Sangha Agung Indonesia (SAGIN) dan Terbentuknya Sangha Theravada ‘Dhammayuttika’ Indonesia (STI)
Bhante Vin berjasa besar bagi pengembangan Theravada aliran Dhammayuttika (Sangha Raj) di Indonesia. Pada saat itu, Bhikkhu-bhikkhu muda seperti Bhante Subhato (Armahumah Mochtar Rashid), Bhante Khemiyo (sdh menjadi umat biasa), Bhante Aggabalo (Bpk Cornelis Wowor) dll, semua ditahbiskan di Wat Bovoranives,Thailand atas bantuan Bhante Vin .
Mungkin disinilah friksi, benih-benih perbedaan mulai muncul. Bapak Pdt. Dr. Hudoyo Hupudio (mantan biku aliran Dhammayuttika) dalam satu tulisan di forum Dhammachitta.org menulis:
Saya rasa, perkembangan yang tidak terduga ini mencemaskan Bhante Ashin … Soalnya sering kali bhikkhu-bhikkhu muda itu langsung pergi ke Thailand begitu saja dengan bantuan Bhante Win, tanpa minta pertimbangan Bhante Ashin; seolah-olah Bhante Ashin di-bypass begitu saja. (Ketika pada 1969 saya ditahbiskan menjadi Samanera oleh Bhante Ashin, lalu pada 1970 dibantu oleh Bhante Win pergi ke Thailand untuk menerima upasampada, Bhante Ashin hanya dipamiti saja, tidak dimintai pendapat.) …
Apa lagi, semua bhikkhu-bhikkhu muda itu ditahbiskan di Wat Bovoranives, garis keturunannya adalah Dhammayuttika. … dengan demikian semua bhikkhu yang berasal dari satu garis keturunan boleh mengikuti upacara patimokkha … bhikkhu yang bukan dari garis keturunan yang sama tidak boleh mengikuti patimokkha garis keturunan itu. … Misalnya, alm Bhante Girirakkhito juga ditahbiskan di Thailand, tapi garis keturunannya adalah Maha Nikaya … jadi beliau tidak bisa ikut patimokkha bhikkhu-bhikkhu Dhammayuttika. … Bhante Jinapiya yang ditahbiskan di Sri Lanka, tidak bisa ikut patimokkha bhikkhu-bhikkhu Dhammayuttika … sampai beliau bersedia ditahbiskan-ulang dalam garis keturunan Dhammayuttika sebagai Bhante Thitaketuko (saya tidak tahu, vassa beliau dihitung dari mana, dari penahbisan pertama atau dari penahbisan belakangan) … Tapi bisa dibayangkan kelak, kalau bhikkhu-bhikkhu muda Dhammayuttika mengadakan patimokkha, maka Bhante Ashin tidak bisa ikut, karena berbeda garis keturunan …
Perbedaan pandangan dan kondisi-kondisi inilah, yang mungkin menyebabkan pada tanggal 12 Januari 1972 biku-biku ‘lulusan’ Wat Bovoranives’ Thailand ini: bhikkhu Girirakhito, bhikkhu Sumanggalo, bhikkhu Jinapiya(sekarang bhikkhu Thitaketuko), bhikkhu Jinaratana (sekarang Pandhit Kaharudin), bhikkhu Subhato (armahumah Moctar Rashid) yang notabene adalah murid beliau memisahkan diri – membentuk Sangha Indonesia.
Tiga (3) Biku diantaranya adalah pendiri in absentia, dalam arti tak hadir/tak berada di Indonesia: B. Jinapiya(skr B.Thitaketuko), B. Jinaratana(skr Pandhit Kaharudin) dan B. Sumanggalo.Yang terakhir ini, B.Sumanggalo sampai akhir hayatnya tak pernah kembali ke Indonesia.
Jadi yang berada di Indonesia dan benar-benar mengerti keadaan saat itu mengapa perlu membuat Sangha baru dan berseberangan dengan gurunya hanyalah B.Girirakkhita dan B.Subhato (almahumah Mochtar Rasyid).
Namun dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1974 murid-murid ini (Sangha Indonesia) melebur kembali pada gurunya, Sayadaw Ashin Jinarakkhita di Maha Sangha Indonesia. Nama Maha Sangha Indonesia diubah menjadi Sangha Agung Indonesia(Sagin).
Bhante Vidhurdhammabhorn yang juga akrab di panggil bhante Vin, kemudian juga menjadi upajjhaya yang mentahbiskan Husodo/Ong Tik Tjong(sekarang Bhante Sri Pannavaro Mahathera) menjadi samanera Tejavanto di Vihara Dharmasurya, desa Kaloran, Temanggung pada tanggal 24 November 1974.
Konon, pemuda Husodo yang saat itu masih tercatat sebagai mahasiswa Psikologi UGM sebenarnya sudah lama memendam keinginan mulia ini.
Sebelum diterima bhante Vin sebagai murid, beliau beberapa kali meminta pada Mahawiku Dharma-aji Uggadhammo (Murid Sayadaw Ashin Jinarakkhita) untuk diterima menjadi samanera. Namun, karena pertimbangan masih kuliah, Mahawiku Dharma-aji Uggadhammo yang merupakan Nayaka Sangha Tantrayana Indonesia dan Anu Nayaka Sangha Agung Indonesia ini memintanya menyelesaikan studi dulu.
Jodoh dan karma memang memiliki jalannya sendiri, sebelum menamatkan studi, pemuda Husodo bertemu dengan Bhante Vidhurdhammabhorn (bhante Vin), Oleh bhante Vin pemuda Husodo langsung diterima menjadi samanera.
Hadir dalam pentahbisan samanera bhante Girirakkhito dan bhante Jinapiya (sekarang bhante Thitaketukho) dan beberapa samanera Sangha Agung Indonesia, waktu itu (STI) Sangha Theravada Indonesia belum ada. Namun, mereka ini adalah cikal berdirinya STI (Sangha Theravada Indonesia).
Seperti biku-biku muda lainnya, 2 tahun menjadi samanera beliau dikirim bhante Vin untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu di Wat Bovoranives, Bangkok.
Kian hari, putra-putra Indonesia yang ditahbiskan menjadi biku di Wat Bovoranives kian banyak. Oleh sifat eksklusik aliran Dhammayuttika sebagai Sangha-nya Raja, sudah dipastikan konflik yang ada saat mereka kembali ke Indonesia dan bergabung dengan biku-biku lain yang non Dhammayuttika, biku Mahayana dan Tantra maupun Theravada non Dhammayuttika dalam satu Sangha tidaklah mudah. Sebagai contoh: Sayadaw Ashin Jinarakkhita yang Nayaka Sangha Agung Indonesia sebagai pemimpin paling tinggi sekalipun tak diperkenankan ikut Patimoka dengan mereka?
Puncaknya tahun 1976, biku-biku ‘lulusan’ Wat Bovoranives yang merupakan murid binaan Bhante Vidhurdhammabhorn (bhante Vin) memutuskan keluar dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha Theravada Indonesia, atau lebih sering disingkat STI.
Dalam hal ini perlu diingat, mengingat eksklusifnya aliran Dhammayuttika, STI atau Sangha Theravada Indonesia lebih tepat diartikan Sangha Theravada ‘Dhammayuttika’ Indonesia.
Adapun ke-5 orang pendiri Sangha Theravada ‘Dhammayuttika’ Indonesia adalah: B.Aggabalo (Skr Bapak. Cornelis Wowor), B.Sudhammo, B. Khemiyo (Skr menjadi umat biasa), B.Khemmasarano, B.Nyanavuttho.
Adapun B.Sudhammo adalah murid dari B.Agga Jinametto (murid dari Sayadaw Ashin Jinarakkhita). Jadi masih kakak seperguruan dari B.Dharmasurya Bhumi Mahathera di Sangha Agung Indonesia saat ini.
Sejarah terus berulang. Dalam perkembangannya pun, Bhante Vidhurdhammabhorn (bhante Vin),satu dari 4 dharmaduta Thailand yang diundang U Ashin Jinarakkhita yang amat berjasa dalam mengembangkan Theravada Dhammayutika di Indonesia, yang sangat berjasa pada awal pengiriman biku-biku muda untuk ditahbis di Wat Bovoranives, yang sangat berjasa dalam mendirikan Sangha Theravada ‘Dhammayutika’ Indonesia (STI) pun akhirnya harus tersisih dari ’singasana’ kehormatan di STI. Konon katanya, ada dishamoni perbedaan ras biku orang Thailand dan biku orang Indonesia.
Dalam saat-saat sulit ini, umat dan sahabat terbaiknya justru berasal dari umat berumahtangga pengusaha Siti Hartati Murdaya. Biku-biku orang Thailand binaan bhante Vidhurdhammabhorn (bhante Vin) dan beliau sendiri aktif membantu Sangha Theravada Walubinya Siti Hartati Murdaya.
Setelah friksi orang Thai dan orang Indonesia, kabar terakhir yang berhembus adalah Cina dan Pribumi. Konon masalah rasia inilah yang menyebabkan jabatan Mahanayaka di STI tiba-tiba ditiadakan. Kali ini yang terguling dari ’singasana’ adalah B.Pannyavaro Mahathera dari kursi Sanghanayaka (Ketua Umum Sangha).
Jasa B.Pannyavaro sendiri dalam membesarkan Sangha Theravada ‘Dhammyuttika’ Indonesia (STI) tiada terkira. Hal pertama yang orang ingat tentang B.Pannyavaro adalah ceramahnya yang lembut dan STI. Dan hal pertama yang orang ingat tentang STI seringkali adalah B.Pannyavaro
Entah ada hubungan dengan ini atau tidak , di suatu forum ditulis:
“baru-baru ini Bhante Pannyavaro pergi ke Thailand beberapa bulan untuk belajar menjadi upajjhaya (penahbis bhikkhu) … Sekarang beliau sudah mempunyai wewenang menahbiskan bhikkhu. … Sebelumnya di Indonesia yang punya wewenang itu hanyalah Bhante Sukhemo… “
Wewenang penabhisan ini menyebabkan biku-biku muda di STI semuanya adalah murid Bhante Sukhemo… suatu dukungan yang sangat menguntungkan bila terjadi pemungutan suara
...