yang lain."

Mengetahui jika gurunya puas dengan jawabannya, Bodhisattva melanjutkan:

"Aku tak akan meyakinkan diriku bahwa Engkau memperdayai kami dengan cara ini, semata-mata hanya untuk memperoleh harta. Barang siapa yang mengerti perbedaan antara kebajikan dan kejahatan, dapatkah tergoda oleh harta dengan membunuh kebajikan?

Lebih baik memakai pakaian usang dan mengangkat mangkok pengemis, meskipun di tengah-tengah musuh kemewahan, daripada tanpa malu melawan ajaran, bahkan menjadi pemimpin bagi para dewa."

Dengan kata-kata tersebut, gurunya bangkit dari duduknya, sangat senang dan penuh kekaguman. Memeluk siswanya, lalu berkata:

"Sangat bagus, kata-kata yang benar, Oh Brahmana Mulia! Kata-kata seperti itu tentulah muncul pada orang dengan kepandaian yang dihiasi oleh keseimbangan batin. Orang bodoh mungkin saja tergelincir dari kewajibannya, tergoda oleh berbagai macam hal. Tetapi orang yang baik tak akan pernah keliru, bahkan ketika mereka berada dalam kesulitan berat. Praktik pertapaan, belajar dan kebijaksanaan adalah kekayaan yang cukup bagi mereka.

Sebagaimana bulan musim gugur menghiasi cakrawala, demikianlah dirimu menjadi perhiasan bagi keluargamu. Tingkah lakumu menunjukkan bahwa dirimu telah memahami makna kitab-kitab suci, dan tugasku adalah memberkati dengan berbagai keberhasilan."

Dari kisah ini kita dapat melihat bagaimana Mahasattva, mengikuti ketetapan hatinya, tak melanggar batas sikap baik. Untuk alasan ini, orang yang berhati mulia senantiasa dihiasi dengan kekuatan rasa malu serta kesusilaan. Arya Shravaka, terlindung dengan baik oleh benteng keteguhan hatinya, menghindari apa yang tidak baik dan memperkuat apa yang baik. Kisah ini juga mengacu pada kitab-kitab pujian pada adat istiadat serta kehormatan diri.

Sumber: JATAKAMALA - Untaian Kelahiran Bodhisattva, Acharya Aryasura, BHUMISAMBHARA

Oleh diri sendiri kejahatan diperbuat.
Karena diri sendiri seseorang menjadi ternoda.
Oleh diri sendiri kejahatan tak diperbuat.
Karena diri sendiri seseorang menjadi suci.
Kesucian atau ketaksucian adalah milik masing-masing.
Tak seorang pun dapat menyucikan orang lain.
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Offline N1AR

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 930
  • Reputasi: 22
  • Yui
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #62 on: 02 February 2009, 09:14:07 AM »
ini namanya keras kepala ^^

ada dompet dijalanan. kalau saya jawab ambil atau tidak ambil saya berbohong namanya kan..

tergantung situasi dan kondisi pada waktu itu ;D
« Last Edit: 02 February 2009, 09:16:26 AM by N1AR »

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #63 on: 22 February 2009, 10:51:38 PM »
ini namanya keras kepala ^^

ada dompet dijalanan. kalau saya jawab ambil atau tidak ambil saya berbohong namanya kan..

tergantung situasi dan kondisi pada waktu itu ;D

jika mengambil sesuatu yang bukan milik sendiri namanya apa ya..
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #64 on: 29 April 2009, 12:39:07 AM »
BISA JATAKA
“UBI TERATAI”


Orang yang telah belajar untuk mengusahakan kebahagiaan tiadanya keterikatan akan berpaling dari kesenangan duniawi, menjauhinya, seolah-olah ia menyebabkan aib atau penderitaan baginya.

Suatu ketika Bodhisattva terlahir dalam sebuah keluarga brahmana yang sangat mulia, yang dipuji atas kebajikan serta tiadanya sifat-sifat tercela. Ia mempunyai enam saudara laki-laki yang sifat serta pembawaannya seperti dirinya, dan seorang saudara perempuan, yang seluruhnya mengikutinya dalam segala hal, disebabkan oleh pengaruh serta rasa sikap hormat mereka.

Setelah mempelajari Veda dan menguasai pengetahuan tentang obat-obatan, ketangkasan musik dan kerajinan tangan, ia sangat dihormati oleh seluruh penduduk. Ia merupakan anak yang sangat berbakti pada orang tuanya, menghormati orang tuanya seolah mereka para dewa; terhadap para saudara laki-lakinya ia bagaikan seorang guru atau ayah, mengajari mereka dalam berbagai pengetahuan. Ia sangat mahir dalam urusan-urusan duniawi ditunjang oleh kedisiplinannya yang tiada banding dan juga perilaku hidupnya.

Pada saat orang tuanya meninggal, perasaan kehilangan sangat dirasakannya. Seusai upacara pemakaman dan setelah beberapa hari berkabung. Ia mengumpulkan semua saudaranya dan berkata kepada mereka: “Meskipun kita ingin tetap bersama-sama seterusnya, kematian pastilah memisahkan kita dari orang yang kita cintai. Demikianlah sifat dunia ini dan itulah sumber penderitaan berat serta kesedihan. Karenanya aku bermaksud meninggalkan kehidupan rumah tangga, agar kematian tak mencariku sementara aku masih terikat pada kehidupan duniawi. Aku berkehendak akan mengembara tanpa rumah di Jalan Menuju Pencerahan. Setelah memutuskan hal ini, aku akan memberi kalian beberapa nasihat perpisahan: Keluarga kita telah memiliki kekayaan dengan cara yang pantas, dengannya kalian akan dapat dengan mudah menghidupi diri kalian sendiri. berdiamlah di sini sebagai perumah tangga dengan cara yang benar serta pantas. Saling mengasihi serta menghargai satu sama lain; cermat dalam mengikuti ajaran-ajaran kebajikan serta menjaga praktik kebajikan. Pelajarilah kitab-kitab suci, selalu bersiap memenuhi keinginan para sahabatmu, para tamumu dan juga keluargamu. Jelasnya, arahkan dirimu pada Dharma. Senantiasa bertindak dengan sikap disiplin dan rukun dengan orang lain; senanglah belajar dan memberi dana. Berhentilah menghiasi hidup sebagai perumah tangga. Nama baikmu akan berkembang, bersama dengan kebajikan dan kekayaanmu, memberimu kebahagiaan dalam hidup ini dan juga dalam kehidupan yang datang.”

Akan tetapi pembicaraan tentang kehidupan berumah tangga serta perpisahan ini, benar-benar mengejutkan para saudaranya. Diliputi oleh perasaan sedih, wajah mereka basah oleh air mata, mereka bersujud dengan hormat sambil berkata:
“Kematian ayah masih segar dalam ingatan kita, mohon jangan menimpakan kesedihan yang baru pada kita. Kesedihan akibat kematian orang tua masih meliputi kita; keputusanmu bagaikan garam yang ditaburkan di atas luka menganga.

Jika Engkau benar-benar menganggap bahwa keterikatan pada hidup berumah tangga adalah tidak bijaksana, dan hidup di hutan sebagai satu-satunya jalan menuju kebahagiaan sejati, mengapa Engkau hendak pergi seorang diri, meninggalkan kami di sini tanpa pelindung? Hidup yang kaupilih tentunya juga pilihan kami. Kami juga akan meninggalkan kehidupan duniawi.”

Bodhisattva menjawab: “Mereka yang tidak biasa melepaskan keterikatan, tak akan bisa selain mengikuti keinginan duniawi secara membuta; mereka melihat tiada beda antara meninggalkan duniawi dengan meloncat dari tebing. Memahami hal ini, aku menghindarkan diri dari mendorong kalian untuk turut serta. Namun demikian bila hal itu benar-benar membuat kalian senang, baiklah, mari kita tinggalkan rumah bersama-sama!”

Demikianlah ketujuh bersaudara tersebut bersama-sama dengan saudara perempuannya meninggalkan harta kekayaan rumah serta kesenangannya. Pergi diiringi oleh tangis para sahabat serta sanak saudara, mereka selanjutnya menjadi pertapa tanpa rumah. Mereka bersama-sama masuk ke dalam hutan yang menjadi tujuannya; karena tertarik juga turut serta salah seorang sahabat mereka bersama dengan dua orang pelayannya, seorang pria dan seorang wanita.

Mereka menjumpai sebuah telaga sangat besar di dalam hutan, airnya jernih kebiru-biruan. Di siang hari telaga tersebut menyala dalam keindahan; banyak bunga teratai yang mekar mengapung di atas airnya yang berkilauan, dengung lebah terbang di atas ombak. Di malam hari bunga kumuda membuka kuntumnya.

Di tepi telaga, mereka mendirikan pondok dari daun palem dalam jarak yang sama satu dengan yang lain, masing-masing pondok sepi serta tersembunyi di bawah bayangan pohon. Di sanalah mereka berdiam, menekuni ikrar-ikrar serta praktiknya, batin mereka terpusat pada praktik meditasi. Setiap hari kelima belas, mereka pergi bersana-sama menghadap Bodhisattva, untuk mendengarkan ajaran tentang jalan menuju ketenangan dan menaklukkan pikiran. Sering bodhisattva berbicara tentang kebajikan meditasi dan pengaruh keinginan yang menghancurkan, atau menjelaskan tentang kepuasan yang timbul dari pelepasan, memperingatkan mengenai kepura-puraan, pembicaraan yang tiada guna, kemalasan dan semacamnya. Dengan cara demikianlah ia memperkuat semangat para pendengarnya.

Saat itu pelayan perempuan mereka, dengan penuh rasa hormat serta kekaguman, terus mengikuti mereka bahkan hingga ke dalam hutan. Setiap hari ia mencabuti banyak ubi teratai dari telaga dan membagikannya dengan rata di atas daun bunga teratai. Bila makanan telah dipersiapkan dengan pantas dan diletakkan di tempat bersih di tepi telaga, ia akan memukulkan dua potong kayu bersamaan untuk memberitahu bahwa makanan telah siap, setelah itu ia diam-diam mengundurkan dirinya.

Sang suci, setelah melaksanakan doa-doa dan persembahan sebagaimana biasa, akan berjalan ke tepi telaga satu persatu sesuai usianya. Masing-masing akan mengambil bagian ubinya lalu kembali lagi ke dalam pondoknya, menyantap makanannya. Sisa waktunya sepanjang hari dihabiskan dalam meditasi. Dengna jalan ini mereka menghindari saling melihat sepanjang waktu kecuali pada saat mendengarkan ajaran.

Praktik sila yang demikian luar biasa, kemurnian bertingkah laku serta hidup yang demikian, dan kesenangan pada pelepasan yang demikian, menjadikan mereka sangat termashyur. Ketika Sakka, Raja para dewa, mendengar tentang keluarga suci ini, ia pergi ke istana kediamannya untuk menyusun rencana menguji mereka. Mengetahui kecakapannya dalam bermeditasi, mereka bebas dari kebiasaan buruk serta keinginan, dan mereka bercirikan ketenangan, kekagumannya terhadap mereka semakin besar, membuat lebih kuat lagi keinginan untuk menguji mereka.

Demikianlah, mereka yang telah bebas dari keinginan, mereka yang berdiam jauh di dalam hutan belantara, yang sepenuhnya berada dalam ketenangan batin, senantiasa menyebabkan timbulnya rasa hormat di hati orang-orang baik.

Ketika perempuan pelayan tersebut sedang mengumpulkan ubi teratai, yang berwarna putih bagaikan gading gajah muda. Sakka mengawasinya tanpa terlihat. Gadis itu kemudian mencucinya dan membaginya secara merata di atas lembar daun teratai berwarna hijau zamrud, menghiasi setiap daunnya dengan kuntum bunga dan madu. Sakka mengawasi ketika gadis tersebut memberitahukan bahwa makanan telah siap kepada para pertapa suci dengan cara memukulkan dua potong kayu, juga mengawasi saat gadis tersebut pergi. Saat itu juga, Sakka membuat satu bagian yang pertama lenyap dari atas lembar daun teratai. Dengan demikian bila persoalan muncul dan rasa puas hilang, keteguhan orang yang baik telah diuji dengan baik.

Ketika Bodhisattva mengetahui bahwa ubinya hilang dari atas daun teratai, kuntum bunga dan madu penghiasnya rusak, ia berpikir: “Seseorang telah mengambil makanan bagianku!” Tetapi tidak merasa marah ataupun terpengaruh, ia kembali lagi ke dalam pondoknya sebagaimana biasa dan kembali bermeditasi. Ia merasa tak perlu memberitahukan kejadian tersebut kepada yang lain, tak ingin mengganggu mereka. Dan mereka tentu saja, yakin bahwa Bodhisattva telah memakan bagiannya, mengambil bagiannya masing-masing sebagaimana biasa dan memakannya di dalam pondok mereka, setelah itu kembali melaksanakan meditasinya.

Dengan cara yang sama, Sakka mengambil bagian Bodhisattva pada hari kedua, ketiga, keempat dan kelima. Namun demikian kejadiannya tetap saja sama; Mahasattva tetap tenang dan sama sekali tak mempersoalkannya. Sesungguhnya, bagi orang yang baik, itu adalah hasutan pikiran, bukan berakhirnya hidup yang menyebabkan kematian yang sesungguhnya. Sehingga orang yang baik tetap sama sekali tak terganggu, bahkan meskipun hidupnya dalam keadaan bahaya.

Pada hari kelima belas sore, para pertapa sebagaimana biasa pergi ke pondok bodhisattva untuk mendengarkan ajarannya. Tetapi saat melihatnya, mereka sangat terkejut; tubuh Bodhisattva begitu kurus, perutnya begitu kosong dan matanya begitu sayu. Wajahnya yang berseri telah berkabut, suaranya kehilangan kekuatannya. Tetap saja, betapapun sangat kurus, ia tetap menarik bagaikan bulan sabit, berkat kebajikan, kebijaksanaan, keteguhan dan keseimbangan batinnya yang tak pernah surut.

Setelah menyampaikan hormat kepada Bodhisattva sebagaimana biasa, para saudaranya lalu bertanya kepadanya dengan cemas yang menjadi penyebab keadaannya tersebut, dan Bodhisattva memberitahu mereka tentang makanannya yang hilang. Sulit membayangkan siapakah yang tega melakukan perbuatan seperti itu, dan sedikit cemas atas penderitaan saudaranya, para pertapa membicarakan penderitaannya, mata mereka tertunduk ke tanah sedih. Akan tetapi karena kekuatan Sakka secara perlahan-lahan telah bekerja mempengaruhi pikiran mereka, ia tak dapat bertamu karena keanehannya yang tak terlihat.

Lalu salah seorang saudara, tepatnya adik dari Bodhisattva, menunjukkan kedua alat penanda dan ketidaksalahannya melalui pernyataannya demikian: “Semoga siapa pun yang mengambil ubi terataimu, Oh Sang Brahmana, memperoleh rumah yang dihiasi oleh hiasan kekayaan dan seorang istri yang menyenangkan keinginan hatinya. Semoga ia juga memiliki banyak anak serta cucu!”

Kata saudaranya yang kedua: “Semoga siapa pun yang mengambil ubi terataimu, Oh Brahmana Mulia, akan ditandai dengan keterikatan yang kuat pada kesenangan duniawi. Semoga ia mengenakan benang serta karangan bunga serta wewangian terpilih, busana terbaik serta permata; semoga ia disayangi oleh anak-anaknya yang menarik!”

Kata saudaranya yang ketiga: “Semoga siapa pun yang mengambil ubi terataimu, menjadi perumah tangga yang kaya dengan keluarga yang besar. Semoga ia menyukai kehidupan rumah tangga tanpa berpikir sesaat pun ketika ia harus meninggalkan dunia!”

Ujar saudaranya yang keempat: “Semoga orang tamak yang mengambil ubi terataimu berkuasa di seluruh bumi, dipuja oleh para pangeran yang patuh seperti budak yang membungkukkan kepalanya dengan rendah kepadanya!”

Ujar saudaranya yang kelima: “Semoga siapapun yang mengambil ubi terataimu menjadi seorang pendeta agung di istana raja! Semoga ia memiliki pengetahuan mantra ampuh dan diperlakukan dengan sangat hormat!”

Ujar saudaranya yang keenam: “Semoga orang yang lebih pantas untuk memiliki ubi terataimu dari pada kemuliaanmu, menjadi seorang guru yang termasyhur fasih dalam melafalkan Veda, menikmati puji-pujian dari para siswanya yang banyak, yang memandangnya sebagai seorang pertapa agung!”

Ucap sahabatnya: “Semoga orang yang tak mampu mengekang keinginannya pada ubi terataimu, diberikan sebuah desa yang baik oleh raja, desa yang dipenuhi oleh penduduk yang makmur yang memiliki lumbung jagung, timbunan kayu serta air, dan semoga ia meninggal tanpa pernah menaklukkan keinginannya!“

Ucap pelayan pria: “Semoga orang yang menghancurkan urusannya sendiri demi mendapatkan ubi teratai itu, menjadi seorang kepala desa. Semoga ia memiliki banyak teman, dihibur oleh banyak penari dan penyanyi wanita, semoga ia tak disakiti oleh raja!”

Ucap saudara perempuannya: “Semoga siapa pun yang mengambil ubi terataimu, menjadi seorang wanita yang kecantikannya tiada banding, dengan penampilan dan rupa tiada banding di dunia; semoga raja mengambilnya sebagai istri, dan semoga menjadikannya pemimpin di antara seribu orang selirnya!”

Ucap pelayan wanitanya: “semoga orang yang mengarahkan hatinya untuk mendapatkan ubi teratai itu daripada memperoleh Dharma, sangat menyukai makan-makanan daging yang lezat saja dan dalam kegelapan. Semoga ia mengabaikan segala kebajikan, dan bergembira di mana pun ia diberikan makanan yang bagus!”

Saat itu, tiga makhluk hidup di dalam hutan juga datang mendekat untuk mendengarkan ajaran: seorang yaksa, seekor gajah dan seekor kera. Setelah mendengar pembicaraan tersebut, ketiganya diliputi oleh keragu-raguan serta kebingungan. Sehingga yaksa menyampaikan perasaannya dalam pernyataan sopan ini:

“Semoga siapa pun yang mengecewakanmu demi mendapatkan ubi teratai itu akan menjadi anggota vihara besar. Semoga ia bertanggung jawab atas segala perbaikan kota Kakangala dan diperintahkan untuk membuat satu jendela setiap hari!”

Ujar sang gajah: “Rshi termulia, semoga orang yang mengambil ubi terataimu akan dikeluarkan dari dalam hutan yang indah ini ke tempat manusia. Semoga ia dibelenggu dengan enam ratus rantai logam keras dan menderita penyakit yang menjijikkan dan galah penunggangnya!”

Ujar sang kera: “Semoga siapa pun yang tergerak oleh kerakusannya mengambil ubi terataimu, mengenakan untaian bunga yang murah dan ban leher kecil yang ketat melingkar di lehernya! Semoga ia dipukuli dengan tongkat dan dipaksa menari di depan seekor ular! Semoga ia melewatkan hari-harinya di rumah manusia!”

Selanjutnya dengan kata-kata yang baik dan meyakinkan, Bodhisattva menunjukkan kedalaman sifat belas kasihnya: “Semoga orang yang berkata salah: “Ia telah menghilang”, meskipun ia memilikinya, memperoleh segala bentuk kesenangan dunia yang senantiasa diinginkannya, serta mati sebagai perumah tangga. Dan semoga keuntungan yang sama juga terjadi pada mereka yang menuduh yang lain melakukan perbuatan tersebut!”

Pernyataan yang sedemikian tak lazim, mengungkapkan ketidaksenangannya pada segala kesenangan duniawi, benar-benar sangat mengejutkan Sakka, Raja Para Dewa. Dalam penampilannya yang bersinar, ia menemui para pertapa dan berkata, seakan ia merasa kesal: “Engkau tak seharusnya berkata seperti itu. Setiap orang di dunia ini menginginkan kebahagiaan, beberapa orang berjuang untuk itu dengan begitu susah payah hingga mereka bahkan tidak tidur; demi memperoleh kebahagiaan, orang akan melakukan berbagai cara pengorbanan dan kerja keras. Masihkan Engkau mencela kebahagiaan itu, dengan menyebutnya ‘Kebahagiaan duniawi!’ Bagaimana bisa Engkau membuat penilaian seperti itu?”

Bodhisattva menjawab:

“Kebahagiaan indriawi akan membuat mereka menderita tiada akhir. Dengarlah, aku akan memberi tahumu tepatnya mengapa para Muni menyingkirkan keinginan. Orang akan berada dalam belenggu serta kematian, penyesalan, kelelahan, bahaya serta tiada terbilang bencana, hanya demi mendapatkan keinginannya. Untuk memperoleh apa yang mereka inginkan, raja akan dengan penuh nafsu menindas orang-orang baik, dan jatuh dari neraka ke neraka setelah kematiannya.

Saat persahabatan tiba-tiba putus; ketika jalan yang salah dan ternoda dijalani demi memperoleh kemajuan; ketika nama baik hilang dan penderitaan timbul; bukankah yang demikian selalu disebabkan oleh keinginan?

Kebahagiaan dunia, karena itu menghancurkan setiap orang, yang mulia, yang biasa maupun yang hina, baik dalam hidup ini maupun selanjutnya. Untuk itu, oh Dewa Sakka, demi untuk membawa kebajikan bagi dirinya sendiri, para Rshi menjaga jarak dari keinginan, sebagaimana menjauh dari ular yang marah.”

Merasa senang atas ucapan sang pertapa, Sakka menimpali: “Benar sekali!” Lalu ia mengakui bahwa dirinyalah yang telah melakukan pencurian. “Orang Mulia hanya dapat diuji melalui cobaan, karenanya kusembunyikan ubi terataimu. Betapa beruntungnya dunia di mana keagungan yang seperti ini dijalankan! Ini, ambilah ubi teratai dariku untuk menunjang kelangsungan serta kesucian perbuatanmu.”

Demikianlah, ia lalu menyerahkan ubi teratai kepada Bodhisattva. Tetapi Mahasattva, berdasarkan kemurnian hati yang telah terbebas dari kebanggaan, mencela Sakka karena sikap ketidaksopanan serta kelancangannya: “Kami bukanlah keluargamu, bukan juga sahabatmu. Kami bukanlah pemain sandiwara ataupun pelawak. Lalu apa alasanmu datang kemari, Hei Raja Para Dewa, mempermainkan para Rshi seperti ini?”

Dengan segera Sakka melepaskan perwujudan kedewataannya, antingnya yang kemilau, mahkotanya dan kalungnya yang menyala. Bersujud dengan penuh hormat, ia berkata demikian kepada Bodhisattva: “Oh Mahasattva, Engkau yang telah terbebas dari sikap mementingkan diri sendiri, mohon maafkan perbuatanku yang salah sebagaimana seorang ayah atau guru. Bukanlah hal tak biasa bagi mereka yang mata kebijaksanaannya tertutup untuk mengganggu orang lain, meskipun ia sendiri juga begitu. Mohon maafkanlah kejahatan kami, dan mohon jangan menutup hati pada kami.”

Setelah meredakan Bodhisattva, Sakka menghilang.

Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana mereka yang telah belajar untuk menemukan kebahagiaan penyepian tak sesuai lagi dengan kesenangan duniawi. Mereka akan berpaling darinya seolah berpaling dari yang tidak menyenangkan serta kejahatan.

Jataka ini dijelaskan oleh Sang Bhagava demikian: “Aku telah menjadi saudara yang paling tua saat itu. Sariputta, Moggalana, Kassapa, Punna, Anuruddha dan Ananda adalah saudara-saudaraku yang lain. Uppalavana adalah saudara perempuan. Kubgottara yang menjadi pelayan perempuan. Perumah tangga Kitra adalah pelayan prianya. Satagiri adalah yaksanya, Pariliya gajah, Madhudatar keranya, Kaludayi yang menjadi Sakka pada saat itu. Simpanlah Jataka ini dalam hati.”

Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Offline HITAM-PUTIH

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 39
  • Reputasi: 2
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #65 on: 03 May 2009, 03:39:07 PM »
seorang pendeta tantra pernah berkata : borobudur di bangun dengan kekuatan batin oleh leluhur-leluhur kita.
menunjuk batu besar, dan memindahkannya ke atas.

Offline dipasena

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.612
  • Reputasi: 99
  • Gender: Male
  • Sudah Meninggal
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #66 on: 03 May 2009, 04:37:22 PM »
seorang pendeta tantra pernah berkata : borobudur di bangun dengan kekuatan batin oleh leluhur-leluhur kita.
menunjuk batu besar, dan memindahkannya ke atas.

sy yg tau ? ada saksi dan bukti ? yg pasti borobudur adalah bukti kejayaan buddhism di tanah jawi...

dhanuttono berpesan : "jangan percaya begitu sj terhadap apa yg anda denger dr orang yg menjadi figur/idola anda begitu saja, sehingga kita tidak akan mendengar kata-kata yg tidak sedap atas penilaian orang lain terhadap pernyataan kita" (sutta-tono I:105)

:))

Offline HITAM-PUTIH

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 39
  • Reputasi: 2
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #67 on: 03 May 2009, 10:17:10 PM »
 [at] dhanuttono

idola saya Sang Buddha

Offline dipasena

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.612
  • Reputasi: 99
  • Gender: Male
  • Sudah Meninggal
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #68 on: 03 May 2009, 10:20:52 PM »
yg bilang anda mengidolakan saya sapa hayo... ?? :))

dhanuttono berpesan : "jangan percaya begitu sj terhadap apa yg anda denger dr orang yg menjadi figur/idola anda begitu saja, sehingga kita tidak akan mendengar kata-kata yg tidak sedap atas penilaian orang lain terhadap pernyataan kita" (sutta-tono I:105)

sy mengeluarkan syair sy, karena ditulisan anda sebelumnya "seorang pendeta tantra pernah berkata : borobudur di bangun dengan kekuatan batin oleh leluhur-leluhur kita. menunjuk batu besar, dan memindahkannya ke atas." sosok pendeta itu lah yg saya maksudkan sebagai figur/idola... btw, buddha sendiri pernah mengatakan koq "jangan begitu saja percaya terhadap apa yg saya katakan"... ehm... sebelum diselidiki dan dibuktikan...

Offline HITAM-PUTIH

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 39
  • Reputasi: 2
Re: Candi Borobudur ^_^
« Reply #69 on: 05 May 2009, 12:17:24 PM »
yg bilang anda mengidolakan saya sapa hayo... ?? :))

dhanuttono berpesan : "jangan percaya begitu sj terhadap apa yg anda denger dr orang yg menjadi figur/idola anda begitu saja, sehingga kita tidak akan mendengar kata-kata yg tidak sedap atas penilaian orang lain terhadap pernyataan kita" (sutta-tono I:105)

sy mengeluarkan syair sy, karena ditulisan anda sebelumnya "seorang pendeta tantra pernah berkata : borobudur di bangun dengan kekuatan batin oleh leluhur-leluhur kita. menunjuk batu besar, dan memindahkannya ke atas." sosok pendeta itu lah yg saya maksudkan sebagai figur/idola... btw, buddha sendiri pernah mengatakan koq "jangan begitu saja percaya terhadap apa yg saya katakan"... ehm... sebelum diselidiki dan dibuktikan...


Menurut saya Sang Buddha berkata demikiian bukan karena agar kita tidak percaya sepenuhnya pada ajaran beliau sebelum dibuktikan. tapi, kata-kata beliau untuk mengajari kita di kehidupan selanjutnya. ajaran Sang Buddha adalah ajaran yang pasti. tidak perlu di buktikan lagi. karena apa yang dikatakan Sang Buddha adalah kebenaran. dan kebenaran adalah kata-kata Sang Buddha.

saya tidak bermaksud menyalahkan  sutta-tono I:105. menurut saya sutta kamu itu memiliki kebenaran yang nyata. tapi, jika idola saya adalah Sang Buddha, sutta itu tidak berlaku.

terima kasih.... ;D

 

anything