//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Belajar satu tradisi atau banyak tradisi?  (Read 4776 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Belajar satu tradisi atau banyak tradisi?
« on: 27 October 2007, 12:43:12 AM »
Dear rekan2 semua,
Ini adalah sambungan dari diskusi topik : "Pilih yang mana?" http://www.dhammacitta.org/forum/index.php?topic=795.new#new

Saya ingin mengajukan topik diskusi sehubungan dengan sikap seorang pembelajar Buddhism yaitu apakah seseorang sebaiknya hanya belajar dari satu aliran tradisi saja ataukah mencoba mempelajari dari berbagai macam aliran tradisi. (Terutama di dalam menuju aspek pelajaran tertinggi buddhism : sunyata.)
Apakah mempelajari sesuatu pengertian cukup dari satu tradisi saja ataukah perlu membandingkannya dengan yang lain?

Saya mengangkat topik ini karena barusan saja gara2 browsing di inet ketemu secara kebetulan (serendipity) tulisan yang sama dengan apa pemikiran saya yang  ditulis tadi sore di topik "Pilih yang mana?".
Berikut ini adalah cuplikan dari buku "Freedom from Extremes: Gorampa's "Distinguishing the Views" and the Polemics of Emptiness (Studies in Indian and Tibetan Buddhism)" di bagian Introduction nya ,pg.2 :

All knowledge --and this includes philosophy-- is polemical by nature. (Johan Huizinga)

The Great German Indologist Max Mueller once wrote, "To know one is to know none". For Mueller, knowledge is comparative. To know a thing -- a text, a practice, a culture-- it is necessary to see how the thing relates to other things. It is by understanding the nexus of relationships betweeen things that knowledge arises. And if, as Pierce puts it, "a thing without oppositions , ipso facto, does not exist", then one can conclude that knowledge not only has a positive (catapathic) aspect, but also a negative (apopathic) one. To know something requires that one understand both what a thing is and what it is not. Comprehension is a relational act. It requires that one be able to relate a given thing to other things that are similar, but also that one have an awareness of the way in which a given thing differs from other things. Knowing things in themselves --as isolates-- is an incomplete form of knowledge.
"To know one is to know none". If something is to be fully known, it is necessary to understand how it relates to other things. More specifically, true knowledge requires the ability not only to chart similarities, but also to notice differences and contrasts.
« Last Edit: 27 October 2007, 12:46:04 AM by Suchamda »
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline san

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 475
  • Reputasi: 35
Re: Belajar satu tradisi atau banyak tradisi?
« Reply #1 on: 27 October 2007, 06:22:14 AM »
to know one is to know none --> mau diisi air sebanyak apapun nggak akan bisa kalau gelasnya sudah penuh

mengenal buddhisme dari aliran mana pun sama saja --> kalau airnya nggak diminum maka nggak akan menghilangkan haus dan nggak akan berguna untuk orang tersebut

dan akhrinya untuk bisa mengisi gelas dengan air yang baru dan membandingkan air sebelumnya dengan air baru --> air yang lama diminum --> gelas kosong diisi dengan air baru --> air baru diminum --> silahkan bandingkan apa yang satu menghilangkan haus sedangkan yang lain tidak (ini karena tujuan buddhisme sama yaitu untuk memperoleh nibbana)

masalah yang mungkin akan timbul/ tidak --> setelah minum air pertama dan rasa haus hilang, apakah mungkin masih menginginkan gelas kedua hanya untuk membandingkan??

mari kita pikirkan bersama :)
be happy ^^

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Belajar satu tradisi atau banyak tradisi?
« Reply #2 on: 27 October 2007, 07:34:18 AM »
Kalau menurut saya sich mempelajari satu tradisipun sudah cukup, yang penting isi dan prakteknya dapat mencapai apa yang diinginkan.

apa dengan membandingkan banyak tradisi tidak akan membuat bingung dan bimbang?

disini kita lihat seseorang itu khan punya kharakter masing2, pola pembelajaran, pikiran dan lingkungan berbeda, tidak mungkin sama dan mau menerima begitu saja tradisi yang lain.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline williamhalim

  • Sebelumnya: willibordus
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.869
  • Reputasi: 134
  • Gender: Male
Re: Belajar satu tradisi atau banyak tradisi?
« Reply #3 on: 27 October 2007, 07:56:57 AM »
Dear Bro Suchamda, Bro San, Bro Ryu, dan friends...

Pemahaman saya adalah sbb:
~ Untuk mencapai tujuan (nibbana), tidak perlu meminum semua gelas, artinya tidak perlu kita mempelajari semua aliran Buddhism.

Pada permulaan mengenal Buddhism, mungkin membanding2kan berbagai aliran adalah wajar saja; pertama-tama kita mengenal Buddhism secara umum, 4 kesunyataan mulia, tumimbal lahir, hukum karma dsbnya.... lalu mungkin kita tertarik dengan sosok Dalai Lama dan mulai melongok aliran Tibet, sementara itu kita juga tertarik dengan filosofi2 Zen dan juga keagungan dan keklasikan Theravada....

Jadi, pada tahap awal, kita mempelajari dan melongok hampir semua aliran... Namun pada tahap lanjut kita harus memilih salah satu jalan.
'Memilih satu jalan' ini sy pikir akan terjadi secara otomatis, kita pasti akan menemukan suatu jalan yang paling kita rasa cocok untuk kita lalui. Saya pikir, jalan yg 'match' dengan kita tsb tergantung dari pola pikir dan sifat2 kita (dan kumpulan karma lampau juga).

Ada yg lebih cocok dengan pelafalan mantra, ada yg cocok dengan rutinitas ritual, ada yg cocok dengan jalan sistematik, ada yg cocok dengan meditasi saja, dsbnya...

Saya pikir semuanya adalah sah2 saja dan tidak bisa kita memvonis yg mana yg salah mana yg benar....Hanya saja, perlu diperhatikan, belum tentu jalan yg kita tempuh akan memberikan hasil yg maksimal bagi kita, terkadang malah menjauhkan kita dari tujuan kita tanpa kita sadari.

Dan menurut saya, ada barometer yg dapat digunakan untuk memastikan jalan yg kita ambil telah cocok bagi diri kita atau tidak.
Barometernya adalah: "Peningkatan Kebahagiaan" (catatan: peningkatan kebahagiaan tidak sama dengan peningkatan kesenangan).
~ Jika kita merasa kebahagiaan hidup kita meningkat dari waktu ke waktu, sejak kita mempelajari dan mempraktekkan suatu aliran, kehidupan kita rasanya semakin teratur dan menyenangkan, pikiran kita lebih tenang dan stabil, maka jalan yg kita ambil itu artinya cocok bagi kita.
~ Jika kita merasakan kehidupan kita semakin kacau, moral kita semakin hancur, atau kita merasa semakin tidak cocok dengan pekerjaan, keluarga, saudara, orangtua, atau kolega. Sosialisasi kita manjadi merosot. Itu artinya kita mengalami kemunduran batin. Ini adalah tanda-tanda latihan/jalan yg kita praktekkan ada yg salah/tidak cocok.

Saya malah berpikir, mempelajari semua aliran dan mempraktekkannya, malah akan membuat kita bingung, semua jalan kelihatannya benar, semua jalan terpampang didepan, samping kiri, samping kanan, belakang, atas, dan bawah, membuat kita terjebak pada suatu "Labirin Spiritual". Keadaan ini pasti akan membingungkan kita.

Ini adalah pendapat saya pribadi, semoga berguna untuk diskusi ini...

With Metta,
Willibordus
« Last Edit: 27 October 2007, 08:02:03 AM by willibordus »
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Belajar satu tradisi atau banyak tradisi?
« Reply #4 on: 27 October 2007, 08:49:09 AM »
Inilah yang saya senangi dlm buddhism.

Tdk ada paksaan atau hukuman apabila memilih tradisi yang kita inginkan, dan juga pola pikir buddhism yang universal.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Hikoza83

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.295
  • Reputasi: 60
  • Gender: Male
  • panda is so cute... ^-^
Re: Belajar satu tradisi atau banyak tradisi?
« Reply #5 on: 27 October 2007, 09:34:27 AM »
Buddha mengajar selama waktu yang lama dan kepada orang-orang dari semua latar belakang dan tingkatan intelegensi. Konsekuensinya, setiap ajaran beliau haruslah dipertimbangkan artinya dengan seksama dan dievaluasi untuk menentukan apakan [ajaran tersebut] benar secara harafiah atau hanya perlambangan (kiasan) saja. Banyak ajaran yang diberikan dalam keadaan tertentu atau kepada makhluk dengan pemahaman terbatas. Menerima suatu doktrin atau aspek dari doktrin tanpa terlebih dahulu menelitinya dengan seksama secara analitis adalah seperti membangun sebuah puri / istana di atas es. Praktik kita akan selalu tidak stabil dan akan kekurangan dasar yang kokoh dan dalam. [HH Dalai Lama XIV, Mencari Perlindungan Sejati, Dharma Manggala]

Jika seseorang mengerti satu tradisi sekalipun - apakah itu Theravada, Mahayana, atau Vajrayana - ia juga akan memahami semua tradisi yg lain. Namun ia harus berusaha dan membuka pikirannya. Mereka yg mengutuk tradisi Buddhis manapun tidak memahami tradisinya sendiri. [Ven. Piyasilo-Damansara Buddhist Vihara, "The One Way - A Comparative Study of Mahayana and Theravadaā€¯]

Mengapa begitu banyak tradisi dalam agama Buddha?

Sang Buddha membabarkan ajaran-Nya dengan banyak cara karena makhluk hidup (semua makhluk yang memiliki kesadaran tetapi belum menjadi Buddha, termasuk juga yang berada di alam-alam kehidupan lain) mempunyai watak, kebiasaan, dan minat yang berbeda-beda. Beliau tidak pernah mengharapkan kita semua cocok dengan satu bentuk sehingga ajaran-Nya pun di berikan dalam banyak cara dan dalam beragam cara melatih diri - dengan demikian tiap orang bisa menemukan sesuatu yang sesuai dengan tingkat kesadaran dan kepribadiannya. Dengan keahlian dan belas-kasih-Nya dalam menuntun yang lain, Sang Buddha memutar roda Dharma sebanyak tiga kali - setiap kali selalu dengan sedikit perubahan sistem filosofi. Tetapi esensi dari semua ajaran itu sama: tekad yang teguh untuk keluar dari lingkaran penderitaan yang berulang-ulang (samsara), belas-kasih kepada makhluk lain, dan kebijaksanaan ketanpa-akuan.

Tidak semua orang menyukai menu yang sama. Jika sebuah jamuan besar terhampar di depan kita, kita akan memlih makanan yang kita senangi. Tidak ada keharusan untuk menyukai semuanya. Akan tetapi, meski kita lebih menyukai makanan yang manis-manis, tidak berarti bahwa yang asin tidak baik dan mesti di buang! Demikian juga halnya, kita bisa saja memilih suatu pendekatan khusus dari Ajaran: apakah itu Theravada, Tanah Suci (Sukhavati), Zen, Vajrayana, dan sebagainya. Kita memiliki kebebasan untuk memilih pendekatan yang paling sesuai, yang dengannya kita merasa paling nyaman. Pun begitu, kita harus tetap mempertahankan pikiran yang terbuka dan menghormati tradisi yang lain. Seiring dengan berkembangnya batin, kita bisa mengerti unsur-unsur dalam tradisi yang lain yang gagal kita pahami pada awalnya.

Singkatnya, apa saja yang berguna dan bermanfaat bagi kita untuk hidup lebih baik, kita praktekkan, dan kita kesampingkan segala yang belum kita mengerti, tanpa perlu menolaknya. Sementara itu, jangan menempelkan identitas padanya dengan cara-cara yang konkret, seperti: "Saya seorang Mahayanis, engkau seorang Theravadin," atau "Saya seorang Buddhis, engkau seorang kr****n." Adalah penting untuk di ingat di sini bahwa kita semua adalah makhluk hidup yang mencari kebahagiaan dan ingin menyelami Kebenaran, yang masing-masing menemukan satu metoda yang sesuai.

Bagaimanapun, mempertahankan pikiran yang terbuka terhadap pendekatan yang berbeda tidak berarti mencampur-adukkan semuanya dengan acak, dan membuat latihan kita seperti cap-cai. Jangan mencampur teknik-teknik meditasi dari tradisi yang berbeda dalam satu latihan meditasi. Dalam satu masa latihan, lebih baik mempraktekkan satu cara saja. Jika kita mengambil sedikit dari teknik ini dan secuil dari teknik itu, tanpa benar-benar mengerti satu teknik pun, hasilnya barangkali hanya kebingungan!

Meskipun ajaran dari suatu tradisi bisa memperkaya pengertian dan latihan dari teknik yang lain, di nasihatkan untuk mempraktekkan hanya satu metoda dalam latihan sehari-hari. Jika kita melakukan meditasi pernafasan hari ini, melafalkan Buddha keesokan harinya, meditasi analitis pada hari ketiga, maka kita tidak akan memperoleh kemajuan dalam satu metoda pun karena tidak adanya kontinuitas dalam latihan tersebut. [Ven. Thubten Chodron, Singapura; Ajaran Buddha & Tradisi-Tradisi Buddhis]
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: Belajar satu tradisi atau banyak tradisi?
« Reply #6 on: 27 October 2007, 09:36:57 AM »
http://www.geocities.com/Tokyo/Garden/9609/TheOneWay/TheOneWay2.htm

Harus Memulai dari Aliran Mana?

Kita harus memulai dari suatu tempat utk mempelajari ajaran dan praktek religius Buddhis. Dalam semangat non-sektarianisme, kita hanya bisa mulai dari Doktrin Dasar atau Sepuluh Prinsip Universal. Jika kita sungguh-sungguh tertarik dengan kemajuan spritual, mengapa harus merepotkan diri dengan label 'Theravada', 'Mahayana', atau 'Vajrayana'. Selain itu jika kita sedang berada dalam kesukaran dan berpaling kepada Dharma, apa bedanya jika label-label tersebut dibuang saja. Pertanyaan yg vital adalah apakah sistem tersebut dapat berjalan. Bagaimanapun Jalan Mulia Delapan Ruas akan tetap berhasil apakah itu Tantra atau Zen!

Seandainya kita karena keterpaksaan oleh keadaan atau tempat lahir sehingga harus berakar pada aliran tertentu, maka kita juga semestinya menjaga agar pikiran tetap terbuka dengan cara membuat studi perbandingan terhadap aliran Buddhis lainnya.  Dan dalam hubungannya dengan hal ini, Sang Buddha bersabda agar kita waspada sangatlah tepat, :

"Untuk hal-hal yang tidak kita setujui, kawan, biarlah hal-hal itu seperti apa adanya. Untuk hal-hal yang kita sependapat, marilah yang bijaksana saling bertanya, mengemukakan alasannya, membicarakannya dengan atau kepada guru mereka atau komunitas mereka." (D 1:163)

Tentu saja selalu ada masalah dengan tradisi dan ekspresi historis , seperti "orang harus mempraktekkan agama Buddha sebagai seorang anggota dari satu aliran, atau dia akan menjadi tak berakar," tegas pemerhati yang peduli. Jika kita serius terhadap perkembangan spritual dan tidak terlalu memperhatikan aspek kultural dan historis, maka kita tidak perlu berafiliasi pada salah satu aliran atau sekte, karena bukankah semua aliran itu hanyalah suatu ekspresi kultural yg merupakan bentuk luar belaka?  Disamping itu sektarianisme adalah merupakan kepercayaan terhadap pandangan salah akan adanya suatu diri (sakkaya ditthi /satkaya drsti) yang merupakan rintangan pertama dalam jalan menuju Pencerahan.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: Belajar satu tradisi atau banyak tradisi?
« Reply #7 on: 04 November 2007, 08:36:33 AM »
"As a bee seeks nectar
from all kinds of flowers
seek teachings everywhere;
like a deer that finds
a quiet place to graze,
seek seclusion to digest
all you have gathered.
Like a madman,
beyond all limits,
go wherever you please;
and live like a lion,
completely free of all fear."
**from a tantra of dzogchen
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho