Tradisi Filsafat telah lama mencari suatu afirmasi tentang subyek otonom dengan bertitik tolak pada Kesadaran diri dan rasionalitas manusia. Kesadaran yang berpusat pada diri dengan dukungan rasionalitas yang kokoh dapat menciptakan peluang bagi pemikiran yang tak terbatas (unlimited thinking) sebagai suatu Kebebasan. Berpikir atas dasar kebebasan adalah proses berpikir yang tidak mengandaikan sesuatu yang lain kecuali pemikiran itu sendiri,atau kita sebut ; "dalam berpikir saya bebas, karena saya tidak menjadi yang lain", Kebebasan seperti ini adalah kebebasan absolut, karena bergantung secara mutlak pada otonom kesadaran diri.
Ketika kebebasan berpikir dan kesadaran diri berjalan bersama dalam suatu gandengan mesra, maka KEBENARAN dapat saja dengan mudah di-kandang-kan dalam suatu ruang pemikiran yang tertutup ; dan sebagai akibat, kemungkinan untuk mengakui Kebenaran yang lain menjadi terbatas. Filsafat yang tidak memberi ruang untuk Kebenaran yang lain, bahkan mereduksi Kebenaran Yang Lain hanya ke dalam satu Kebenaran tertentu, FILSAFAT seperti ini sepantasnya dituduh sebagai Filsafat Egologi
Manusia, ketika "berpikir" dia mengidentifikasikan batinnya dengan pikirannya, dan keduanya, baik batin maupun pikirannya sama-sama mengafirmasi seluruh eksistensi diri manusia sebagai subyek otonom.inilah yang di sebut Filsafat Totalitas. Totalitas dalam pengertian suatu cara berada yang berpusat pada diri. Cara berada seperti ini bertujuan untuk membentuk Indentifikasi diri. Dalam identifikasi, ada semacam gerakan dari dalam untuk kembali kepada diri. Gerakan yang mengandalkan kekuatan interior, yaitu kekuatan rasio, kesadaran diri, dan keinginan untuk mewujudkan kebutuhan dan kenikmatan yang berpusat pada diri.
Dalam Filsafat Totalitas, diri adalah pusat untuk segala-galanya. Pusat makna untuk memaknai yang lain. Pusat kenikmatan untuk mengobyekkan yang lain. Pusat Kebenaran untuk membenarkan diri. Pusat Nilai untuk menjadi standard bagi yang lain. Ya, Pusat yang menjadi ukuran segala. Ini adalah Totalitas.. Gerak langkah Totalitas adalah gerak langkah mereduksi. Mereduksi Yang Lain kepada yang sama, dalam reduksi ada gerak balik kepada yang sama, kepada diri sendiri, yaitu sang aku sebagai subyek otonom, pusat kebenaran. Kebenaran tidak di Cari di luar diri. Kebenaran berada dalam diri..
Benar bahwa Kebenaran selalu mengimplikasikan suatu pengalam di luar diri, namun setiap pengalaman selalu mempunyai suatu rujukan atau referensi pada subyek ; dan oleh karena itu, setiap pengalaman mesti dibahasakan oleh subyek. Pengalaman tak dapat dipisahkan dari obyek, karena setiap pengalaman adalah pengalaman subyek. Pemikiran Filsafat Totalitas amat sering mengeklusifkan yang transenden, dan mereduksi "Yang Lain" kepada "yang sama", demi cita-cita Filsafat yang Otonom.
Apakah masih mungkin berfilsafat tentang "Yang Lain:.? Sebelum pertanyaan ini dijawab, adalah baik kalau konsep tentang "Yang Lain" mesti di beri batas. Orang Yunani membedakan "Yang Lain" dalam pengertian "heteros" dan "allos". Heteros berarti "Yang Lain" sebagai plural dari antara dua, sedangkan 'allos" berarti "Yang Lain" sebagai "yang satu" di antara banyak "Yang Lain". Dari Heteros muncul kata ; Heteronom dan Heterogen.
Makna tentang "Yang Lain" dapat ditegasi ; "Yang Lain" adalah Yang bukan aku. . Untuk memahami 'Yang Lain" menurut cara dia berada, orang mesti pertama-tama menanggalkan seluruh pemahaman tentang dirinya, tentang dunianya, tentang rasionalitasnya, tentang kesadarn dirinya, tentang kebenarannya, tentang persepsinya, tentang kehendaknya.
Dia yang lain adalah yang bukan aku, untuk memahami "Yang Lain", aku tidak dapat memulai dari diriku, karena memulai dari diri ku berarti memulai dari dunia pemahaman dan persepsiku, Memulai dari Kbenaran yang saya miliki ; Jalan yang Benar untuk memahami "Yang Lain" adalah memulai dari dunianya, yaitu keberlainannya, Dunianya adalah keberlainannya, yang sering saya sebut keluar dari 'Zona Aman" kita.
Yang Lain sebagai yang Heteronom
Aspek heteronom di sini mesti dimengerti dengan merujuk pada makna tenatng "Yang Lain" sebagai Yang Lain secara radikal, radikalnya adalah "keberlainnannya", Filsafat yang memusatkan perhatiannya pada pemikiran tentang "Yang Lain secara absolut", filsafat seperti ini di namakan Filsafat Heteronom. filsafat Heteronom tidak berbicara tentang aspek 'Yang Lain' seperti obyek eksternal di luar kesadaran manusia. Yang Lain sebagai heteronom dicirikan oleh aspek transendensi. Transendensi di sini dapat dimengerti sebagai suatu keberlainan radikal yang melampaui dari sekadar pemahaman yang ontologis. Keberlainnan seperti ini memiliki dimensi dari atas, yaitu Yang Maha Tinggi.
Yang Lain sebagai Yang Eksterior
Esai tentang Eksterioritas ini mengindikasikan membangun suatu Filsafat tentang "ketakberhinggaan" sebagai alternatif untuk mengatasi Filsafat Totalitas. Kalau dilihat sepintas, arti kata eksterior dapat saja dimengerti sebagai suatu realitas yang manusia jumpai di luar kesadaran manusia. Suatu realitas eksternal seperti ,gunung, batu, pohon, yang manusia persepsi, namun Filsafat ketakberhinggaan ini dalam makna kata eksterior merujuk pada suatu Realitas yang transenden, realitas yang melampaui dunia kesadaran manusia, yaitu suatu realitas yang tidak masuk dalam konteks pemahaman ku di Dhamma. Yang eksterior adalah yang transenden, yang melampaui pengetahuan ku.