Samanera yang saya hormati,
Saya bependapat hampir sama dengan bro Utphala, tidak setiap orang memiliki kapasitas untuk bisa mencicipi Dhamma (mencapai Magga-Phala), beberapa diantara mereka yang mendengar ada yang hanya bisa dibantu ke alam dewa, bahkan ada beberapa yang sudah dibantu juga tetap akan terlahir di alam rendah (misalnya Devadatta).
Bagi mereka yang terlahir di alam dewa umumnya kapasitas batin mereka (kecerdasan dsbnya) ikut berubah bertambah baik, sehingga otomatis lebih kondusif untuk perkembangan batin selanjutnya. Dan mereka bisa mengembangkan lebih lanjut batinnya atau bahkan dapat mencicipi Dhamma yang tak bisa mereka dapatkan sewaktu masih sebagai manusia.
mo tanya, apakah bearti seorang sammasambuddha juga memiliki batasan? bukankah katanya seorang sammasambuddha memiliki pengetahuan yang sangat luas?
Kalau boleh membantu menjawab.. Pertanyaan mengenai batasan -- apakah sang Buddha terbatas atau tidak terbatas -- tidaklah tepat dalam konteks ini, karena sang Buddha hanya akan mengajarkan dhamma sesuai kondisi yang tepat. Sebuah kondisi yang tepat bukan dikondisikan oleh beliau semata, melainkan tergantung pada si pendengar/penanya pula, termasuk tempat dan waktu yang tepat untuk mengajarkan dhamma.
Sang Buddha pernah memberi analogi seorang yang mengetahui Varanasi dengan sangat baik dan dapat menunjukkan arah baik dari timur, selatan, barat atau utara menuju ke Varanasi dengan mahir. Sang Buddha hanyalah ibarat orang ini yang menunjukkan jalan menuju Varanasi pada orang yang hendak berkunjung ke Varanasi. Sampai atau tidaknya penanya ke Varanasi, bukanlah kesalahan dari sang penuntun jalan melainkan tergantung pada kemauan dan kemampuan si penanya jalan. Dalam hal inilah tergantung pada penanya/pendengar. Ketika pendengar memiliki aspirasi untuk mencapai kehidupan bahagia sebagai perumah tangga, sang Buddha membabarkan dhamma yang menuntun pada kebahagiaan perumah tangga. Dengan catatan, meski menuntun pada kebahagiaan perumah tangga, jika dilanjutkan kebahagiaan ini kondusif untuk menuju pada kebahagiaan yang lebih halus dan lebih luhur lagi. Sedangkan ketika pendengar memiliki aspirasi dan kemampuan mencapai kebahagiaan yang lebih luhur barulah sang Buddha membabarkan dhamma yang kondusif menuntun pada kebahagiaan lebih luhur itu. Mengajarkan dhamma untuk mencapai Nibbana pada orang yang masih melekat kuat pada kesenangan inderawi bagai menaruh daging rendang di atas sendok, sendok tidak akan dapat menikmati kelezatan daging.
Seorang samma-sambuddha sepengetahuan saya bukanlah memiliki pengetahuan yang sangat luas dalam artian beliau maha mengetahui dan maha melihat yang setiap saat dalam kondisi apapun -- berdiri, berjalan, duduk, tidur -- pengetahuan dan penglihatan tanpa henti muncul padanya. Melainkan, apapun itu yang beliau inginkan untuk diketahui, dengan mengarahkan mata surgawi yang termurnikan ke arah itu maka penglihatan dan pengetahuan akan muncul padanya. Demikianlah seorang samma-sambuddha mengetahui. Dalam konteks inilah, seorang samma-sambuddha tidak memiliki batasan.
Semoga membantu