Anda berargumen demikian apakah Anda sudah ditembusi pengertian kebijaksanaan dan paham akan esensi Buddhism dan telah menguasai Integral Thinking / Pemikiran Komprehensif ?
Jika semua point di atas jawabannya sudah, so menurut pendapat Bro Suchamda bagusnya bagaimana ?
Sorry yah, saya kok tidak mikir sampai situ (mikir bahwa saya sudah menembusi pengertian esensi Buddhism sebagai suatu bentuk kepongahan. Saya sendiri merasa masih mencari esensinya.). Kalau saya kepleset dan diartikan begitu, maka ya saya perlu buru-buru minta maaf. Btw, jawaban anda cukup bagus kok.
Tapi jujur saja, waktu menulis hal tersebut diatas terlebih diwarnai oleh rasa concern yg mendalam sehingga dari situ timbul keinginan untuk menegur.
+Concern thd apa?
Concern terhadap situasi buddhist di Indonesia. Tentang apa? Wah luas , banyak hal dan susah membahasnya disini.
+Lalu atas dasar apa saya menilai. Barometernya apa?
Saya hanya menggunakan barometer rekan2 buddhist yang berada di luar negeri, terutama yang berada di negara2 Barat.
+Dalam hal apa?
Dalam hal-hal yang pelik dan kontroversial seperti ini saya lihat mereka bisa menjabarkan dengan pengertian yang mendalam tetapi tetap realistis. Uraian mereka berdasarkan realita yang terjadi dalam kehidupan nyata dengan segala kompleksitas permasalahnnya yang dipahami dari berbagai macam aspek Dharma (bukan dengan kacamata berwarna. Bukan hanya dari satu aspek tapi dari banyak aspek).
+Kalau pandangan saya sendiri bagaimana?
Menurut saya, esensi Buddhisme adalah bisa melihat sesuatu sebagai apa adanya (yathabhuta).
+Apa maksudnya?
Kehidupan kita sehari-hari ini selalu diwarnai oleh konstruk-konstruk konsepsi (parikalpita) dan proliferasi mental (papanca) dan delusi2 (paribimba) yang pada akhirnya menimbulkan gejolak mental (affliction).
Semua itu adalah karena proses kognisi kita yang bias dalam memandang sesuatu.
+Bias karena apa?
Bias karena konstruk2 mental yang memenuhi otak kita. Hal inilah yang menjadi konsepsi2, pandangan2 dsb termasuk pandangan bahwa adanya aku yang inherently exist. Inilah avijja itu.
+Lalu hubungannya dengan praktek Buddhism apa?
Praktek Buddhism itu adalah path (magga). Orang yg udah tercerahkan itu anggaplah sebagai fruit (phala). Untuk menuju pada tujuan akhir itu (yathabhuta) kita perlu alat yang disebut metode dan ajaran-ajaran yg bersifat provisional (= perlu ditafsirkan, dibimbing, diarahkan. Lawannya : ajaran definitif: yg berkata seperti apa adanya, misal : ttg emptiness). Tapi alat2 itu tentunya harus dijadikan sebagai alat, bukan tujuan. Sebab, kalau akhirnya melekat pada konsep2 ajaran itu sendiri, tentunya hal itu yang justru menjadi penghalang terakhir untuk mencapai pembebasan.
Sehubungan dengan pembicaraan kita, maksudnya apa?
Maksudnya, apa yang kita bahas disini (tentang matapencaharian) itu adalah hal yang terjadi dalam tataran konvensional (Samutti sacca). Maka pengarahannya di dalam path tentu juga menggunakan ajaran2 yang bersifat konvensional atau provisional. Karena bersifat konvensional, maka tentu jangan dimutlakkan. Gitu loh.
Tujuan akhir kita adalah batin yang tidak bias, maka mbok yao, dalam mengartikan ajaran juga jangan justru menimbulkan bias baru lainnya lagi.
+Lalu, apakah dasar saya mengatakan semua ini?
Lihatlah inti ajaran Buddha yg dirumuskan secara begini (disebut empat meterai / four seal) :
Semua fenomena bentukan adalah impermanen [karena] selalu mengandung perubahan2.
Semua fenomena yang tercemar memiliki hakikat tiga penderitaan.
[Baik] secara total terkotori atau pun 100% murni, [semua fenomena] adalah kosong dan tanpa inti.
Nirwana itu sendiri adalah pembebasan dan kedamaian.
Keempat meterai ini adalah tanda-tanda dari doktrin secara umum.
Setelah mengkontemplasikan semua ini secara mendalam, dari semenjak awal kita sudah harus memiliki kepastian tentang pandangan ini.+Artinya sehubungan dengan penjabaran saya di atas apa?
Artinya : No body perfect who live in unperfect world.
+Loh kalo begitu berarti saya tidak percaya bahwa Sang Buddha adalah seorang yg sempurna?
Bukan begitu. Sang Buddha adalah perfect di pandang dari sudut absolute truth. Dalam tataran konvensional, Sang Buddha pun tidak luput dari kritik. Karena anda mengaggungkan sang Buddha maka kelihatannya sang Buddha itu perfect. Tapi bagi orang beragama lain, mudah sekali mencari kesalahan sang Buddha. Namanya juga orang mencari-cari kesalahan, pasti ada saja. Semua itu kan tergantung dari standard penilaiannya. Nah standard itulah yg relatif.
+Bukankah kita butuh suatu idealisme?
Betul. Tapi idealisme untuk apa dulu? Visi nya kemana?
Apakah idealisme itu mengarahkan diri, atau kah idealisme itu untuk menghakimi/ ukuran?
Beda loh antara keduanya.
Yang pertama itu berarti kita bisa memahami fungsi kegunaannya, sedangkan yang terakhir itu berarti kita mematoknya, menjadikannya suatu hukum. Lebih lagi, hukum itu dimutlakkan secara perfect absolut.
Lah, kalo dijadikan suatu obsesi perfeksionisme, maka tentu kita akan bertanya : bila idealisme akhirnya cuman diteriak2an tapi tak pernah bisa dilaksanakan secara sempurna, lalu apa gunanya??
+Lalu, kalau begitu apakah tidak perlu adanya sila?
Nah, itu salah. Saya tidak setuju. Sila tetap perlu, tapi untuk pedoman melatih diri, semacam kompas gitulah. Ajaran agama yang tanpa sila membiarkan semau-maunya sendiri itu tidak mendidik juga.
Yang penting jangan ekstrim dan jangan menjadi beban lah...........
+Tapi bukankah pertanyaan awal di topik ini dikarenakan seseorang itu merasa adanya beban (dalam hal pemilihan mata pencaharian yang benar)?
Orang bertanya itu motifnya bisa macam-macam. Bisa saja pertanyaan itu dilontarkan untuk mencari jawaban pembenaran, bisa juga karena orang itu merasa bersalah (guilty) sehingga terbeban. Nah tinggal bagaimana motif si penanya, harusnya kita raba dulu. Kalau dia mencari pembenaran, tentu kita harus dengan tegas menolaknya. Tapi bila orang itu terongrong oleh sikap perfeksionis sehingga terganggu tapi tanpa jalan keluar, tentu kita harus bisa memberikan dia sebuah kelapangan. Ini semua tujuannya adalah utk menggoyahkan konstruk2 konsep dan ego yg ada pada dirinya, agar ybs kemudian mencoba menilik buddhism lebih mendalam lagi. Oleh karena itu juga, mohon dimaklumi bila jawaban2 saya cenderung jawaban yg tidak enak / kontroversial, krn tujuan saya memang untuk menggoncang kemapanan konstruk pikiran yg terbentuk.
+Kalau begitu, apakah boleh seseorang bermatapencaharian berjualan narkoba?
Contoh anda adalah ekstrim. Tentu saja hal itu sudah melanggar, tidak hanya melanggar pedoman dalam 8 ruas jalan kebenaran, tetapi juga melanggar hukum dan etika dalam masyarakat. Ini tentu bisa dilihat bahwa mengandung konsekwensi2 langsung yg tidak baik, tentu harus dilarang.
Akan tetapi bila misal seseorang bermatapencaharian sebagai nelayan dan satu-satunya penopang hidup dia adalah itu, apakah ia harus serta merta berganti matapencaharian karena hanya ia memeluk buddhism? Tentu saja tidak, karena banyak pertimbangan2 umum yang bisa digunakan untuk meneruskan profesinya, hanya saja menurut buddhism memang kurang ideal. Tetapi sementara dia belum bisa berpindah pekerjaan, toh masih banyak point2 lain dari 8 ruas itu yang bisa dia sempurnakan terlebih dahulu.
Bila kematangan seseorang itu sudah mencapai suatu titik tertentu, maka akan muncul penghindaran yang otomatis terhadap mata pencaharian yang salah. Itu terjadi secara spontan dan bukan merupakan suatu bentuk reaksi yg sebenarnya muncul juga dari konstruk si aku.