//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Meditasi: aliran mitologi, mitos dan logos (tulisan tahun 2006)  (Read 26422 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline vincentliong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 0
Note: Saya memposting beberapa tulisan ini atas permintaan karuna_murti. « Last Edit: Today at 05:19:26 PM by vincentliong »




Meditasi: aliran mitologi, mitos dan logos

Ditulis oleh: Vincent Liong



Menjawab pertanyaan sdr. Sriastutivirgo saya kira perlu sebelumnya saya membahas salah satu soal ujian tengah semester (UTS) matakuliah filsafat umum dan logika yang saya hadapi tadi siang, yaitu soal hubungan antara mitologi, mitos dan logos.

Pada masa awal dari usaha manusia untuk berpikir, manusia membuat mitologi yang bercerita tentang alam semesta dan kejaidian-kejadian yang dapat disaksikan dan dialami oleh manusia di dalamnya. Perpecahan jurusan mulai terjadi antara dua usaha yang berlawanan dalam tata-cara untuk memproses mitologi di dalam pikiran manusia;
* mitologi menjadi mitos
Jawaban yang diberikan berusaha meloloskan diri dari rasio dan usaha untuk berpikir, dengan membangun ‘keyakinan’(percaya tanpa perlu bukti kongkrit)/ believe sistem warisan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada di dalam mitologi kehidupan individu manusia dalam interaksi dengan di luar dirinya.
* mitologi menjadi logos
Jawaban yang diberikan berusaha menekankan proses akal budi dan rasio untuk mencari kebenaran melalui metodologi yang jelas dan rapi.

Nah, setelah terjadi perpecahan antara dua jurusan soal proses yang dianggap benar dalam mencari kebenaran; maka timbullah kelompok-kelompok keyakinan, keagamaan yang menjadi terpisah dengan kelompok-kelompok ilmuan.

Dalam kenyataannya dua kegiatan ini tidak bisa dipisahkan. Kegiatan untuk bermain simbol yang menjadi pekerjaan para pencinta mite dan kegiatan bermain akal budi dan rasio ala pencinta ilmupengetahuan adalah bioptional sistem yang sudah inheren sejak manusia itu lahir. Maka dari itu manusia yang katanya ilmuan sekalipun masih mau dan memerlukan agama begitu juga para agamawan masih bermain dengan ilmupengetahuan ala logos.

LOGOS yang terpisah dengan mitos menimbulkan masalah baru bahwa dalam logos yang pada satu titik pencapaian tertentu, merasa telah menemukan kebenaran hakiki yang disebut empiris, logis, dlsb yang akhirnya menghentikan proses mencari kebenaran tsb. Sekolah, kuliah dlsb yang mengatasnamakan ilmupengetahuan hanya berhenti menjadi kegiatan copy&paste atas believe sistem warisan / kebenaran yang dianggap terakhir, paling benar yang berlaku dari satu generasi ke generasi selanjutnya tanpa usaha / kemalasan untuk meng-update sesuai perkembangan jaman dengan berlindung di balik kemapanan. Suatu usaha mencari ilmupengetahuan menjadi berubah urutannya menjadi; 1. Korelasi / perbandingan antar kesimpulan / teori / jawaban akhir kebenaran yang disepakati.  2. Observasi. 3. Experimen. Peran observasi dan experimen yang menjadi hal utama dalam pencaharian menjadi mandek karena sudah ada jawaban akhir tentang kebenaran itu sendiri yaitu pada tahap korelasi / perbandingan antar kesimpulan /  teori / kebenaran akhir yang disepakati, tanpa ada usaha peyesuaian pada update terakhir dari lingkungan yang dihadapi. Maka dari itu pada umumnya usaha untuk melakukan proses observasi dan experimen malahan tidak dilakukan samasekali.

MITOS yang terpisah dari logos menimbulkan masalah baru bahwa dalam mitos, pencaharian kebenaran tidak lagi merasa perlu untuk mencari kebenaran yang relevan dalam tempat dan waktu yang spesifik. Agama, keyakinan dan believe sistem warisan malah memisahkan antara kebenaran yang hakiki dengan usahamanusia untuk mencari kebenaran itu sendiri. Simbol-simbol mite dianggap ada tetapi hanya berfungsi untuk diamati dan diyakini, bukan untuk mencari kebenaran seperti tujuan utama sebelum terpecahnya mitologi menjadi dua kegiatan yaitu; mitos dan logos. Urutan proses pencaharian kebenarannya memang tampak tetap yaitu; dimulai dengan Observasi. Tetapi usaha untuk melakukan experimen dan korelasi / perbandingan antar kesimpulan / teori / kebenaran menjadi hilang.

KESIMPULAN akhirnya adalah: bahwa dua jalan pencaharian kebenaran ini mandek karena memisahkan dua usaha ini menjadi extrim mitos dan extrim logos membuat ‘experimen’ (yang adalah kegiatan merealisasikan suatu kebenaran dengan fakta lapangan yang costumize karena pengaruh tempat dan ‘waktu’ (yang terus berubah sesuai perkembangan jaman)) malah hilang dari proses itu sendiri. Sehingga jalan logos maupun mitos tidak berhasil mengajak orang untuk tetap di sistem utama guna pencaharian kebenaran yang cotumize sesuai kondisi, tempat dan waktu tsb. Sistem pencaharian mitologi utama yaitu; 1. Observasi dari nol.  2. Experimen dengan realitas yang costumise sesuai kondisi, tempat dan waktu tsb.  3. Korelasi / perbandingan antar kesimpulan /  teori / kebenaran akhir yang ditemukan oleh ilmuan / individu berbeda.

LETAK KOMPATIOLOGI ala Vincent Liong adalah pada aliran mitologi sebelum terpecah menjadi mitos dan logos. Maka dari itu yang terpenting adalah proses 1. Observasi dari nol.  2. Experimen dengan realitas yang costumise sesuai kondisi, tempat dan waktu tsb.  3. Korelasi / perbandingan antar kesimpulan / teori / kebenaran akhir yang ditemukan oleh ilmuan / individu berbeda. Maka dari itu masing-masing praktisi bisa membuat kesimpulan dan teori sendiri-sendiri tanpa saya (Vincent Liong) sebagai pendiri turut ambil pusing. Yang penting, kesimpulan itu diambil melalui proses observasi dan experimen individual sebelumnya, tidak nyontek dari keyakinan / believe sistem orang lain lalu diambil mentah-mentah.


ttd,
Vincent Liong
Jakarta; Sabtu, 7 Oktober 2006



I K L A N
Siap ambil resiko di-dekons ala Kompatiologi
Hubungi "Praktek Dekons ala Kompatiologi":
Vincent Liong CDMA: 021-70006775
Merkurius Adhi Purwono CDMA: 021- 6881 2660





at: http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/11207
"sriastutivirgo" sriastutivirgo [at] yahoo.com.sg wrote:

Adik Vincent,

saya sudah muter-muter baca semua email adik tentang Meditasi ini, ada beberapa pertanyaan tiba-tiba muncul dari "jiwa" saya, yaitu :

1. Sebenarnya Meditasi itu apa sih ?
2. Apa sih gunanya meditasi ?
3. Tujuan akhir meditasi itu apa ?
4. Apa yang dicari dari meditasi ?
5. Siapa yg ditemui dalam meditasi ?
6. untuk apa meditasi ?
7. setelah meditasi apa yg kita dapatkan ?
8. bagaimana proses meditasi ?
9. apakah sama meditasi adik Vincent dengan meditasi Kang Hudoyo atau meditasi orang lain ?
10. apakah tujuannya sama ?
11. outputnya sama ?
12. Adik Vincent, ngomong-ngomong tentang "JIWA" ; itu letaknya dimana ya ?
13. apakah letak Jiwa dik vincent sama letaknya dengan jiwa orang lain ?

sebenarnya masih banyak lhoo yang masih saya ingin tanyakan, tapi 13 soal dulu deh...masalahnya dari 13 soal itu sudah bisa dijadikan buku :)

salam,

Sri





Vincent Liong menjawab pertanyaan-pertanyaan sdr. Sriastutivirgo;

1. Sebenarnya Meditasi itu apa sih ?
Jawab VL: Meditasi adalah suatu usaha untuk mencari kebenaran. Kata meditasi saat ini didominasi penggunaannya oleh para petualang spiritual dan hal-hal yang berbaru keagamaan (aliran mitos). Sebenarnya meditasi bisa terjadi pada siapa saja (baik yang golongan mitos maupun logos), yang menjadi masalah adalah seperti apa proses pencarian kebenaran tsb, maka itulah proses ber-meditasi menurut individu tersebut.

2. Apa sih gunanya meditasi ?
Jawab VL: Guna meditasi adalah mencari kebenaran yang seharusnya bersifat costumize dengan keadaan, tempat dan waktu (kenyataan lapangan). Masalahnya ada pembatasan dalam proses meditasi baik yang kelompok mitos maupun logos. Pada kelompok mitos, masalahnya adalah terlalu melekat pada proses observasinya tanpa usaha untuk melakukan experimen dan korelasi / perbandingan antar kesimpulan /  teori / kebenaran menjadi hilang. Pada kelompok logos, peran observasi dan experimen yang menjadi hal utama dalam pencaharian menjadi mandek, karena sudah ada jawaban akhir tentang kebenaran itu sendiri yaitu; pada tahap korelasi / perbandingan antar kesimpulan /  teori / kebenaran akhir yang disepakati, tanpa ada usaha peyesuaian pada update terakhir dari lingkungan yang dihadapi. Maka dari itu pada umumnya usaha untuk melakukan proses observasi dan experimen malahan tidak dilakukan samasekali. Ini pula yang menyebabkan kata ‘meditasi’ jarang digunakan oleh kelompok logos.

3. Tujuan akhir meditasi itu apa ?
Jawab VL: Guna mencari kebenaran yang costumize sesuai keadaan, tempat dan waktu (kenyataan lapangan). Hal ini akan berbeda pada aliran logos dan aliran mitos sebab keduanya hanya m***kat pada proses awalnya masing-masing yaitu; pada kelompok mitos pada kegiatan observasi, dan pada kelompok logos pada kegiatan korelasi / perbandingan antar kesimpulan / teori / kebenaran akhir yang disepakati, tanpa ada usaha peyesuaian pada update terakhir dari lingkungan yang dihadapi.

4. Apa yang dicari dari meditasi ?
Jawab VL: Konon yang dicari adalah kebenaran meski di kelompok logos membahas bahwa telah menemukan kebenaran yang hakiki tanpa proses pencahariannya sendiri (hanya menggunakan believe sistem warisan yang ada), dan di kelompok mitos hanya menekankan pada pencahariannya, tetapi menekankan pula bahwa kebenaran yang hakiki tidak dapat dirai, hanya bersifat keyakinan atau pencapaian idealistik.

5. Siapa yg ditemui dalam meditasi ?
Jawab VL: Seharusnya yang ditemu dalam meditasi adalah jawaban-jawaban yang bersifat lokal, natural dan costumize sesuai tempat & waktu (kenyataan lapangan) yang tidak terpisah dengan masyarakat awam. Misalnya ketika mata melihat baik orang logos maupun orang mitos sama-sama matanya melihat secara otomatis tentang bentuk kongkrit. Yang menjadi masalah kelompok logos merasa telah bertemu dengan realitas tsb sebelum bermeditasi dengan menekankan believe sistem warisan sebagai kebenaran, sedangkan kelompok mitos merasa telah bermeditasi dan menemukan jawaban-jawaban tersebut yang hanya relevan untuk dirinya dan ruang realitas buatannya sendiri (individu, kelompk di sekte yang sama, dlsb) yang membuat ada jarak antara dirinya dan realitas yang costumize, luas & umum ; karena milik orang awan yang banyak jumlahnya.

6. untuk apa meditasi ?
Jawab VL: Untuk memenuhi kepuasan diri manusia akan perasaan memiliki atau mencapai suatu kesadaran diri terhadap kebenaran, ini terjadi baik pada kelompok mitos maupun logos. 

7. setelah meditasi apa yg kita dapatkan ?
Jawab VL: Perasaaan bahwa diri kita telah memenuhi kepuasan, telah mencapai kesadaran akan kebenaran. Entah itu seperti anak yang puas lulus kuliah merasa menguasai kebenaran atau seperti orang yang ala mitos merasa dekat dengan pencipta atau alam atau merasa mencapai keseimbangan, arahat.

8. bagaimana proses meditasi ?
Jawab VL: Pada awalnya ketika belum terpecah menjadi kelompok logos dan mitos proses peditasi adalah: 1. Observasi dari nol.  2. Experimen dengan realitas yang costumise sesuai kondisi, tempat dan waktu tsb.  3. Korelasi / perbandingan antar kesimpulan /  teori / kebenaran akhir yang ditemukan oleh ilmuan / individu berbeda.
Pada kelompok mitos proses meditasi adalah observasi. Usaha untuk melakukan experimen dan korelasi / perbandingan antar kesimpulan /  teori / kebenaran menjadi hilang karena dianggap tidak penting.
Pada kelompok logos proses meditasi adalah usaha untuk menguasai korelasi / perbandingan antar kesimpulan / teori / kebenaran akhir yang disepakati, tanpa ada usaha untuk peduli pada peyesuaian terhadap update terakhir dari lingkungan yang dihadapi. Misalnya anak sekolah untuk tujuan mendapat ijasah yang menyatakan lulus menguasai kebenaran.

9. apakah sama meditasi adik Vincent dengan meditasi Kang Hudoyo atau meditasi orang lain ?
Jawab VL: Beda tujuan. Kang Hudoyo adalah seperti yang saya tulis soal aliran mitos sedangkan Vincent Liong tidak memisahkan mitologi menjadi mitos dan logos.

10. apakah tujuannya sama ?
Jawab VL: Beda tujuan secara kongkrit meskipun secara devinisi ‘kata’-nya sama-sama mencari kebenaran. Kang Hudoyo menekankan objectivitas dalam observasi sedangkan Vincent Liong menekankan pemetaan secara costumize tanpa intervensi believe warisan lalu menggunakan pemetaan itu untuk digunakan dalam ujicoba langsung dalam memilih pilihan-pilihan dalam hidup sehari-hari dalam masalah-masalah yang costumize dengan menimbang untung ruginya secara jangka panjang. Jadi tujuan akhir adalah kelihaian dalam menguasai / berkuasa atas situasi dengan modal yang seadanya (diri sendiri) dengan pilihan-pilihan resiko positif dan negatif yang menjadi satu paket konsekwensi dengan pilihan-pilihan tsb.

11. outputnya sama ?
Jawab VL: Ya jelas beda mas. Soal yang ini tidak baik saya berteori biar yang mengalami aliran saya atau aliran Kang Hudoyo yang tahu sendiri-sendiri tidak usah promosi baik atau buruk, semua toh ada tujuan masing-masing maka itu memilih sesuai kecocokan.

12. Adik Vincent, ngomong-ngomong tentang "JIWA" ; itu letaknya dimana ya ?
Jawab VL: Kalau buat aliran saya itu tidak penting. Yang penting proses 1. Observasi dari nol.  2. Experimen dengan realitas yang costumise sesuai kondisi, tempat dan waktu tsb.  3. Korelasi / perbandingan antar kesimpulan /  teori / kebenaran akhir yang ditemukan oleh ilmuan / individu berbeda. Yang penting ini lancar dan nyambung. Masalah Jiwanya secara teori di mana silahkan para praktisi menjawab versinya sendiri menurut pengalaman sendiri-sendiri, yang penting jangan nyontek (sekedar menggunakan believe sistem warisan).

13. apakah letak Jiwa dik vincent sama letaknya dengan jiwa orang lain ?
Jawab VL: Ya menurut anda saja gimana, saya tidak berpendapat soal teori yang mana yang benar. Sebab aliran saya bukan aliran mitos juka bukan aliran logos. Saya mempertahankan aliran mitologi yang bercerita tentang alam semesta dan kejaidian-kejadian yang dapat disaksikan dan dialami oleh manusia di dalamnya.
« Last Edit: 02 July 2008, 05:20:23 PM by vincentliong »

Offline vincentliong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 0
KMA : Menjawab pertanyaan bung Suchamda, Kompatiologi dan Meditasi
« Reply #1 on: 02 July 2008, 01:46:34 PM »
NOTE: ADHI PURWONO TELAH MENGUNDURKAN DIRI DARI KOMPATIOLOSI TAHUN 2007 KARENA NGA TAHAN TERHADAP TEROR.


Serial tulisan Kitab Masuk Angin
KMA : Menjawab pertanyaan bung Suchamda, Kompatiologi dan Meditasi

ditulis oleh: Adhi Purwono


e-link:
http://tech.groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/549
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/17981
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/11344
http://groups.yahoo.com/group/R-Mania/message/4017



(Note: jawaban ini sengaja saya masukkan dalam serial tulisan KMA karena berisi penjelasan terinci hubungan antara kompatiologi dengan meditasi)

Salam kenal juga bung Suchamda. Saya akan mencoba menjelaskan dari sudut pandang saya mengenai meditasi dan kompatiologi.

Saat ini saya merasa diri saya tidak tergantung dengan
metoda/usaha/konsep apapun untuk dapat merasakan pencerahan/realitas yang saya alami saat ini. Saya tidak merasa takut/jaim mengatakan saya sedang mengalami pencerahan, karena apa, karena saya merasakan
pencerahan dapat dirasakan kapan saja jika orang mau di kehidupan sehari-hari.

Begini bung Suchamda, sesungguhnya upaya kita untuk bermeditasi malah membatasi kita untuk bersentuhan dengan realitas/pencerahan. Bisa dikatakan meditasi itu harusnya tanpa usaha dan tanpa tujuan, IRONISNYA mengapa kita masih perlu untuk bermeditasi??? Meditasi
tidak diperlukan jika tidak ada tujuan (mengapa perlu jika tidak bertujuan?) dan kita tidak dapat melakukan meditasi jika tidak ada usaha sama-sekali setidaknya untuk posisi bermeditasi (posisi teratai sempurna misalnya). Nah, keambiguan sikap kita selagi bermeditasi inilah membuat diri/pikiran kita menjadi bingung. Apakah kita lagi mengusahakan pencerahan dengan bermeditasi? Jika tanpa usaha, kapankah dan bilamanakah kita mencapai pencerahan? Pikiran
bisa saja dapat tenang dan menikmati meditasi tanpa memikirkan pencerahan, TETAPI ketika menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari, maka pikiran AKAN mengenang kembali kenikmatan yang didapat dari bermeditasi sehingga menjadi tergantung olehnya. Jikalaupun ketergantungan akan meditasi dapat terlepas, BUKANKAH INI BERARTI MEDITASI AKHIRNYA DISADARI TIDAK DIPERLUKAN??? Jadi BUKANKAH mengajak orang lain/diri sendiri bermeditasi tujuan akhirnya hanyalah supaya dapat menyadari bahwa meditasi tidak diperlukan?
Nah, bung Suchamda mungkin dapat melihat bahwa ditilik dari tujuan pencerahan, sejujurnya meditasi adalah salah satu faktor penghambat pencapaian pencerahan itu sendiri.

Jadi, mengapa tidak secara langsung saja? Mengapa kita membutuhkan suatu metoda/cara/konsep untuk dapat mengalami pencerahan? Tapi saya juga menyadari orang tidak akan melepaskan diri dari sesuatu sampai dia mengalami sendiri bagaimana rasanya terikat dengan sesuatu. Ada aksi sehingga ada reaksi. Dan meditasi dibutuhkan untuk menumbuhkan keterikatan sehingga diharapkan orang dapat menyadari keterikatannya tidak diperlukan sehingga bisa terlepas dari meditasi itu sendiri. Bahwa tujuan pencerahan yang dikejarnya ternyata TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN METODA SELAIN DENGAN DIRINYA SENDIRI. Dirinyalah yang menganggap belum cerah sehingga diperlukan suatu metoda (meditasi) sampai dia menyadari bahwa ketidakcerahannya hanyalah
sebuah peran yang dia buat/ciptakan sendiri. Bahwa dia menyadari dengan mudah melepas peran tidak cerahnya dan mengganti menjadi peran pencerahan JIKA PERLU. Seperti yang sedang saya lakukan saat ini. Bila di lain waktu misalnya saya merasa lagi diri saya kehilangan/tidak puas dengan pencerahan saya, maka berarti saya sedang memerankan lagi peran tidak cerah saya, yang mungkin saja saya ketika itu nantinya mencari lagi guru seperti seorang Vincent/Hudoyo/dll untuk bisa mendapatkan lagi peran cerah saya.

Kompatiologi adalah ilmu komunikasi empati. Artinya belajar bagaimana dapat merasakan langsung ke realitas sesungguhnya. Baik itu ke diri sendiri/orang lain, mahluk hidup lain, maupun sampai ke benda mati. Bagaimana cara merasakan langsung? Inilah alasan kami
(terutama Vincent Liong) menciptakan metoda dekonstruksi. Dimana melalui praktik dekons orang lain kita dorong mengalami sendiri realitas sesungguhnya langsung dari yang dia rasakan. Salah satu contoh praktiknya adalah kegiatan mencicipi rasa teh hijau, dimana rasa tak pernah bohong. Menebak isi buku, dimana tebakan adalah kontak LANGSUNG dengan dirinya tanpa alur logika atau olah pikir, dlsb, yang sedang dalam tahap pengembangan dan penelitian oleh para praktisi kompatiologi. Jadi intinya dekonstruksi adalah mendorong seseorang untuk merasakan langsung dalam konteks praktik kehidupan sehari-hari (minum dan tebak rasa teh hijau, tebak buku, tebak perasaan orang lain, tebak musik adalah kegiatan sehari-hari bukan?)
tanpa memakai olah pikir atau logika. Yang biasanya orang tersebut akan mengalami keterkejutan/ estascy/ kesadaran yang tiba-tiba/ suka-cita ketika bersentuhan kembali dengan realitas KETIKA SEDANG BERMAIN TEBAK-TEBAKAN TERSEBUT. Bayangkan saja kesadaran yang
didapat ketika menyadari bahwa selama ini sudah terlalu lama hidup dalam penyangkalan arus informasi dari realitas. Bahwa kehidupan ternyata tidak semonoton/ semenderita seperti yang diperkirakan olehnya sebelumnya. Ternyata kehidupan dapat dinikmati SEPENUHNYA tanpa rasa khawatir dan dengan perasaan bebas BAHWA MENGALAMI KEHIDUPAN APA-ADANYA JAUH LEBIH MENGASYIKKAN DARIPADA MENYANGKAL REALITAS DEMI CITRA/ JATI DIRI. Jati/citra diri orang tersebut tentu
harus dilepaskan dahulu sebelum dia dapat bermain tebakan dengan baik. Jika dia masih jaim, tentu dia akan merasakan rasa bersalah, rasa menipu ketika mencoba menebak sesuatu. Ketika menebak itulah
dia dihadapkan pada pilihan-pilihan, berbohong?/ menipu?/ tebak apa-adanya?/ asal bapak senang?/ melogikakan?, dsb, yang tentu saja kita dorong sampai dia bisa menebak/mendapatkan informasi dari MEMORI/ MEME/ INFORMASI NON VERBAL/ SUASANA sehingga dia belajar untuk menjadi TERHUBUNG dengan realitas. Nah ketika dirinya dapat terhubung dengan realitas itulah berarti dia mulai bisa berempati setidaknya dengan dirinya, artinya dapat mengalirkan perasaan-perasaannya saat informasi non verbal mulai dapat masuk dan mengalir ke dalam dirinya. Saat itu perasaan yang masih dipendam/ ditahan akhirnya dimengerti tidak perlu dipendam lagi akibat bingung/ takut/ sedang dicari solusinya melainkan menyadari bahwa perasaan negatif itu dapat dicuci/dialirkan/diharmoniskan dengan realitas alam sehingga diharapkan mendapatkan sudut pandang yang lebih luas dikarenakan hal-hal/informasi yang positif dari alam dapat diserap oleh dirinya. Sehingga dalam prosesnya, akhirnya dia menyadari bahwa perasaan dalam dirinya adalah berasal dari cara dia
memfilter informasi nonverbal/ perasaan/ suasana dari realitas, dan pada akhirnya dia malah menghubungkan total perasaannya dengan realitas sehingga apapun perasaan yang dia alami bisa terus dialirkan sehingga tidak ada tumpukan perasaan negatif yang tidak perlu. Sebagai contoh, saya MARAH/SEBAL dengan pak Hudoyo, yah saya ungkapkan saja di milis ini sehingga saya menjadi puas. Saya tidak masalah dengan citra/jati diri saya di milis, karena saya sudah mengalami KETERHUBUNGAN dengan realitas jauh lebih menyenangkan/ mendamaikan dibandingkan dengan menjaga citra/ jati diri saya dihadapan anda semua. Jikapun misalnya saya tidak bisa
menyalurkan melalui milis, maka saya tetap tidak lari dari perasaan marah saya. Saya tetap akan membiarkan diri saya mengalami marah/ kesal sampai benar-benar puas kalau perlu dicari-cari apakah masih ada kemarahan yang tersisa untuk dikeluarkan/dialirkan (bisa saja tidak perlu sampai berwujud fisik, tidak perlu seperti yang saya lakukan di milis psikologi_transformatif [at] yahoogroups.com dengan pak Hudoyo). Mengapa saya bisa mengalirkan perasaan-perasaan saya? Itulah, karena saya sudah terbiasa menebak/ terhubung dengan diri/ realitas, yang saat ini saya bisa merasakan LANGSUNG suasana/ meme/ memori apapun dimanapun begitu saja karena dan ketika saya tidak sedang menyangkal.

Jika anda dan yang lainnya ingin mengetahui lebih jauh dengan mengalami sendiri praktik dekons, maka silahkan menghubungi saya di CDMA : 021-6881 2660. Jika masih ada pertanyaan saya tunggu komentar/pertanyaan dari anda dan yang lainnya. Terimakasih.

Salam,
Adhi Purwono




::::Praktik Dekons::::
* hubungi Adhi Purwono (CDMA : 021-6881 2660)
e-mail/YM : adhi_p [at] yahoo.com
* hubungi Vincent Liong (CDMA : 021-70006775)
e-mail/YM : vincentliong [at] yahoo.co.nz
(Note: untuk praktik di-dekons)

::::Undangan Maillist::::
Maillist Komunikasi_Empati [at] Yahoogroups.com
> http://groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati
Maillist Komunikasi_Empati [at] Googlegroups.com
> http://groups.google.com/group/komunikasi_empati
Maillist VincentLiong [at] Yahoogroups.com
> http://groups.yahoo.com/group/vincentliong
Maillist Psikologi_Transformatif [at] Yahoogroups.com
> http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif
Maillist R-Mania [at] yahoogroups.com
> http://groups.yahoo.com/group/r-mania







L A M P I R A N  0 1
Subject: Meditasi - oh nasibmu meditasi...
Ditulis oleh: "isf" <isf [at] cbn.net.id> / iman_s_fattah
at: http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/11358

"isf" <isf [at] cbn.net.id> wrote:

Begitu banyak meditasi dibicarakan dalam banyak perspektif maupun berdasarkan subyektif.
Dalam pemahaman saya, meditasi adalah suatu kondisi individu dalam kesadaran yang "cukup", sesuai kondisi lahir-bathin pada saat tersebut.
"Cukup" disini berarti kondisi yang pas komposisinya, sesuai dengan kondisi biologis/ragawi-spiritual pada saat tersebut, karena setiap manusia tidak pernah mengalmi kondisi yang persis sama secara detil, dikarenakan lingkungan, pemikiran, olah pemahaman, serta kompleksitas spiritual yg dialami, maupun garis ketetapan yang telah tergurat baginya.
Meditasi bisa banyak ragam, tetapi diketegorikan sebagai meditasi apabila output / hasil olahan tersebut msuk dalam kategori proses meditasi.
Meditasi sendiri mengalami peningkatan/ perubahan dalam setiap waktu karena adanya pemahaman akibat terjadinya kontak dualitas jasad-spiritual secara berkesinambungan, yang mengintervensi dimensi lain (alam-ketuhanan) dalam perjalanannya.
Meditasi memang dapat dilakukan dengan banyak cara, ada dengan diam/ tafakkur, ada dengan melakukan kegiatan sehari2. Intinya adalah mencapai suatu tingkat kesadaran yang "cukup" (apakah itu beta-alfa-theta-delta, sangat2 subjective nilainya), mengetuk kesadaran ragawi untuk mempertimbangkan sisi spiritual dalam mengambil suatu keputusan. Sehingga perilaku, keseharian, yg berujung pada terbentuknya sifat akan mencerminkan moralitas yang baik secara kaidah nilai.
Salah satu model meditasi adalah ibadah yang dilakukan dalam agama2, dimana dalam ibadah adalah suatu bentuk mencapai kesadaran akan realitas diluar hanya ragawi saja, hanya saja kalau merujuk tingkatan secara spiritual sangat bergantung pada 'pemahaman' (secara luas) individu akan agama itu sendiri.
 
Dalam realitanya, meditasi tidak mesti dilakukan secara berurutan; beta-alfa-theta-delta, karena hal ini menyangkut suatu pemahaman spiritual yg tidak bisa distandarisasi dari sisi analogi dasar, sehingga yang terjadi pendekatan secara 'mendekati', tetapi tidak tepat benar.
Banyak individu yang melakukan lompatan meditasi secara fluktuatif tanpa urutan.
 
Untuk lebih menarik, kita bisa menjadikan individu2 yg melakukan perdebatan meditasi di milis ini, di explore sesuai pemahaman sampai dimana mereka ber'main':
(bahasa yg disampaikan secara umum by isf, tidak mengacu pada teori yg ada);
 
Hudoyo Hapudio (HH):
Seorang meditator sampai pada pemahaman hening, dikategorikan sebagai tahap akhir perjalanan spiritual, dimana fase itu merasakan ecstasy, lebih bersifat individual dan merupakan manifestasi ego-spiritual, karena meditasi dilakukan dan dinikmati secara pribadi.
Secara individu, benturan yg sangat kuat adalah masalah ego spiritual yang pasti akan berdampak pada ego ragawi, sehingga terjadinya justifikasi atas hal2 yg diperoleh individu tsb, dan menciptakan suatu keadaan yang 'benar' secara kompleks dan terbatas. Hal ini berbenturan dengan sifat spiritual yg luas dan tidak terbatas (secara analogi dasar).
Dalam tahapan spiritual, ada ruang kosong yg disebut HH sbg 'hening', hal ini bisa dikategorikan sebagai kesadaran awal untuk mereka yang belum bersentuhan dengan fase spiritual, dan merasakan ketenangan jiwa yang bersifat temporer, tanpa tahu akan kemana selanjutnya (apabila berhenti di tahapan ini).
Dalam fase ini sangat memanjakan bathin dengan memberikan konsumsi secara cukup, bahkan mungkin lebih, sehingga pemikiran mengalami dekonstruksi  dalam output keseharian selanjutnya, dimana sisi bathin (spiritual) telah mulai ikut dalam mengambil keputusan individu.
*(pembahasan spiritual yg dimaksud masih dalam dimensi duniawi)
 
 
Vincent Liong (VL):
Seorang fighter dalam meditator yang akan menerima konsep individu lain setelah melalui analogi yg dirasa cukup bisa diterima, baginya tidak ada dogma, walaupun dia tidak bisa mengingkari dan keluar dari dogma (agama).
Baginya meditasi adalah melakukan hal yg riil, bisa dimanfaatkan untuk orang banyak dalam wujud yg nyata, bukan sekadar menghindar dari kenyataan dengan menjauhkan diri dari peradaban, serta menyepi. Baginya, apa yg secara riil bisa dilihat maupun secara nalar bisa ditangkap, itulah yg nyata.
Hal ini sangat sarat muatan dalam melihat meditasi, baginya dekonstruksi itulah meditasi sesungguhnya, secara cepat, memberikan manfaat kepada masyarakat, at least menyebarkan energy positif, ujung2nya juga perbaikan moralitas, hanya saja freewill disini patut dipertanyakan secara meditasi konsep. akan sah2 saja selama freewill tersebut masih dalam tataran koridor kewajaran.
 
Nah sekelumit mengenai meditasi dari saya dirumah, tadinya mau melanjutkan ke Leonardo Rimba, Merkurius AP, M Iyus, dll, tapi karena saya lg kurang sehat dan asupan, he he.....
 
salam
isf







L A M P I R A N  0 2
Pertanyaan sdr Suchamda kepada Merkurius Adhi Purwono.
at: http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/11343

"Suchamda" <Daniel_552 [at] yahoo.com> wrote:

Salam kenal bung Adhi,
Maaf, saya belum lama bergabung dan kesulitan untuk mengikuti diskusi2 anda dengan sdr.Methoz dan bp.Hudoyo. Sepertinya menarik.
Bisakah anda menceritakan bagaimana metode meditasi anda?
Apakah kompatiologi itu?
Bagaimanakah hubungan kompatiologi itu dengan meditasi?

Terimakasih.

Suchamda

Offline vincentliong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 0
KMA : Komunikasi Empati Ala Kompatiologi (tulisan tahun 2006)
« Reply #2 on: 02 July 2008, 01:48:22 PM »
Serial Tulisan Kitab Masuk Angin
KMA : Komunikasi Empati Ala Kompatiologi

ditulis oleh: Adhi Purwono

di-posting pertama kali di:
http://tech.groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/590
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/18105
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/11618



Maksudnya adalah orang bisa saja berkomunikasi empati tanpa harus mempelajari atau terikat dengan ilmu/gerakan kompatiologi. Komunikasi empati ala kompatiologi itu sendiri mempunyai sebuah ciri khas. Yaitu efek samping berupa proses dekonstruksi yang dialami oleh para praktisinya. Mengapa bisa ada proses dekonstruksi? Karena memang dalam kompatiologi dititik-beratkan pada metoda-metoda yang dapat membuat seseorang mempunyai kemampuan pemetaan (kemampuan merasakan, kemampuan membaca memori) yang mandiri. Empati ala kompatiologi lebih ditekankan pada kemandiriannya (tidak tergantung dengan apapun). Pemetaan secara mandiri disini maksudnya adalah sanggup MEMETAKAN TANPA USAHA. Tanpa usaha berarti tanpa konsep, tanpa metoda, tanpa bimbingan, tanpa acuan nilai, dsb. Tanpa usaha juga berarti terjadi begitu saja dengan ALAMI. Jadi berkomunikasi empati ala kompatiologi diharapkan dapat membuat kita secara alami berempati ketika sedang berkomunikasi dengan orang lain (bahkan dengan hal yang lain, misalnya benda mati, suasana ruangan, diri sendiri, dsb).


Oleh karena itu metoda-metoda yang digunakan untuk mempraktikkan komunikasi empati ala kompatiologi adalah metoda-metoda yang menekankan pada terjadinya kontak langsung dengan diri-sendiri sekaligus dengan realitas. Sehingga salah satu titik-berat metodanya adalah pada permainan tebak-menebak. Mengapa dipilih permainan tebakan ini? Karena kegiatan menebak itu menyiratkan kegiatan tanpa ikatan aturan tertentu, tanpa acuan konsep tertentu, bahkan bisa tanpa pemikiran (karena hanya menebak toh?) atau tanpa berlogika, dsb. Sehingga melalui usaha menebak, seseorang diharapkan bisa melepas segala atribut pikiran/konsep/aturan yang biasanya terlibat dalam menganalisa/menilai peristiwa di sekitar kehidupannya. Namun bukan berarti dalam menebak pikiran harus kosong.  Menebak tetaplah melibatkan kegiatan berpikir untuk melakukan interpretasi sehingga dapat mengungkapkan hasil tebakannya secara verbal kepada orang lain. Nah, dalam menerima arus informasi nonverbal dan menginterpretasikannyalah kita mau tidak mau harus melepaskan segala penilaian kita terdahulu (yang berupa konsep, hasil pemikiran, acuan nilai/aturan, dll) tentang obyek/subyek yang sedang kita tebak. Karena jika kita telah mempunyai penilaian tertentu/konsep tertentu, bukankah membuat kegiatan menebak tidak menjadi menebak lagi, melainkan menjadi kegiatan menilai atau menganalisis? Namun bukan berarti kegiatan menebak menjadi asal tebak. Tentu saja si pelaku permainan menebak ingin agar tebakannya menjadi tepat bukan? Jadi si pelaku ini terpaksa tidak bisa menggunakan analisisnya karena informasi secara verbal hampir tidak ada, dan satu-satunya jalan supaya tebakannya tidak menjadi asal tebak/judi/berbohong adalah berusaha mendapatkan aliran informasi yang nonverbal. Dan satu-satunya yang paling dapat diandalkan dalam hal ini adalah mendapatkan aliran informasi dari perasaannya sendiri atau intuisinya sendiri. Nah inilah yang kita sebut sebagai KONTAK LANGSUNG DENGAN DIRI SENDIRI SEKALIGUS DENGAN REALITAS.   


Tentu dalam hal permainan menebak ini (dalam kitab ini sering saya sebut sebagai praktik dekons), pembimbing (pendekons) bertugas untuk mendorong si pemainnya untuk berani menebak. Berani melepaskan ketakutan disalahkan dari tebakannya. Pembimbing selalu menekankan tidak ada benar-salah dalam tebakan. Asal tidak berbohong/asal tebak/berjudi/menganalisis, maka yang membuat perbedaan sebenarnya hanyalah cara menginterpretasi dari hasil tebakan (dari informasi non-verbal yang didapat). Yang sesungguhnya bila hasil interpretasi itu diuraikan kembali, maka akan terlihat uraian-uraian tersebut selalu mendekati obyek/subyek tebakan dari berbagai sisi/sudut pandang. Misalnya, dalam permainan menebak isi novel. Jika hasil tebakannya terlihat melenceng jauh, maka ada beberapa kemungkinan yang terjadi (anggap saja pembimbing telah melihat pemain tidak berbohong/asal tebak/berjudi/menganalisis).


Pertama, pemain belum terbiasa menginterpretasi informasi non-verbal yang didapatnya, sehingga interpretasi tebakannya terlalu menjurus/spesifik (misalnya langsung menebak nama tokoh, nama negara, umur si tokoh, dsb). Pembimbing akan menyarankan interpretasi dimulai dari hal yang paling umum dulu. Misalnya, sifat keseluruhan tulisan, genrenya, suasananya, jalan cerita apa saja yang telah dirasakan oleh pemain, gambaran apa yang didapat dari aura buku novel tersebut, berhubungan dengan politik atau tidak, dsb. Kemudian dari hasil interpretasi itu bisa saja dirangkai dan dianalisis arah/kumpulan tebakan/interpretasi ini ke arah yang mana/lebih spesifik. Ketika pemain sudah bisa membedakan mana yang sedang berbohong/asal tebak/berjudi/menganalisis duluan, dan mana yang merupakan informasi non-verbal, kemudian bisa menginterpretasikannya tanpa langsung menjurus ke arah spesifik (atau tanpa asal tebak), maka pemain sudah mulai bisa untuk berhubungan langsung dengan dirinya (perasaan) dan dengan realitas tanpa melakukan acuan penilaian.


Yang kedua, mungkin saja memang interpretasinya malah telah tepat hanya saja mengungkapkannya dari sudut pandang yang lain. Misalnya saja dalam novel tersebut yang tertebak (terinterpretasi) adalah profil penulisnya, atau gambar sampul depannya, atau sudut pandang yang lain yang kelihatannya tidak berkaitan tetapi ketika dirunut-runut masih ada kaitannya juga (misalnya menginterpretasi dengan mengatakan ada kekejaman yang tidak manusiawi ketika menebak buku biografi tokoh kontroversial tertentu, walaupun buku itu hanya membahas hal yang baik-baik saja).


Perlu diingat metoda-metoda ini SELALU dilakukan di tempat umum/keramaian dan diusahakan mendekati kegiatan sehari-hari, misalnya dalam menebak rasa teh, dengan alasan orang sering minum teh, menebak buku, dengan alasan orang sering baca buku, menebak musik, dengan alasan orang sering dengar musik, dsb. Tujuannya agar si pemainnya terbiasa dengan lingkungan yang penuh dengan gangguan (noise) sehingga diharapkan metoda ini bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Nah biasanya, ketika pemain telah mendapatkan pengalaman terhubung langsung dengan dirinya dan realitas, apalagi metoda ini dilakukan di tempat umum dan mirip dengan kegiatan sehari-hari, maka lama-kelamaan si pemain akan merasa sukar membedakan mana yang sedang menebak dan mana yang sedang berkomunikasi dengan orang lain/apapun. Karena ketika si pemain melakukan komunikasi, hampir otomatis dia akan melakukan tebakan (kemudian melakukan interpretasi) seperti yang telah dikenalinya di metoda kompatiologi tersebut. Akibatnya, lama-kelamaan si pemain menyadari mana yang merupakan hasil dari kegiatan menebak (membaca memori/berempati) dan mana yang masih berasal dari analisis/konsep/nilai warisan. Kesadaran ini tidak hanya terjadi ketika berkomunikasi dengan orang lain, KETIKA BERKOMUNIKASI DENGAN DIRINYALAH, si pemain menyadari bahwa banyak hal tentang dirinya ternyata telah salah sangka/berisi topeng-topeng dirinya/terdapat pertahanan dirinya. Kesadaran ini didapat dari hasil kegiatan menebak/membaca dirinya sendiri dan hubungannya dengan realitas. Yang sering-kali akhirnya di dalam dirinya terjadi bentrok antara nilai warisan yang telah dianutnya dengan hasil tebakan/membaca/memetakan dirinya. Setelah bentrokan ini selesai/seimbang lagi, maka si pemain akan menjadi lebih jelas dalam hal pemetaan antara dirinya dengan lingkungan sosial/realitasnya. Inilah yang kita sebut sebagai mengalami proses dekonstruksi.


Setelah mengalami dekonstruksi/bentrok dengan nilai warisan, maka tinggal melakukan rekonstruksi ulang dimana si pemain merekonstruksi nilai-nilainya berdasarkan hasil pemetaan mandirinya (atau dengan kata lain berdasarkan dirinya sendiri). Nilai hasil rekonstruksi ini bisa juga berupa citra diri (yang baru maupun tetap memilih yang lama). Namun citra diri ini baginya tidak perlu lagi dipertahankan mati-matian seperti dahulu, karena dia sekarang telah memiliki kemampuan memetakan secara mandiri. Kemampuan memetakan ini JAUH LEBIH BERHARGA dibandingkan dengan mempertahankan suatu citra diri tertentu. Karena dapat selalu memetakan secara mandiri berarti dapat selalu menyesuaikan diri (survival dan adaptasi). Dan kemampuan memetakan secara mandiri ini berasal dari kemampuan membaca memori (berempati) yang diperkenalkan melalui permainan menebak yang terdapat pada metoda kompatiologi. Perlu diketahui metoda kompatiologi tidak terikat pada permainan menebak saja. Bisa saja diciptakan permainan lain yang dapat membantu si pemain untuk berhubungan dengan dirinya dan realitas. Atau malah cukup bersua dengan orang yang telah ahli berkompatiologi sehingga bisa melihat sendiri kemandirian pemetaan orang tersebut (sekaligus empatinya) dan diharapkan dapat tertular/ditularkan ke dirinya melalui komunikasi yang sangat egaliter (tanpa batas/sekat, melihat bahwa tak begitu perlu pertahanan atas citra diri dalam berkomunikasi dengan orang lain). Yang nantinya pengalaman komunikasi egaliter tersebut dapat menyadarkan dirinya akan ketidakmampuan/ketidakmandirian dalam pemetaannya sendiri sehingga kesadaran ini mengakibatkan dirinya mengalami bentrok/proses dekons dengan nilai-nilai warisannya/ketidakmandirian pemetaannya.


Di sisi lain, sebagai pendekons/pembimbingpun khususnya dalam hal ini pada diri saya saat ini, juga mendapatkan manfaat yang berharga. Selain membantu orang lain dan menyebarkan ilmu/gerakan kompatiologi, saya juga mendapatkan pengalaman berinteraksi dengan kalangan berbagai tingkatan SECARA EGALITER yang belum tentu saya dapat dengan cara berkomunikasi biasa (masih sedikit komunikasi yang terjadi dewasa ini dilakukan secara egaliter tanpa memandang tingkatan status dan umur). Sehingga pengalaman ini membantu saya dalam mengenali variasi kehidupan orang lain yang sangat memperkaya wawasan diri saya dan dapat membuka pilihan-pilihan yang sebelumnya belum pernah terpikirkan sama-sekali. Jadi dalam hal ini kita sebagai para praktisi kompatiologi juga sudah merencanakan bagi yang berminat untuk didekons dan bagi yang telah didekons untuk tahap berikutnya (setelah didekons tentu saja) ikut pula menjadi pendekons tandem bersama saya, Vincent, mbak Istiani, dkk, supaya bisa melihat sendiri proses dekonstruksi dan proses membuka diri terhadap orang lain dan realitas, pada seseorang yang sedang didekons. Sehingga kita bisa sama-sama melihat apa yang membuat kita seringkali salah pengertian/konflik dalam saling berkomunikasi dengan orang lain akibat umur/status/jabatan/kekayaan/ilmu, dsb. Ketika yang didekons mulai membuka dirinya untuk ikut bermain (permainan tebakan contohnya), maka disaat itu pula kita mulai bisa mencicipi nikmatnya berkomunikasi dengan egaliter dengan orang yang lagi didekons tersebut. Karena orang yang didekons biasanya sudah mulai melepaskan pertahanan citra dirinya saat sedang melakukan komunikasi dengan diri kita.


Satu hal lagi. Metoda-metoda kompatiologi yang berefek-samping dekonstruksi ini BUKANLAH METODA LATIHAN. Namun merupakan metoda untuk MEMPERKENALKAN KEPADA MEKANISME DI OTAK AKAN INTERPRETASI DARI INFORMASI NON-VERBAL. Jadi kita tidak mengikatkan/melatihkan pada sistem/konsep/cara interpretasi tertentu melainkan hanya mengenalkan/mengajak seseorang untuk mulai menerima informasi non-verbal dan mencari cara menginterpretasikannya di mekanisme otaknya sendiri. Jika seseorang telah mengenali hal ini (interpretasi di mekanisme otaknya), maka untuk selanjutnya hal ini akan berjalan seterusnya secara otomatis, tidak perlu dilatih kembali Hanya perlu diawasi oleh pembimbing/pendekons mengenai perubahan/pengaruh ke lingkungan sosialnya agar tidak menjadi terlalu ekstrim (akibat kebebasan/kemandirian pemetaannya). Analoginya mirip dengan menginstalasi program (dalam hal ini mekanisme interpretasi dalam penerimaan informasi non-verbal ke otak, BUKAN konsep/sistem/cara interpretasinya), tentu instalasi hanya cukup sekali, dan hanya perlu diulangi jika diperlukan/terjadi kerusakan/perubahan yang besar/ekstrim.


Salam,
Adhi Purwono

Offline vincentliong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 0
KMA : Sukses Sebagai Ilusi (tulisan tahun 2006)
« Reply #3 on: 02 July 2008, 01:49:51 PM »
Serial Tulisan Kitab Masuk Angin
KMA : Sukses Sebagai Ilusi
ditulis oleh: Adhi Purwono


Seringkali orang mengatakan, jadilah orang yang sukses berguna bagi bangsa dan negara. Dan berbondong-bondong orang berusaha mengikuti segala formula yang tersedia untuk dapat menjadi orang yang sukses. Hal ini sangat terlihat di dunia kerja dan dunia bisnis. Dan pengertian tentang sukses itu sendiri biasanya setiap orang sudah mendapatkan gambaran di benaknya masing-masing. Gambaran dimana jika telah mendapatkan kesuksesan maka kehidupan yang penuh dengan kebahagiaanlah yang seterusnya dapat dinikmati. Kepenuhan hidup dapat diraih, sehingga dapat menikmati nantinya pensiun penuh dengan kenangan indah dan menjalani kehidupan hari tua dengan damai.

Saya saat ini bisa dibilang lagi hidup dengan bergelimang kesuksesan. Saya merasa telah sukses, lagi sukses, dan akan sukses terus-menerus selama-lamanya. Saya tidak mengerti mengapa ada orang yang mengatakan untuk dapat sukses butuh perjuangan. Karena saya merasa raihan sukses saya tidak membutuhkan perjuangan sama-sekali. Malah sepertinya terdapat kontradiksi disini. Semakin saya berjuang untuk mencoba meraih sukses, maka bukan rasa sukses yang saya dapatkan, namun rasa bingung atau rasa tersesat. Aneh saja kalau melihat orang-orang sampai mati-matian mengejar sukses. Sampai-sampai ada yang kena stroke. Ada yang menunda menikmati hasil jerih payahnya sendiri. Ada yang mengalami insomnia, kemudian setelah bangun tidurpun pertama kali yang menghampirinya adalah tekanan/stress, bukannya burung-burung yang bernyanyi dengan begitu indahnya. Aneh saja saya rasa ketika suatu waktu ada teman saya yang mengajak saya bergabung dengan gaya hidupnya dengan menawari saya untuk mengalami stress di pagi hari, stress ketika makan siang, stress ketika pulang kantor, stress ketika mau tidur kembali, sambil menggosipkan/menjelek-jelekkan/menyalah-nyalahkan orang lain. Wah gaya hidup seperti itu mah saya tolak mentah-mentah, walaupun bayarannya adalah sukses. Karena toh, bagi saya sukses itu tak bisa dibeli oleh stress sebagai pembayarannya toh? Sukses itu gratis, ada dimana-mana, dan untuk siapa saja yang berminat. Masalahnya, orang-orang sepertinya lebih berminat sama stress. Entah mengapa.

Sukses bagi saya ya dapat merasa aman tiap hari. Saya bisa merasa aman karena bagi saya, tidak ada yang dapat membuat saya dikejar-kejar/ditekan oleh apapun/siapapun itu. Semuanya tampak damai di mata saya. Dengan keadaan ekonomi yang sekarang saya alami, saya rasa saya bisa dibilang aman, nyaman dan serba berkecukupan. Sayang sekali saya masih melihat ada puluhan juta orang dengan keadaan ekonomi yang kurang-lebih sama seperti saya, tidak bisa melihat dirinya aman, nyaman dan serba berkecukupan. Menurut saya, kecuali seseorang sangat miskin banget sampai tidak bisa makan 2 kali sehari, seharusnya mereka bisa menikmati keberlimpahan mereka dengan hati damai dan nyaman. Saya pernah juga kok menjadi orang yang terlihat sangat ambisius. Mengejar penghasilan 2-5 juta perak perbulan dengan mimpi nantinya bisa meningkat sampai puluhan juta perak perbulannya. Lalu dengan cara pandang hidup bahwa hidup saya masih tergantung dengan harta ortu. Uang pensiun dan bunga deposito dari tabungan yang dipikir juga tidak akan mencukupi sampai setidaknya 10 tahun kedepan. Belum lagi keinginan untuk mandiri dan mapan sehingga dapat menarik lawan jenis untuk dapat menikah dan membangun keluarga. Belum lagi ongkos gaya hidup untuk meningkatkan citra diri seiring dengan target market/pelanggan yang dituju adalah kelas menengah atas. Kalau diingat-ingat sekarang sih susah untuk membayangkan stressnya, tapi saya tahu dulu saya selalu merasakan betul stress beserta tekanan sekaligus ketegangannya. Seolah-olah tiada hari tanpa perjuangan hidup-mati yang mencekik. Belum lagi rasa takut yang semakin besar karena ketakutan akan kegagalan dan akan persaingan semakin menghantui. Dan terutama sebenarnya stress karena mengetahui diri ini sedang menjalani kehidupan yang terlalu memaksakan diri. Terlalu ingin meniru orang lain yang telah sukses. Terlalu INGIN SUKSES! Tidak mau melihat realita, selalu membuat realita mimpi/visi. Silahkan mencoba membuat realita mimpi/visi anda sendiri, maka anda akan tahu stressnya akan seperti apa menjalani hidup melalui filter mimpi/visi anda. Citra diri anda akan menjadi seperti boneka. Dan tali-talinya sebenarnya adalah pikiran anda sendiri yang tertutup oleh program-program meraih sukses yang sedang anda jalani. Itulah yang persisnya yang pernah saya alami dulu. Inilah yang sekarang ini saya sedang tinjau kembali, tentu dari sudut pandang baru. Sudut pandang kompatiologi.

Tanyakanlah mengapa frasa ‘kerja keras’ adalah frasa yang paling populer dalam mengejar kesuksesan. Dan tanyakan lagi mengapa kerja hampir selalu dilawankan dengan bermain. Lalu mengapa sedikit sekali orang yang bisa menikmati pekerjaan. Dan lihatlah pula pada frasa ‘pengorbanan’, frasa ‘prihatin’, frasa ‘kemauan yang kuat’ dlsb. Pada frasa-frasa seperti itulah merupakan tanda yang sangat kuat bahwa mengejar kesuksesan merupakan perjuangan bukan pelesiran. Dan frasa ‘perjuangan’ pun bukan dalam konteks permainan seperti dalam ungkapan ‘perjuangan dalam permainan bola’ yang bukan urusan hidup-mati. Melainkan dalam konteks perjuangan hidup-mati, sampai sanggup membuat orang-orang bisa bunuh diri ditengah-tengah perjuangannya! Wajarlah kalau banyak orang rindu karena telah kehilangan kedamaiannya. Kedamaian yang pernah dicicipi penuh ketika di masa kecilnya. Kedamaian dimana bukan status, uang, pekerjaan, citra diri yang menjadi taruhannya. Melainkan berasal dari kepolosan bermain, belajar dan saling membantu dalam pekerjaan keseharian yang kesemuanya diiringi oleh senyum karena hangatnya kedekatan antar keluarga/teman/sesama. Semua itu seolah hilang ditelan oleh dinginnya suasana ibu kota yang dimana individu-individunya tidak bisa saling mengenal secara luwes lagi. Dimana masing-masing harus menunjukkan kedudukan, status atau jenjang sosialnya. Dimana semua begitu terkotak-kotak. Oleh karena itulah saya telah menyatakan mundur dari permainan pura-pura seperti itu. Bosan oleh stress dan tekanannya. Bosan menjadi diri orang yang (akan) sukses. Bosan oleh intrik-intriknya. Bosan oleh pancingan materi tapi kosong kehangatan manusiawinya. Bosan dengan PENGINDUSTRIANNYA! Semuanya serba diproduksi masal sehingga hampir semua produk tidak ada kehangatannya lagi, termasuk produk budaya ini yaitu KESUKSESAN! Tidakkah ada yang menyadari bahwa kesuksesan itu merupakan suatu produk hasil dari industri. Dimana mempunyai tujuan industri yaitu menyajikan kesuksesan seperti produk masal sehingga semakin banyak orang yang mendapatkan kesuksesan dengan beragam pilihan metoda dan formula yang sudah dipatenkan/dibakukan? Ah sudahlah dengan segala tetek-bengek kesuksesan. Saya lebih baik menikmati diri saya selagi saya muda. Buat apa dicetak oleh dunia industri untuk menjadi manusia produk sukses ala industri?

Itulah mengapa saya saat ini memilih tidak bekerja kantoran dengan suatu perusahaan. Saya memilih tidak menghabiskan waktu saya yang sangat berharga 8 jam sehari boo… hanya untuk mendapatkan pekerjaan kemudian menjadi mapan ala industri/budaya modern. Saya melihat itu hanyalah buang-buang waktu dan tenaga sahaja. Buat apa sih mengikuti dalam-dalam budaya industri/modern dengan bekerja di kantor kalau hasil bersihnya nanti banyak orang yang merasa kehilangan kedamaian atau malah kehilangan dirinya? Banyak lho orang yang mencari pekerjaan bukan karena senang dengan pekerjaan tersebut melainkan hanya mencari status dan kemapanan tertentu. Kalaupun senang, cepat atau lambat akhirnya juga harus bersikap pragmatis dengan pekerjaannya, yang artinya makin lama kesenangan akan bekerjanya semakin pudar karena ditekan oleh budaya industri yang telah diadopsi oleh pikirannya tersebut. Sayang sekali.

Dari tadi saya menyebutkan budaya industri/modern. Apa sih itu sebenarnya? Mari kita telisik lebih jauh.

Saya akan memakai contoh diri saya sendiri. Ketika saya melihat realitas apa-adanya keadaan keuangan diri saya sekaligus keluarga saya (ortu saya maksudnya), maka waktu itu saya baru menyadari bahwa tanpa bekerja mencari uang pun saya aman. Sedemikian amannya sehingga hampir-hampir saya sulit untuk mempercayainya karena udah keseringan diprogram bahwa kita selalu tidak aman dalam posisi keuangan kita sekarang ini. Nah saat itu lah saya menghembuskan nafas yang sangat lega sekali. Saya tidak perlu melakukan apapun untuk mempertahankan rasa aman saya tersebut. Ternyata selama ini keamanan adalah merupakan berkat yang tersembunyi dari pandangan saya, dan juga sekarang bagi ibu saya sendiri dalam memandang kondisi keuangannya sendiri. Ibu saya sampai heran mengapa dulu suami (ayah yang sekarang telah meninggal), begitu stress melihat keuangan keluarga sampai melototin pergerakan bunga bank. Yang ternyata sekarang dengan pikiran yang jauh lebih tenang, kita-kita ini malah lebih kreatif dalam berinvestasi sehingga tujuan keamanan pasti/telah tercapai. Memang keamanan itu relatif. Tapi justru disitulah kuncinya. UNTUK MENDAPATKAN KEAMANAN FINANSIAL, KITA HARUS MERASA AMAN DULU. Jika kita telah dapat merasa aman, maka tiba-tiba pandangan kita menjadi jauh lebih cerah. Otak kita akan jauh lebih kreatif pula. Tiba-tiba semuanya telah begitu jelas. Dan keamanan keuangan yang hanya selalu diimpi-impikan ternyata teronggok di sana begitu saja menunggu untuk dinikmati. Dan yah, kita sekeluarga sekarang kerjaannya tinggal ketawa-ketiwi menikmati deposito, investasi, dan yang paling penting rasa aman yang juga dapat menghangatkan hubungan para anggota di keluarga saya tersebut. Tak ada lagi terpikir apakah kita akan kekurangan duit. Malah kita merasa duit selalu ada menghampiri kita, tidak perlu kita usaha capek-capek memutar otak untuk dapat mengembang-biakan duit. Semua telah tersedia. Manis untuk dinikmati. Melimpah. Tinggal ketawa-ketiwi.

Nah lo.. anda bingung atau malah anda mengira saya adalah keluarga super kaya? Oh tidak kok. Kami hanyalah keluarga dengan pengeluaran per bulan rata-rata 4 juta saja (itu sudah semua). Kami, dalam konteks tulisan ini saya, telah lama meninggalkan konsep bekerja untuk mencari uang. Saya sekarang memakai konsep uang menghasilkan kebahagiaan, begitu pula sebaliknya, kebahagiaan terutama bahagia dalam bekerja sambil bermain selalu menghasilkan uang. Jadi berlipat-lipat deh, uang menghasilkan kebahagiaan yang menghasilkan uang. Nah anda bisa melihat khan sumber kelimpahan saya? Penghasilan keluarga saya yang diterima dari bunga atau hasil investasi merupakan hasil dari kebahagiaan kita sekeluarga dalam menanamkan uang tersebut di bank atau di suatu investasi, sehingga kita merasa hasil bunga yang didapat lebih dari cukup! Mengapa bisa seperti ini? Ada dua penyebab :
   
1. Kebahagiaan tak ternilai
2. Kebahagiaan begitu murah cenderung gratis


Dua penyebab inilah yang mengakibatkan uang kita hampir selalu berhasil kita tukarkan dengan barang yang tak ternilai harganya, yaitu kebahagiaan. Dan itu makin lama makin terasa murah, hampir setiap bulan kita bisa semakin menabung karena kita hanya membeli kebahagiaan. Alias untuk membeli kebahagiaan makin membutuhkan uang yang semakin sedikit, padahal kebahagiaan itu tak ternilai harganya! Betapa murahnya bukan?

Bahkan kebahagiaan bisa menghasilkan uang! Karena apa? Karena kita (dalam konteks tulisan ini saya), menjual kebahagiaan ke orang-orang lain melalui pekerjaan/permainan saya. Bayangkan transaksi yang terjadi. Ketika mitra dagang saya akhirnya benar-benar yakin dia telah mendapatkan kebahagiaan dari saya, mendadak semua uangnya dirasa tidak cukup untuk membayar/merefleksikan nilai kebahagiaan yang telah dia dapat (karena dia merasakan sendiri kebahagiaan itu tak ternilai). Dia tidak begitu peduli lagi dengan jumlah uangnya melainkan bisa melihat kembali fungsi uang yang sebenarnya sebagai alat tukar belaka. Maka akibatnya bayangkan orang yang telah diberikan kebahagiaan oleh kita akan merasa utang budi dengan kita sehingga kerjasama bisnis apapun akan berlangsung mulus. Selain karena utang budi, juga karena ketulusan yang akhirnya dapat dia ekspresikan melalui kondisi kebahagiaannya ketika sedang bertransaksi dengan diri kita. Nah bisnis apa lagi yang bakal akan terus menguntungkan keduabelah pihak selain bisnis yang didasari oleh ketulusan hati dalam meningkatkan nilai kehidupan melalui perdagangan? Inilah sumber uang yang abadi. Tidak hanya dari peningkatan kuantitas jumlah uangnya, melainkan kualitas nilai tukarnya. Kita akan mendapatkan uang hasil dari hubungan baik yang membahagiakan kita semua, itu membuat uang yang kita terima menjadi sangat berharga karena telah merupakan lambang ekspresi ketulusan dan kebahagiaan hati. Dan uang bahagia tersebut tentu akan ditukarkan lagi dengan barang-barang yang dapat membahagiakan empunya tersebut. Sadarkah bahwa bagaimana cara kita menukarkan uang kita merupakan akibat dari cara kita mendapatkan uang tersebut? Jika kita stress ketika mendapatkan hasil uang (uang stress), maka kita tukarkan secara stress pula dan kita tidak menuai kebahagiaan (biasanya berupa pelampiasan untuk menetralkan stress yang didapat, yang sayangnya orang malah kecanduan pelampiasannya, bukan berusaha untuk bahagia secara mandiri). Sebaliknya jika kita bahagia ketika mendapatkan hasil uang tersebut (uang bahagia), maka penukaran kita akan kita lakukan dengan bahagia pula, menghasilkan barang-barang yang dibeli adalah barang-barang yang membahagiakan.

Lalu anda bertanya lagi. Apakah saya tidak pernah merasa menderita? Oh tentu saja saya bisa merasa menderita dan juga pernah, sedang dan akan menderita lagi. Itu adalah suatu kewajaran. Tapi masih ingat khan ilustrasi saya mengenai penderitaan dalam permainan olah raga? Tanyakan pada pemain bola yang kakinya dijegal. Menderitakah dia? Tentu saja menderita. Tapi dia menderita dalam konteks bahagia (jika memang bermain bolanya murni bermain). Dijegal tidak apa-apa. Malah bisa mendapatkan tendangan bebas atau pinalti sekalian jika dijegal di depan gawang musuh. Ataupun jika harus diganti, masih tetap bisa merasakan atmosfer permainan teman-teman yang telah mempunyai nuansa pertemanan yang sangat-sangat akrab dan kompak. Hal itu saja sudah sangat menghibur dirinya sehingga tulang kering yang terasa nyeri, sakitnya sebentar saja sudah terasa hilang karena terhibur oleh aksi teman-temannya yang kocak atau yang keren. Itulah konteks ketika saya sedang mengalami penderitaan. Menyenangkan bukan penderitaan seperti itu? Pengalaman yang manis. Alih-alih malah jadi ahli dan sangat menikmati dalam permainan, seperti sang pemain bola yang sudah keseringan dijegal, sehingga akhirnya dia dapat menciptakan gerakan menggiring bola yang meliuk-liuk seperti pemain balet yang sangat sulit untuk dijegal oleh lawan.

Jadi saran saya, tidur sianglah yang banyak, nikmati hidup sepuasnya bagi para penganggur kerja. Bagi yang sudah bekerja, lupakan tekanan pekerjaan anda. Tak ada guna mengingat-ingat tekanan pekerjaan anda. Anggap semua orang yang stress adalah hasil budaya yang menggilai stress. Kerjakan pekerjaan anda dengan tempo anda sendiri. Jika tidak memungkinkan, buatlah negosiasi dengan atasan, katakan sejujurnya kemampuan anda sendiri. Hal ini sekaligus mensyaratkan anda mulailah jujur pada diri anda sendiri apakah anda sekarang ini bekerja berdasarkan angan-angan dan citra diri yang anda ingin dilihat oleh orang lain atau memang bekerja karena ingin? Jika anda hanya berusaha menyenangkan orang lain (terutama atasan anda), hasil bersih yang akan anda dapat adalah stress dan ketakutan anda sendiri. Anda akhirnya takut anda telah mencapai batas kepura-puraan anda. Lalu anda bisa saja meledak tak keruan, atau malah melarikan diri seperti seorang pengecut. Yah ini wajar saja terjadi, karena pada mulanya pun anda memulai seperti seorang pengecut berusaha tampil besar tapi hanya pura-puranya bisa, tidak berani jujur pada orang lain sebenarnya kemampuan kita sampai dimana. Anda akan menyadari di titik ini, anda akan muak dengan kepura-puraan anda sendiri. Herannya orang lain malah dapat memaklumi kepura-puraan anda sendiri, karena sepertinya mereka pun juga sama seperti anda, pura-pura juga. Kalau gak percaya lihatlah bualan para sales yang mewakili perusahaan. Semuanya menjual kecap nomor satu. Hampir semua menjual pelayanan/produk muluk-muluk yang menjadi target yang hampir tidak masuk akal bagi sdm-nya. Salah siapa coba? Kura-kura dalam tempurung, pura-pura tidak tahu…hehehe!

Kalau mau ekstrim, bagi yang lagi punya pekerjaan, coba bisakah bolos sebentar dari pekerjaan (barang sehari-dua hari), lalu leyeh-leyeh di rumah sambil merasa bahagia dan tidak stress karena pekerjaan? Nah 95 persen orang akan bilang tidak mungkin! Nah anda pasti akan terkaget-kaget kalau saya katakan di barisan 95 persen itu ada orang-orang dengan jabatan direktur dengan gaji 50 juta perbulan, plus aset tabungannya sekian puluh milyar rupiah. Dan mereka tidak akan mau disuruh leyeh-leyeh di rumah melepaskan kekhawatirannya barang sehari jua mengenai pekerjaannya. Dan hal ini jangan salah, dapat diterapkan kepada status kekayaan seperti kita juga (kelas menengah). Pengemis di jalan akan terkaget-kaget melihat kita ogah leyeh-leyeh di rumah menikmati aset tabungan kita sambil berbahagia melupakan stress di pekerjaan. Kalau mau dilihat secara teliti, ternyata hampir di seluruh tingkat sosial-ekonomi permasalahan kekurangan duit, sulit bahagia, kebanyakan stress, selalu ada. Masalahnya, orang selalu diajari mengejar kesuksesan. Tidak pernah diajari bagaimana menikmati kesuksesan. Bagaimana menikmati kegagalan. Bagaimana melepaskan candu akan perjuangan meraih sukses. Atau sekalian jika ada orang yang menyadari bahwa sukses ternyata hanyalah ilusi, hasil bersihnya berbaring tenang di ruang ICU, dapat diajari bagaimana dia paling tidak bahagia di ranjang ICU-nya, tidak dendam sama industrialis karena telah menciptakan ilusi kesuksesan ala stroke, sakit jantung, tumor, kanker, dan segala penyakit kritis lainnya. Jika tidak mau bangkrut karena penyakit kritis, hubungi saya, karena saya juga agen asuransi kesehatan Prudential. Saya akan memberikan kebahagiaan kepada anda semua.

Salam,
Adhi Purwono.
Ciledug, 26 November 2006

Offline vincentliong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 0
KMA : Menyatukan Pecahan Diri
« Reply #4 on: 02 July 2008, 01:52:29 PM »
Serial Tulisan Kitab Masuk Angin
KMA : Menyatukan Pecahan Diri
Penulis: Adhi Purwono

Dalam perjalanan hidup ini, kita memiliki kebiasaan untuk selalu mengaitkan diri kita dengan sesuatu penilaian maupun pelabelan. Kebiasaan ini telah meresap di segala dimensi kehidupan diri kita. Mungkin hal ini tidak begitu kita sadari benar. Namun, herannya, ketika menghadapi persoalan hidup, serta-merta kita membutuhkan suatu pegangan. Suatu acuan. Suatu arah. Ataupun suatu pengalaman/pengetahuan. Ketakutan dan stress juga begitu alami meresap setiap kita mencoba menyelesaikan suatu masalah. Frasa ‘penderitaan’ merupakan frasa yang mengungkapkan pengalaman yang tidak enak tersebut dalam menghadapi masalah kehidupan. Bahkan terbentuknya ‘masalah’ itupun menyiratkan ketidakberdayaan kita dalam menentukan tujuan-tujuan hidup kita sendiri. Bagaimana cara kita menikmati kehidupan. Bagaimana cara kita mengejar kesenangan maupun menghindari penderitaan. Masalah akan terus mendera kita. Ketakutan dan stress akan menjadi teman setia kita. Penderitaan tanpa disadari malah  akan tetap menjadi tujuan favorit hidup diri kita. Karena masalah akan selalu menyebabkan perubahan nilai-nilai. Dan sayangnya perubahan/benturan nilai seringkali diiringi/melalui jalan kekerasan. 

Dan memang kita semua telah/terlalu terbiasa dengan yang telah diungkapkan oleh paragraf di atas tersebut. Rasanya saya sendiri pengen berteriak melepaskan belenggu kekerasan yang begitu ulet mengelilingi kehidupan kita. Namun tak bisa. Karena saya sendiri menyukai kekerasan. Sama seperti anda semua. Dan hendaknya mulailah kita bertanya. Saya mengajak anda semua untuk mulai bertanya ke diri kita masing-masing. Darimanakah semua kekerasan ini muncul? Apakah kekerasan hidup juga merupakan hakikat kehidupan, seperti juga kelembutan atau kedamaian atau cinta yang telah dipercaya sebagai hakikat kehidupan? Apakah ada gunanya juga kita bertanya yang juga sekaligus menyelidiki perihal kekerasan ini? Jikalau ternyata kekerasan hanyalah sisi relatif dari cinta, lalu apakah dengan demikian penderitaan mendapatkan justifikasinya? Mendapatkan alasan hakikinya untuk selalu terombang-ambing bersama-sama dengan kebahagiaan? Saya sendiri merasa semua ini relatif. Semua ini hanya masalah bagaimana kita mau memaknainya. Semua ini bisa dijadikan sebagai pelajaran maupun aktualisasi diri. Penderitaan maupun kebahagiaan sama-sama memiliki kemampuan mencerahkan bagi manusia. Romantis sekali! Hanya saja, satu-satunya yang tetap menjadi masalah sesungguhnya adalah mendapati diri kita yang terkoyak-koyak dalam gelombang penderitaan-kebahagiaan, kesedihan-kesenangan. Dan saya akui pula, diri saya lebih terkoyak ketika mendapatkan kebahagiaan. Oleh karena itulah saya lebih sering menyabotase diri saya sendiri supaya tidak sering-sering mendapatkan peristiwa-peristiwa yang membahagiakan.

Nah, dalam tulisan ini saya mencoba memperhalus koyakannya. Menyatukannya sedikit-demi sedikit. Mencari penyebab-penyebab koyakan tersebut. Tapi saya di sini bukanlah diumpamakan sebagai pemulung koyakan. Bukan pula sebagai pemungut pecahan diri. Masa itu sudah lewat. Sebab saya sedang tidak depresi sehingga sampai perlu mengajak pembaca untuk ikut serta memungut pecahan diri saya (yang notabene memang mirip dengan pecahan anda-anda juga). Bukan-bukan itu tujuan saya. Saat ini saya sedang dalam keadaan sehat mental dan jasmani. Dan justru di saat sehatlah baik sekali kita bisa mengadakan penyelidikan ini. Alasannya, ketika sehatlah, koyakan itu menjadi tidak begitu jelas. Pecahan diri kita sedang berada di bawah sadar. Sehingga sangat baik untuk mengetahui asal-mula dari keterpecahan diri. Ketika lagi sakit, kita tidak bisa melihat asal-mulanya lagi. Karena jelas diri kita sedang terpecah/terkoyak

Saya masih ingat pengalaman ketika saya kecil dan masih di SD kelas dua. Ketika itu guru sedang membagikan hasil ulangan. Saya saat itu sudah mengerti saya hanya mendapatkan nilai 2. Namun lucunya, ketika itu saya tidak merasa minder. Kemudian, saya juga melihat melalui jendela, ibu saya yang akan menjemput saya pulang karena saat itu pelajaran sebentar lagi akan berakhir. Malah dengan entengnya saya melambai-lambaikan kertas ulangan saya dan sedikit berteriak tertawa-tawa murni alasannya karena saya hanya mendapatkan nilai 2 saat itu. Tidak ada perasaan bersalah. Tidak ada perasaan takut dimarahin. Tidak juga perasaan tertekan atau iri dengan anak lain yang lebih mendapatkan nilai bagus. Ibu saya juga akhirnya ikut tertawa-tawa melihat kepolosan saya. Kepolosan. Orang dewasa (seperti kita saat ini) tahu secara intuitif (karena dirinya juga pernah menjadi anak kecil), kebahagiaan macam seperti ini, dan ini disebut sebagai kepolosan. Dari pengalaman seperti ini jugalah yang sebenarnya memberikan warna kebahagiaan dalam pengalaman ibu saya sebagai orang tua. Terus, ketidaktahuan/kepolosan saya masih berlanjut, sampai suatu saat ayah saya mulai menerapkan kekerasan pada diri saya. Sebenarnya bukan kekerasan yang terutama membuat saya menjadi mulai penakut, minder dan sebagainya. Tapi penerapan standarisasi nilai yang mulai diterapkan oleh ortu saya dan diganjarkan melalui kekerasan maupun hadiah-hadiah. Itulah pelajaran pertama saya. Sabetan-sabetan sapu lidi masih bisa saya rasakan kalau saya mau hingga sekarang. Bukan sakit fisiklah yang teringat di memori saya, melainkan perlawanan pertama/awal-awal saya terhadap pengharapan, aturan, standarisasi, sopan-santun, prestasi, dsb, dari ortu saya. Itulah yang membuat saya kesulitan. Itulah pertama kali saya mulai memeluk konsep keselamatan (survival). Disitulah saya mulai memetakan, mana-mana yang mendukung keselamatan saya sebagai anak kecil, mana-mana yang masih bisa saya lawan, dan mana-mana yang saya benar-benar harus menghindari/mematuhinya. Lama-kelamaan, perlawanan dan kepatuhan berjalan seiring dengan munculnya sifat penakut, minder, cari aman, dsbnya. Perlu diketahui, di sini saya bukan ingin mengkontraskan nilai-nilai (takut itu jelek, pemberani itu bagus, minder itu jelek, pede itu bagus, dsb). Tapi saya ingin menunjukkan bahwa pemetaan yang saya lakukan asli/murni dari tarikan antara pembentukan diri saya yang sangat saya inginkan (yang berupa idealisme seperti memiliki prestasi yang bagus, dapat bermain terus-menerus, dsb), dengan tarikan atau lebih tepat melatih diri untuk merasa bersalah, minder, dsb, atas perbuatan-perbuatan yang tidak disukai oleh ortu. Lama-kelamaan pula, diri saya mulai nempel pada tujuan idealisme seperti cerita kepahlawanan, prestasi sekolah yang bagus, mainan-mainan yang canggih, bahkan kesombongan-kesombongan gaya anak kecil. Dan semakin saya nempel dengan hal-hal seperti itu, semakin saya bisa merasakan sakitnya tidak mendapatkan hal-hal seperti itu lagi. Dan dari hal-hal yang mulanya saya tiru dari orang dewasa, mulai mendapatkan justifikasinya dalam pelampiasan-pelampiasan rasa sakit (tentu melalui proses ‘pembelajaran’ dari televisi, majalah, game, teman-teman, ortu, orang dewasa lain, dsb).

Untuk lebih jelas lagi, contoh yang paling simpel akan saya perlihatkan dalam ilustrasi berikut ini.
 
Seorang anak saat itu pertama kali menunjukkan hasil ulangannya kepada ibunya . Kebetulan si anak mendapatkan nilai 8 (bagus) dalam ulangan matematikannya tersebut. Si ibu menjadi senang dan terus memuji-mujinya secara agak berlebihan (maklum ibu muda baru senang-senangnya punya anak SD). Kemudian, si anak ternyata pada kesempatan-kesempatan beberapa ulangan berikutnya nilai-nilainya tidak pernah di bawah nilai 8. Ibunya secara terburu-buru karena senang, menilai anaknya jenius/ber-IQ tinggi. Dan mulailah si anak dipuji-puji setinggi langit.

Oke, saya stop dulu ilustrasinya sampai di sini. Apa yang telah dipelajari dari sikap ibunya oleh si anak tersebut? Si anak berdasarkan pola sikap dan cara berpikir ibunya mulai belajar untuk terikat dengan nilai bagus (sama seperti ibunya yang telah terikat dengan hal-hal lain). Saya lanjutkan ilustrasinya.     

Suatu saat ketika mengerjakan ulangan, si anak menyadari dia mengalami kesulitan dalam mengerjakannya. Padahal dia sudah mati-matian belajar (ingat! Anak ini sudah terikat dengan nilai bagus). Si anak menjadi takut nanti hasil ulangannya jelek. Si anak juga sudah menyadari alternatif yaitu menyontek saja, untuk menyelamatkan (konsep keselamatan) ulangannya. Namun keinginan menyontek terbentur dengan kebanggaan diri akibat dari pujian-pujian ortunya, dan dari moralitas yang diajarkan oleh guru dan ortunya. Maka akhirnya si anak tetap memutuskan untuk menyontek saja. Namun ketika itulah untuk pertamakalinya, si anak merasakan rasa bersalah.

Dari ilustrasi tersebut tersirat bahwa, diri anak itu terkoyak dan untuk menutupinya si anak menimbulkan rasa bersalah dalam dirinya. Sampai di sini saya harap saya sudah menunjukkan dengan jelas hasil dari gelombang kelekatan akan kebahagiaan yang berubah menjadi penderitaan pada diri kita. Dan sengaja saya berikan contoh masa kecil karena pada saat-saat itulah kita memulai pada segala hal.

Lalu hal-hal seperti ini berlanjut terus sampai kita dewasa dan sampai liang kubur. Jika kita mau pikir lebih dalam dan mengaitkannya dengan ilustrasi masa kecil seperti di atas, maka sesungguhnya kejahatan hanyalah hasil dari usaha yang keras untuk tetap lekat pada kebaikan. Mengapa disebut sebagai usaha yang keras? Karena kelekatan pada hal-hal yang baik ketika gelombangnya terlalu besar yang artinya ada suatu saat kebaikan/idealisme tidak dapat diterapkan, maka dirinya akan terpecah, dan penyatuan pecahan-pecahan tersebut membutuhkan usaha yang keras/dengan kekerasan. Dan kekerasan inipun disebut juga sebagai kejahatan. Persis seperti ilustrasi anak kecil tadi yang akhirnya tidak dapat lagi mencapai hasil ulangan yang diinginkan, namun karena dirinya sudah terlekat dengan tujuan hasil ulangan yang bagus, maka akhirnya anak itu memutuskan untuk merubah nilai moralitasnya dengan harga yang harus dibayarnya yaitu rasa bersalah dan keterpecahan dirinya untuk seterusnya (mungkin sampai harga dirinya pulih kembali). Dengan demikian, bagi dirinya yang terpenting adalah dirinya tetap terlekat pada label anak jenius/pintar. Inilah yang dimaksud dengan usaha keras. Yaitu merubah nilai moralitas dengan harga yang berat supaya bisa tetap melekat pada hal-hal/label-label yang idealis/baik.. Harga yang harus dibayar bisa saja bukan hanya rasa bersalah. Bisa juga minder, takut, tidak pede, intovert. Bahkan juga keberanian, nekat, keras kepala, kepura-puraan, dlsb.

Tulisan ini juga saya persembahkan bagi Vincent Liong teman saya yang terkasih yang dianggap indigo. Dan juga semua anak yang diberikan pelabelan yang telah mengikat anak-anak tersebut. Juga untuk kita sendiri yang tanpa kita sadari juga sering dilabelkan macam-macam oleh orang lain yang kemudian kita menjadi terlekat dengan pelabelan tersebut. Pujian memang memabukkan. Apalagi pujian yang telah menjadi label diri kita dimana kita terikat dengannya. Namun saya tidak berhenti sampai kesimpulan di sini saja. Sesuai dengan misi kompatiologi yang dibawa oleh Vincent si anak yang dianggap indigo, maka mari kita lanjutkan penyelidikan pada paragraf berikut ini.

Mungkin telah terlihat solusi termudah dari semua persoalan ini adalah menjadi tidak terikat dengan pelabelan. Tapi hal ini mudah mengatakannya daripada melaksanakannya. Dan tetap saja paradoksnya, usaha untuk melepaskan lekatan pada label malah membuat kita terlekat dengan usaha tersebut yang ujung-ujungnya ketika kita tidak sanggup lagi berusaha seperti itu, kita kemudian akan merasakan lagi tarik-menarik keinginan diri kita (pemecahan diri kita) antara mempertahankan usaha tersebut (yang idealis) atau merubah lagi paradigma beserta harga yang harus dibayarnya (misalnya menjadi pragmatis, pendiam, menarik diri, masa bodoh, topeng kejiwaan, dlsb). Lalu sebagai antisipasi hal ini kitapun mengambil kesimpulan sebaiknya jangan diusahakan, melainkan merupakan kesadaran sendiri yang pada saatnya datang untuk lepas dari keterlekatan (ingat, bukan melepaskan, karena menyiratkan usaha). Lalu kita akan terpancing lagi bertanya, kapan kesadaran itu akan datang? Dan bilamana kesadaran itu akan datang? Benarkah satu-satunya cara supaya terbebas dari pertentangan keinginan (pemecahan diri) adalah dengan terlepas dari keterlekatan? Hidup seperti apakah lepas dari kelekatan itu? Kesempuranaankah? Pencerahankah? Menjadi bijakkah? Di sinilah biasanya konsep spiritualisme masuk. Ingat lho… saya lagi-lagi tidak sedang mengontraskan antara spiritualisme dengan kompatiologi. Karena yang saya tuju sebagai bahan penyelidikan adalah konsep-konsep, yang pada konteks ini dilabelkan sebagai konsep-konsep spiritualisme. Mungkin saya harus menjelaskan lebih lanjut bahwa, konsep-konsep sejatinya hanya merupakan kumpulan-kumpulan ide tentang sesuatu (dalam hal ini spiritualitas), bukan spiritualitas itu sendiri. Karena memang spiritualitas sejatinya adalah pengalaman hidup yang unik. Konsep hanyalah usaha untuk generalisasi saja. Saya berikan sedikit contoh. Banyak konsep spiritualisme menyarankan supaya bermeditasi sambil menunggu kesadaran datang (yang tanpa usaha tersebut). Namun karena hanya mengikuti konsep tanpa benar-benar mengerti bahwa asal-mula konsep itu muncul beserta keunikan situasinya, maka banyak orang hanya mengeneralisasikan saja kalau ikut metoda konsep tersebut maka hasilnya akan sama bagi mereka (yaitu berupa kesadaran yang datang/diharapkan). Padahal melakukan suatu metoda dari suatu konsep tanpa mengenal diri sendiri adalah merupakan suatu tarik-menarik antar dalam dirinya sendiri. Mengapa saya katakan seperti ini? Karena ciri khas dari mengikuti konsep adalah komitmen. Dan komitmen adalah bukti langsung bahwa yang dilakukannya tidak begitu sesuai dengan keinginannya sehingga sampai harus membuat komitmen. Sedangkan mungkin ada pembaca yang sudah menyadari bahwa spiritualitas itu murni pengalaman hidup yang unik. Pengalaman hidup yang unik ini akan sulit dilabelkan hanya dengan salah satu polaritas saja (misalkan dianggap pengalaman bijaksana, mengalami pencerahan, dlsb). Karena apa? Karena seperti yang telah kita ketahui, seluruh pengalaman hidup adalah unik dan karena itu seluruh pelabelanpun/sifat/kriteria tercakup (misalnya dapat dipastikan pengalaman hidup kita tidak hanya yang bijak-bijak saja melainkan perbuatan yang bodoh dan jahatpun tercakup). Dan saya yakin, orang-orang yang sudah berumur mengerti hal ini ketika mereka mengenang masa lalu mereka. Dan dari situlah sumber dari segala sumber ajaran/konsep spiritualisme yang ada di bumi ini. Dari mengenang masa lalu.


Offline vincentliong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 0
KMA : Menyatukan Pecahan Diri (lanjutan)
« Reply #5 on: 02 July 2008, 01:53:17 PM »
Jika begitu, apakah dengan demikian keterlekatan dan keterpecahan diri adalah suatu keniscayaan? Sama seperti ketidakterlekatan dan penyatuan diripun merupakan keniscayaan? Mereka hanyalah seperti koin yang sama tapi berbeda permukaan? Melepaskan diri dari kelekatan menyebabkan pertentangan, demikian pula mempertahankan kelekatan. Bahkan menyatukan diripun menimbulkan pertentangan diri juga atas kenyamanan status quo diri yang terpecah sebelumnya. Apalagi mempertahankan keadaan diri yang terpecah. Atau bahkan mempertahankan konfigurasi pecahan diri tertentu! Inilah terlihat bahwa keinginan kita dari melepaskan-mempertahankan sesuatu hanyalah mempunyai arti cuma merubah konfigurasi pecahan diri kita belaka. Alias lagi-lagi penderitaan akibat ayunan emosi dari pecahan diri kita akan tetap menjadi teman setia kita.

Ada fenomena pemikiran menarik dari kasus pelabelan indigo pada diri  Vincent Liong. Saya sendiri tidak begitu jelas inventarisasi/standarisasi dari kumpulan-kumpulan sifat seperti apa yang disebut sebagai indigo. Banyak hal dan variabel yang berkembang dalam wacana kumpulan sifat indigo seperti warna aura, dapat melihat roh, dapat meramal, menguasai bahasa asing, bersikap dewasa sebelum waktunya, dlsb. Namun dalam kasus Vincent Liong, saya mulai menyadari bahwa kompatiologi merupakan salah satu ekspresi reaksinya (atau aksinya) terhadap pelabelan indigo. Vincent pernah mengatakan dia menganggap (dan banyak juga orang yang menyadarinya) sifat-sifat yang diinventarisir sebagai sifat indigo banyak terdapat pada anak kecil, terutama balita dan batita. Dan beberapa masih dapat diamati rata-rata sampai anak SMP.  Tapi kebanyakan dari kita menganggapnya sebagai kepolosan. Saya rasa memang tetap ada perbedaan antara anak-anak yang terlalu mencuat sifat indigonya (kadang sampai dewasa) dengan anak-anak biasa yang hilang sifat keindigoannya pada saat mulai masuk sistem sekolah. Namun bagi saya hal ini tidak menutup makna yang ingin ditunjukkan oleh Vincent bahwa indigo akhirnya hanyalah pelabelan. Kumpulan sifat-sifat seperti indigo ternyata pernah dimiliki oleh sebagian diri kita. Dan wajarlah dengan sifat alam yang penuh variasi ini (variasi dna), ada anak-anak yang lebih terlihat dan lebih tahan lama sifat indigonya. Hanya saja, ternyata lama tidaknya si anak memiliki sifat-sifat indigo juga tergantung (selain dari kekuatan anak itu sendiri) dari sistem pendidikan sosial kolektif yang diterapkan oleh lingkungan masyarakat. Inilah salah satu hal yang terpenting yang ingin ditunjukkan oleh si Vincent dalam ilmu kompatiologinya.

Berdasarkan konteks dan latar belakang lingkungannya (yang membuat dirinya menjadi seperti memiliki kelebihan indigo), anak ini (Vincent Liong) memiliki kesempatan yang bagi yang lain sangat langka untuk dapat tidak sejalan dengan sistem kolektif yang sudah ada. Kemampuan untuk dapat tidak sejalan ini selain berasal dari garis keturunan (dna), juga sebagaian besar berasal dari kesempatan yang terbuka dari jalan kehidupan, konteks dan latar belakang yang disediakan oleh dunia untuk dirinya. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Vincent yang salah satu hasil penemuannya adalah Kompatiologi. Pembahasan mengenai kompatiologi sudah banyak dibahas ditulisan awal saya di KMA ini dan juga sudah dijelaskan secara lengkap dan di-up to date oleh si Vincent sendiri. Jadi paragraf berikutnya saya akan lanjutkan lagi penyelidikan kita dalam konteks penyatuan pecahan diri ini.

Munculnya pelabelan indigo ataupun pelabelan yang lain seperti autis, jenius, debil, anak emas, dlsb, sebenarnya semuanya berasal dari sistem kolektif yang berlaku saat ini. Sistem kolektif seperti apa? Ya itu, sistem yang sesungguhnya telah saya jelaskan panjang lebar di beberapa paragraf sebelum ini. Sistem yang memproduksi dualitas kelekatan pada konsep-konsep. Ketidaklekatan maupun kelekatan seperti yang telah kita bahas sama-sama menuju keterpecahan diri. Usaha untuk lepas maupun tidak berusaha untuk lepas sambil menunggu kesadaran datang tetap saja secara implisit mensyaratkan komitmen yang lagi-lagi menyiratkan ketidaksesuaian dengan keinginan (tarik-menarik/keterpecahan diri juga). Melakukan gabungan kedua hal itupun hanya akan menghasilkan gelombang/dualitas kehidupan yang sangat kita kenali. Bahkan spiritualitas akhirnya hanya merupakan hikmah dari kenangan masa lalu. Apakah itu berarti tugas kita yang tersisa hanyalah menjalani saja? Rahasianya sebenarnya terletak pada masa kecil kita (seperti sebagian yang telah diuraikan pada beberapa paragraf awal). Munculnya pelabelan sesungguhnya merupakan refleksi dari harapan-harapan semu kita akan kesempurnaan. Yang mana kesempurnaan yang dimaksud sama-sekali tidak menggambarkan gelombang/dualitas kehidupan. Tetap akan ada pelabelan seperti indigo, jenius, pintar, cerdas, baik, bodoh, labil, debil, autis, pas-pasan, dlsb, yang semuanya mau menggambarkan seluruh usaha kita untuk mencapai kesempurnaan. Kita rame-rame mengagumi kecerdasan, kejeniusan, keindigoan, keemasan, hanya karena kita sangat-sangat merindukan kesempurnaan. Saya rasa akan masih sangat sulit bagi sebagian besar balita yang bisa menghindari pelabelan tersebut dan dengan demikian bisa menghindari pula luka akibat terlalu lekat dengan label-label yang selalu menarik-narik atau memecah-mecahkan dirinya. Kalau masih ada dari anda yang penasaran dimana sih posisi yang ingin diisi oleh kompatiologi. Maka saya akan langsung mengatakan, di sinilah salah satunya kompatiologi akan bekerja (tentu masih ada bidang-bidang yang lain). Bersama Vincent dan juga orang-orang lain yang telah menyadari keterpecahan dirinya dan ingin menyelidiki dari nol (bukan dari acuan konsep tertentu).

Mari kita lanjutkan penyelidikannya. Setelah kita mengetahui keadaan yang serba mengambang seperti ini. Tentu pilihan yang tersisa hanyalah tinggal menjalani kehidupan apa-adanya saja. Bukan begitu? Namun kalau begini, jebakan status quo telah menganga lebar. Karena apa yang disebut sebagai menjalani apa-adanya hanyalah kata lain dari tetap menjalani hidup dengan metoda dan konsep yang dulu, alias tidak ada perubahan apapun! Dan justru di sinilah poin pentingnya! Orang jarang konsisten dengan apa yang dijalaninya hanya karena kekurangan integritas diri (alias memang karena keterpecahan dirinyalah dia mencari hal yang lebih baik, sehingga konsekuensinya dia menjadi kurang konsisten). Namun integritas diri tidak akan terbentuk kalau dirinya tertarik/tarik-menarik ke segala-arah akibat ingin membentuk jati diri/integritas diri dari suatu konsep yang sudah ada. Jadi, bukanlah pasrah yang saya sarankan. Karena pasrah masihlah merupakan reaksi pasif, yang berarti masih melekat pada konsep (yaitu konsep pasrah). Melainkan berkomunikasi empati dengan alam semesta. Empati di sini artinya sama-dengan. Komunikasi empati adalah komunikasi ‘sama-dengan’. Jadi berkomunikasi empati dengan alam semesta (semesta ini juga berarti dengan sesama manusia juga), berarti terhubung (komunikasi) ‘sama-dengan’ atas alam semesta. Mari kita coba terapkan definisi di atas dengan suatu contoh kasus.

Diri yang terpecah, berarti logisnya diri kita tersebar dimana-mana di alam semesta.

Mari kita selidiki satu-persatu apa yang sesungguhnya terjadi:         
                           
Pertama. Menyatukan diri terlihat seperti perbuatan sia-sia, karena selalu ada tarikan kepentingan dan keinginan dari dalam diri kita sendiri, alias selalu timbul aksi-reaksi yang memang alami dan memang merupakan hukum alam.

Kedua. Diri yang terpecah bila disadari sesungguhnya adalah akibat dari peristiwa-peristiwa yang terpisah dalam lingkup ruang-waktu kehidupan diri kita.

Ketiga. Sebaran pecahan diri kita banyak yang tersimpan di memori masa lalu, dan banyak juga yang merupakan bentuk kekhawatiran akan masa depan.

Keempat. Usaha yang kita lakukan tanpa kita sadari juga ikut andil memperbanyak pecahan diri kita (atau usaha memperbanyak tekanan dan tarikan kepentingan/keinginan yang kita rasakan).

Kelima. Pecahan diri itu memang nyata ada karena kita membutuhkannya untuk ekspresi dan pelabelan diri juga alam semesta. Dan kecenderungannya bukan semakin sedikit melainkan semakin banyak seiring dengan usaha yang kita lakukan di bumi ini dan seiring dengan penuaan diri kita (sehingga makin banyak pengalaman yang kita miliki, makin banyak kesempatan peristiwa-peristiwa yang dapat memecah-mecah diri kita).

Lima poin tersebut dapat disimpulkan bahwa pecahan diri kita tersebar di segala peristiwa dalam lingkup ruang waktu alam semesta. Singkatnya, pecahan diri kita tersebar di alam semesta. Komunikasi empati diri kita dengan alam semesta adalah hubungan diri kita yang ‘kita sama-dengankan’ dengan alam semesta. Dengan ‘menyama-dengankan’ kita tidak berusaha mengambil pecahan diri kita melainkan memetakan (secara harafiah) diri kita terhadap pecahan diri kita di ruang waktu alam semesta. Jadi ilustrasi mudahnya adalah seolah-olah kita memiliki peta yang menunjukkan dimana letak semua pecahan diri kita di alam semesta. Lalu kita tidak mengambil pecahan-pecahan tersebut, melainkan menyamadengankannya konsep diri kita dengan pecahan yang nyata berada di alam semesta. Inilah komunikasi empati sesungguhnya dengan alam semesta. Inilah juga berarti mirip dikatakan sebagai pembesaran ego/diri sebesar pecahan ego/diri yang mencakup alam semesta. Sederhananya, semakin kita bisa memetakan secara lebih lengkap, maka kita tinggal memperbesar diri/ego kita sebesar luasan alam semesta yang dicakup oleh pecahan-pecahan ego/diri tersebut. Terdengar rumit? Saya akan mencoba memberikan contoh yang sangat sederhana di bawah ini.

Tentu hampir setiap diri kita pernah mengalami insomnia. Masalah sulit tidur sering-kali dicoba di atasi dengan teknik-teknik menyibukkan, menghipnotis, mengalihkan diri, dlsb. Namun jikapun teknik-teknik itu memang berhasil, apa sih yang sesungguhnya terjadi? Saya akan bahas dalam sudut pandang keterpecahan diri.

Jelas sekali, dalam fenomena susah tidur, terjadi perpecahan diri antara kubu yang ingin tidur segera dengan kubu yang masih ingin aktif/stress. Biasanya diusahakan kubu yang masih aktif untuk dialihkan, ditekan, diabaikan, dlsb, sampai kesadaran kita terjatuh dan tertidur, dan saat itu boleh dianggap kubu yang menginginkan aktif telah kalah dan lenyap, yang tertinggal hanyalah kubu yang ingin tidur segera. Namun bagaimana bila teknik-teknik itu tidak berhasil? Atau takut kalau bisa menyebabkan ketergantungan fisik maupun mental terhadap teknik atau obat-obatan tertentu? Maka, ketika itu saya melakukan percobaan kecil. Saat saya susah tidur, saya sengaja berdamai dengan kedua kubu saya. Bukan pasrah. Karena kalau pasrah berarti saya terikat dengan konsep. Yang artinya saya malah menciptakan satu kubu lagi, yaitu kubu pasrah yang berharap dengan pasrah bisa tertidur. Ingat, saya tidak berusaha untuk tidur. Setelah saya juga melepaskan pasrah, kemudian saya membiarkan diri saya terjatuh kesadarannya, lalu aktif kembali, lalu terjatuh lagi, bolak-balik. Saya akui diri saya pecah dengan segera. Dan menerimanya sebagai kenyataan susah tidur. Apa yang terjadi? Saya memang bolak-balik susah tidur hampir selama 3,5 jam. Gelisah bukan main. Tapi tetap saya terapkan dengan sabar kesadaran berkomunikasi empati (pemetaan) saya dan menerimanya seolah-olah diri saya ya mencakup pecahan diri saya juga. Saya melayani pikiran-pikiran liar saya sekaligus rasa kantuk saya. Akibatnya malah agak aneh. Saya dapat menyadari saat-saat mau masuk ke alam mimpi hampir dalam keadaan belum tidur. Dan lama-kelamaan, saya merasa saya dapat berdamai dengan kedua kubu tersebut yang berarti saya berdamai dengan keterpecahan diri saya. Lalu saya menjadi tenang, dan senyum-senyum sendirian bahwa saya malah mendapatkan hikmah bonus yang tidak saya sangka-sangka. Yaitu hakikat disiplin. Disiplin bukanlah pemaksaan diri untuk berkomitmen atau dengan kata lain sengaja memecah diri lalu berjuang mengatasi perpecahannya. Misalnya melakukan kegiatan mendisplinkan diri dalam belajar 2 jam sehari dengan pemaksaan melawan keinginan hura-hura. Bukan seperti itu. Bukan melawan keinginan. Melainkan memetakan seluruh keinginan/perpecahan diri dan menerimanya/menyamadengankannya sebagai kenyataan. Itulah komunikasi empati. Dapat membawa serta seluruh pecahan karena telah dapat mengenal baik dan harmonis pada setiap pecahan. Bukan berusaha memaksakan menyatukan diri sehingga muncul aksi-reaksi. Disiplin menjadi sederhana. Jika saya ingin mendisiplinkan diri untuk tidur ketika insomnia. Maka yang saya lakukan hanyalah tidur bersama pecahan-pecahan diri saya bersama-sama. Itu saja. Tak ada perlawanan keinginan. Keinginan manapun dari pecahan tersebut tetap saya penuhi walaupun tema saya adalah tidur. Tentu bakal ada pertanyaan. Bagaimana kalau keinginannya berupa kegiatan fisik yang mengharuskan tidak tidur? Ya pilihan yang mudah sebenarnya. Dari hasil pemetaan, akan terlihat sendiri tubuh kita sebenarnya butuh tidur atau tidak? Jika butuh tidur, maka akan terlihat keinginan itu lebih lemah dan lebih mudah dicari alternatif pemuasannya sehingga bisa sinkron lagi dengan keinginan tidur. Jadi di sini yang paling penting adalah mendapatkan hasil pemetaan yang jujur terlebih dahulu. Selebihnya menjadi mudah untuk mengharmonisasikan (memenuhi/mentransformasikan setiap permintaan) pecahan-pecahan diri.

Jadi kesimpulannya. Diri/ego adalah kumpulan pecahan diri yang tersebar pada seluruh peristiwa dalam lingkup ruang waktu alam semesta. Berkomunikasi empati dengan alam semesta berarti dapat memetakannya dan menyamadengankannya sehingga semua pecahan yang telah diempatikan (disamadengankan) telah dikenal, diharmonisasikan dan diterima sebagai kesatuan keluarga besar diri/ego. Memang tidak mungkin hanya dengan sekali memetakan dapat mengkoordinatkan semua pecahan diri/ego. Namun, sejalan dengan waktu, semakin sedikit pecahan yang masih yatim-piatu, dan kita bakal semakin mengenal diri kita jauh lebih baik melalui pecahan yang telah kita empatikan. Bahkan dengan semakin banyaknya pecahan yang dapat kita empatikan, semakin memperbesar kemampuan kita menerima umpan-balik dan informasi dari alam-semesta mengenai diri kita, kehidupan kita dan alam semesta itu sendiri. Anda dilabelkan indigo, pintar,jenius? Tidak masalah. Jikapun terlekat dengan label itupun tetap bukan masalah. Karena anda telah menerima keterlekatan tersebut sebagai keluarga besar diri anda. Anda dilabelkan sebagai tolol, bodoh, lambat, telmi, pas-pasan? Tidak masalah juga. Kalaupun anda terlekat dengan label-label negatif tersebut, anda tidak mengaggapnya sebagai masalah. Karena justru karena telah menerima ada diri yang terpecah dan terlekati dengan pelabelan tersebut, maka anda bisa mendapatkan banyak informasi yang berharga via ekspresi/label/pecahan negatifnya. Dan anda tidak merasa seluruh diri anda menjadi negatif bukan? Karena anda telah menganggap itu hanyalah salah satu anggota keluarga pecahan diri/ego anda. Semakin anda berumur, semakin luaslah cakupan pengalaman dari pecahan-pecahan diri/ego anda. Semakinlah anda mengenal keluasan mekanisme proses alam-semesta ini melalui pecahan-pecahan diri anda. Dan bila kelihatannya ego/diri anda diserangpun, yang mana sih diserang? Setiap luka bisa menjadi pecahan diri/informasi yang berharga. Dan setiap kemenangan tidaklah memabukkan karena kelekatannya telah anda terima sebagai pecahan saja, tidak berusaha disatukan ke diri anda. Tapi perlu diketahui bahwa bukan berarti senangnya cuma terasa seperti pecahan belaka. Kalau lagi senang ya senang sepenuh-penuhnya. Mengapa bisa? Karena memang khan kesenangan itu sudah tidak dianggap sebagai faktor konflik/bahaya/tarik-menarik antar pecahan diri/ego. Jadi tidak perlu lagi sikap hati-hati yang munafik. Hanya menjalani apa yang lagi ada di pecahan diri. Lagi senang ya senang… tidak masalah. Lagi sedih ya sedih, abis itu tidak masalah. Lama-kelamaan, ayunan emosi akan semakin terkontrol karena memang sudah tidak ada lagi konflik sebagai sumber ayunan emosi. Cuma semakin mengenal diri anda dan mengenal alam-semesta melalui diri anda.

Akhirnya, semua yang saya tulis di atas cumalah konsep. Jadi tidak benar-benar mewakili apa yang saya rasakan saat ini. Saya tidak sanggup menjelaskannya sehingga menjadi seperti copy-paste kepada anda. Tidak ada yang seperti itu lho…! Anda punya pengalaman unik sendiri dan tidak akan sama seperti saya. Apa yang saya rasakan sendiripun tidak sanggup saya mencari penjelasan yang paling tepat bagi diri saya sekalipun. Ini semuanya hanyalah hasil interpretasi dari apa yang saya rasakan. Inilah permainan utama kompatiologi dengan metoda dekonstruksinya. Bermain interpretasi atas perasaan yang telah didapat.


Salam,

Adhi Purwono.

Offline vincentliong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 0
KMA : Menemukan Jati Diri
« Reply #6 on: 02 July 2008, 01:54:05 PM »
Serial Kitab Masuk Angin
KMA : Menemukan Jati Diri

Teman-teman, banyak dari diri kita yang merasa belum menemukan jati dirinya yang sesungguhnya. Banyak pula yang masih ngotot mengejar untuk menemukan jati dirinya. Banyak juga yang sudah merasa diri mapan, tapi anehnya merasa kosong dan hampa dalam dirinya. Banyak lagi yang tidak mengerti, cuek, pasrah akan apa kata orang tentang dirinya, bagaimana dirinya harus bersikap, berusaha terus menyenangkan orang lain, dan lain sebagainya. Maka dari itu saya pun penasaran dengan tema pencarian jati diri ini. Saya pun masih merasa berubah-ubah. Atau… apakah nanti ada suatu ‘rasa’ diri yang benar-benar merupakan ‘jati’ dari diri kita? Atau memang kita tidak terbuat dari ‘jati’? Mari kita setidaknya meniti kembali bersama-sama suatu pencarian, suatu kemapanan (?) yang disebut sebagai JATI DIRI ini.

Selalu kita terperangah ketika sudah saatnya tangan kehidupan kembali menelusup zona kenyamanan kita. Mengganti karir pekerjaan, mendefinisikan kembali hubungan kita dengan orang yang kita cintai, memutar arah menuju kawasan yang benar-benar tidak kita ketahui, dan segala hal lain yang sanggup menohok kita kembali ke dasar pemikiran. Kembali ke dasar perasaan. Kembali bertanya-tanya. Tantangannya selalu sama. Memperkuat benteng pertahanan tentang konsep diri kita yang telah kita bangun dengan susah payah, atau merubuhkannya sekali lagi. Namun sering kali kita mudah tertipu oleh kehidupan. Kita sesungguhnya telah berubah sekaligus terluka, bukan menjadi apa yang kita inginkan, melainkan apa yang EFISIEN menurut kehidupan. Drama bikinan manusia di kehidupan ini boleh memiliki skenario yang itu-itu saja. Namun diri kita hampir tanpa kita sadari telah mengikuti efisiensi kehidupan. Kehidupan yang apa adanya. Kehidupan alami.

Sewaktu-waktu dalam sesaat kita pasti pernah bertanya-tanya, apa yang terjadi padaku selanjutnya? Bisakah aku terus memiliki pola kehidupanku seperti saat ini? Bisakah aku bertahan? Bagaimana kalau aku tidak mampu? Apakah aku telah menjadi pecundang dalam hidup ini? Pertanyaan sesaat ini selalu mengendap-ngendap. Menemani dengan setianya. Pertanyaan ini berdiam ketika diri kita sedang bahagia, dan bergejolak ketika diri kita sedang goyah-goyahnya. Pertanyaan sesungguhnya yang ingin selalu kita ungkapkan adalah, apakah kehidupanku masih akan selalu bisa terkontrol? Petualangan macam apa yang bakal menantiku selanjutnya? Tantangan seperti apakah? Apakah aku masih perlu belajar untuk secara menyakitkan (?) mengubah jati diriku? Seturut orang lainkah? Seturut tangan Tuhan/alam/kehidupan yang tak terlihatkah?

Pertanyaan tinggallah pertanyaan. Namun kita tetap akan nanar melihat masa depan yang masih ada yang belum terbentuk. Bahkan ada yang belum terpikirkan. Bagi yang berusia lanjut, kehidupan (?) setelah kematianlah yang merupakan masa depan yang belum terbentuk. Bagi yang masih berusia muda, puluhan tahun ke depan masihlah merupakan masa depan yang samar-samar, jika tidak mau dikatakan sebagai tak berbentuk.

Seringkali aku terbesit rasa kagum melihat orang-orang yang sudah cukup lanjut usianya (atau yang berusia jauh di atasku). Aku kagum juga melihat ibuku sendiri. Mereka telah menjalani kehidupan yang paling tidak dua kali lipat lebih lama daripada diriku. Entah berapa kali pada akhirnya jati diri mereka harus disesuaikan kembali (mungkin sekali sudah pernah bongkar pasang kembali). Membuat aku berpikir. Apakah jati diri merupakan kumpulan pengalaman yang mengerak yang kemudian memperkuat persepsi tentang dirinya?

Sebuah getaran yang terasa menetap. Sebuah ayunan emosi yang tak bisa lagi terlalu berayun seperti dulu. Sebuah kebosanan yang telah dipancangkan untuk bisa memahami penderitaan hidup. Sealunan ayunan suara merdu yang selalu membawa ke masa lalu. Itukah jati diri? Ataukah, sebungkah harapan akan impian yang tak muluk-muluk amat. Sebuah ambisi yang menyehatkan badan. Suatu nasihat yang menetap untuk menerjang tantangan hidup. Setapak langkah yang diiringi senyum pasti dan kesiapan hati untuk kembali teriris. Dan seonggok sinar semangat yang masih tersisa untuk bangkit kembali?

Rasa takut yang tergetarkan oleh rasa cinta akan kehidupan, membuat orang-orang terus bergerak bagaikan lebah meneteskan madu-madu hikmat. Sepengamatan saya, jati diri terus akan bergetar. Terus juga akan oleng, kemudian balik kembali. Seolah-olah terbuat dari kapal yang tak akan pernah tenggelam. Tapi ini adalah asumsi….Kapal yang tak pernah tenggelam adalah sebuah khayalan. Nyatanya kita pernah tenggelam. Setidaknya sekali.

Ketika kita tenggelam. Ketika kita menemui perasaan kita yang paling sentimentil. Ketika kita sudah merasa paling dasar, namun ternyata masih terus meluncur ke bawah. Ketika ledakan tangis dan tawa menjadi satu memudarkan dan membongkar topeng-topeng peran/diri kita. Ketika itulah kita dapat merasakan kembali pelukan dari alam. Yang hangat. Dari bumi yang selalu setia mendengarkan keluh-kesah kita. Kita kembali mencium tanah tempat kita berasal. Merasakan degup jantung yang detakannya seirama dengan denyut tanah. Denyut bumi. Kita merasa terlindungi. Mendapatkan tempat untuk bersandar. Merebahkan diri. Bahkan merelakan jati diri kita, apapun itu…apapun.

Kenikmatan berpelukan dengan bumi menjadi suatu kejelasan kesadaran. Suatu penglihatan. Suatu MOMEN. Saat terindah yang bukan picisan. Saat terdiam. Saat tersuci. Saat kita dicuci hati kita, menuju kehangatan kasih yang tak terkira. Rasa takut telah bersekutu dengan rasa cinta, walaupun rapuh, kita mulai bergerak. NAMUN, di sinilah titik kritisnya. Simpul yang akan membawa kepada pilihan. Menuju ke simpul mati kah? Atau simpul yang terus bergerak tak menjuntrung?

Lagi-lagi kita dihadapkan pada pilihan. Hidup adalah pilihan. Benar? Salahkah? Hidup adalah spontanitas? Saat kita jatuh adalah saat kita menjelas. Saat itu terasa tiada pilihan. Hanya ada gerakan. Tidak begitu spontan, masih memilih tapi jelas tidak hanya berhenti pada kesadaran pada pilihan. Bahkan kesadaran akan adanya pilihan tak perlu ada. Kita memilih titik. Kemudian jalan.

Itu saat kita jatuh. Lalu kehidupan bagi kita berangsur-angsur berjalan normal kembali. Pelan-pelan kita mulai mencari-cari posisi kenormalan diri kita. Tentu kita tidak mau terus berkubang dalam persentimentilan (perasaan sentimentil). Oleh karena itulah kita mulai memasang titik referensi dimana saat kita masih merasa normal sebelum kita jatuh. Nah, kita kemudian akan berusaha terus ke arah titik referensi tersebut -- yang bisa berupa kenangan saat kita santai, rileks menghadapi tantangan, atau pada saat ambisius, dlsb, yang tentu bisa dijadikan titik perasaan normal, bila dibandingkan dengan perasaan saat jatuh, yaitu depresi, sedih berkepanjangan, uring-uringan, gampang marah, dlsb -- .

Normal – bangun – mengejar mimpi – terjatuh – bangkit – mencari titik normal – merasa normal – bangun lagi – mengejar mimpi -- dst. Ini adalah sebuah siklus alami kehidupan manusia di bumi ini. Dan pencarian jati diri kita terletak pada posisi siklus – mencari titik normal -- . Tentu tidak harus seperti siklus di atas. Namun perlu disadari terkadang yang kita cari sebagai jati diri sebenarnya adalah rasa kenormalan diri kita. Normal mengindikasikan rasa terbiasa pada diri kita. Hal apa yang membuat diri kita terasa paling nyaman? Bisa dikatakan, hal-hal tersebutlah yang merupakan kulit dari konsep-konsep kita mengenai jati diri kita. Tentu saja, kalau kita hanya mendefiniskan jati diri kita terhadap hal-hal materi di luar diri kita, maka kita akan mendapatkan konsep-konsep jati diri kita yang terlihat kaku, yang dapat membuat kita merasa bertanya-tanya karena mungkin kita akan cepat bosan dengan pengkaitan atau pelabel-labelannya. Tentu kita tidak akan pernah rela didefinisikan seperti sebuah konsep mati. Tentu kita selalu berusaha agar jangan sampai diri kita mudah ditebak. Namun anehnya, kita menginginkan diri kita mudah ditebak/diperkirakan oleh kita sendiri. Kita ingin terbiasa dengan diri kita yang kemudian hanya merupakan taktik kita belaka supaya bisa TERBIASA dengan kehidupan.

“Apa agama anda? Islam. Terus agama anda yang satu lagi? ka****k. Lho kok bisa punya dua agama?” Kita mulai protes kepada orang ini yang mengaku mengimani dua agama sekaligus. Tentu terasa aneh kalau ada orang yang mengaku mengimani lebih dari satu agama. Namun mulai terasa lain halnya kalau pertanyaannya diubah sedikit. “Apakah jati diri anda? Islam. Islam? Benarkah jati diri anda Islam?” Kita akan mulai ragu. Dalam hati kecil kita tetap terasa diri kita tak akan rela didefinisikan bahkan dengan label agama sekalipun. “Oh anda Islam garis keras toh…!” Apalagi pernyataan ini, pada umumnya kita akan segera marah…!

Oleh karena itulah hampir semua orang tidak suka bila dirinya dihakimi, dinilai, distereotipkan, digeneralisirkan atau disamaratakan/dikelompok-kelompokkan. “Aku ya aku”, itulah motto diri kita semua. Kita selalu merasa diri kita unik. Tidak ada duanya. Tanpa kita sadari, sesuai dengan sifat kehidupan yang memang berubah-ubah, kitapun sebenarnya tidak ingin konsep diri kita menetap selamanya. Hanya saja, tetap saja ada yang terasa aneh. Kita tetap sering terasa belum menemukan jati diri kita sesungguhnya. Kita selalu merasa seluruh potensi kita akibatnya belum tergarap dengan optimal karena belum menemukan jati diri yang sesungguhnya. Dengan kata lain, mungkin sebenarnya kita telah menunggu godot hanya untuk mengantarkan kita pada tanda tanya lain mengenai jati diri kita. Umur kita bakalan keburu habis hanya untuk memburu jati diri. Layakkah?

Lagi-lagi pertanyaan bukan? Lalu bisa dihentikankah pertanyaan-pertanyaan sejenis seperti ini? Bisakah kita hanya kemudian mengklaim saja, jati diri tak usah capek-capek ditemukan, toh sesungguhnya tak perlu dicari, hanya perlu menghayati kehidupan ini…? Menghayati kehidupan. Hanya berjalan. Langkahkan kakimu. Rengkuh seluruh ayunan perasaanmu. Raih pendewasaanmu secepatnya. Jangan tunda apapun, jika memang penundaan terasa seperti kesia-siaan. Dan jangan berjalan buta jika diam adalah langkah yang paling efektif dan efisien. Lalu selamat datang ketidakpastian. VOID.

Ketika rencana pudar menjadi langkah yang melebar kesana-kemari. Ketika hidup tidak mengenal kata ketidakefisienan. Ketika jati diri hanya terasa (terasa….*tenggg) seperti dengung lebah yang menghangat di hati. Dan ketika pikiran tidak bisa diajak berlogika. Emosi bahkan tidak bisa diajak bersentimentil ria. Nyerah? Pasrah? Bukan…. Bukan menyerahkan kontrol diri kita. Hanya merengkuh kembali. Segalanya yang sudah ada di dalam diri kita yang juga tercakup segala yang di luar diri kita. Bahkan, jati diri pun tidak bisa diikat dengan kata label, ‘dalam diri’. Jati diri (jikapun merupakan konsep), ada di dalam diri sekaligus di luar diri (tentu ini masih dalam tataran konsep). Jika kita mau keluar dari tataran konsep (sesungguhnya masih konsep juga)…., jati diri adalah sesuatu yang kita perkenankan masuk dan kita perkenankan keluar (dengan ‘sesuatu’ bisa apa saja, tidak dikonsepkan secara kaku). Semakin lancar aliran ‘sesuatu’ yang masuk dan keluar dalam diri kita, semakin berdesinglah diri kita seturut denyut kehidupan di bumi ini. Semakin mandeg aliran tersebut, semakin banyak pula makna yang kita dapatkan untuk kemudian menjadi harta kenangan setelah dilepaskan (setelah berdesing kembali). Jadi, lancar maupun mandeg sekali lagi merupakan siklus alami dari berdesing (mengalami), kemudian memaknai pengalaman tersebut sesuai dengan keinginan kita sebagai manusia, yaitu pemaknaan kehidupan di bumi.

Bisa disimpulkan, yang merupakan ‘jati’ pada diri kita adalah fungsi pemaknaan dari kehidupan diri kita. Fungsi pemaknaan bukanlah makna itu sendiri. Itulah mengapa wajar sekali kita selalu (seperti ada siklusnya) merasa bisa kehilangan jati diri. Kita mencari makna dari dalam diri kita (karena kita mengira menemukan jati diri samadengan menemukan pemaknaan hidup kita). Padahal makna diciptakan dari dalam diri kita, bukan ditemukan! Tentu ini bukanlah saran supaya kita mempunyai jati diri yang lentur sekali. Tentu bukan itu. Jati diri yang terasa terlalu lentur bahkan bisa kehilangan sebagian besar daya fungsi pemaknaannya. Buat apa terlalu mengalir bersama kehidupan jikalau nanti cuma terasa kehidupan berjalan terlalu cepat bagi diri kita. Namun tidak perlu pula ngotot berdiam diri untuk terus mengunyah makna-makna yang sudah terlalu usang dan menjadi lengket sehingga malah kehilangan kesempatan berharga untuk mendapatkan kekayaan pemaknaan yang sangat beranekaragam yang ditawarkan oleh kehidupan ini. Lebih baik kita tertatih-tatih belajar berjalan bersama denyut langkah kehidupan ini, sambil mendapatkan momen-makna yang dapat membuat jiwa-jiwa kita berekspresi riang.

Jadi… selamat mengumpulkan momen-makna anda. Sadari anda memiliki ‘jati’ diri anda, sehingga anda dapat belajar menggunakannya. Tak perlu berusaha menemukan jati diri anda. Anda akan tahu sendiri mana yang terasa sebagai jati diri anda, karena ‘jati’ selalu melambangkan kualitas anda sebagai manusia (karena menjadi manusia adalah hal yang paling berharga di kehidupan ini). Jadi, jika anda sudah mengetahui betapa tak ternilainya anda sebagai manusia (dan memang hampir seluruh manusia di bumi ini memandang dirinya sangat tinggi), tentu anda sudah mengetahui itu merupakan ‘jati’ diri anda bukan?

Salam,
Adhi Purwono.
Ciledug, 2 Mei 2007

Offline vincentliong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 0
KMA : Dunia Per Konteks
« Reply #7 on: 02 July 2008, 01:57:41 PM »
Serial Tulisan Kitab Masuk Angin
KMA : Dunia Per Konteks
 
Suatu saat, saya merasa penasaran dengan suatu pemikiran. Apakah benar seorang yang melakukan bom bunuh diri karena fanatik dengan agamanya tidak dapat melihat apa yang telah diperbuatnya adalah sebuah kesalahan fatal? Kebenaran seperti apakah yang dirasakan olehnya sehingga perbuatan membunuh orang lainpun dapat dilakukannya tanpa rasa bersalah sedikitpun? Apakah benar kalau orang sudah fanatik dengan agamanya maka sanggup menyakiti orang lain yang tidak seiman dengannya? Hal-hal inilah ketika itu masih menjadi misteri bagi saya. Mengapa di dunia ini ada orang-orang yang rela (?) berperan sebagai tokoh antagonis? Ketika perang atau pertengkaran atau konflik terjadi terjadi, siapakah sesungguhnya yang rela dinilai sebagai yang berperan antagonis? Saya yakin masing-masing pihak merasa dirinya yang paling benar. Dan pihak lainnya yang pasti salah. Kecuali ada kepentingan lain yang dapat melahirkan kompromi, maka saling salah-menyalahkan sulit sekali dihindari dalam perang maupun dalam konflik biasa.
 
Oleh karena itu, saat itu saya berniat melakukan sebuah percobaan kecil. Sebelum saya mengatakan percobaan apakah itu, perlu untuk diketahui bahwa latar belakang saya adalah beragama ka****k. Namun saat ini (sampai saat ini pun), saya tidak terikat dengan agama manapun. Saya juga tidak terikat dengan keimanan akan Tuhan (yang artinya boleh menganggap saya percaya atau tidak percaya dengan adanya Tuhan). Tapi tidak pula atheis karena saya masih dapat menikmati kegiatan keagamaan seperti berdoa kepada Tuhan. Mengikuti misa (walaupun tidak ada yang dapat saya imani benar-benar), dlsb. Nah dengan latar belakang seperti ini, sayapun melakukan sebuah percobaan kecil. Saya mencoba mengikuti kegiatan retret Seminar Hidup Baru Dalam Roh (retret khas gaya ka****k Karismatik), dimana saya yakin orang-orang yang mengikuti retret ini (paling tidak panitianya) biasa saya golongkan kedalam orang-orang yang cukup fanatik terhadap agamanya (tentu dalam arti yang positif). Tujuan saya mengikuti retret ini supaya saya dapat mengetahui dari dalam bagaimana karakteristik orang-orang yang sangat tergantung dengan keimanannya (atau fanatik atau alim atau aktivis gereja, dlsb). Dan saya juga telah berkomitmen untuk mengikuti semua acara dengan sangat sungguh-sungguh, yang artinya, kalaupun ketika itu saya diharuskan mengimani Tuhan, maka itu akan saya lakukan tanpa banyak pertimbangan macam-macam. Kemudian, benar juga, saya ketika itu sanggup mengikuti dengan hati penuh semua mata acara. Sampai-sampai saya bisa berbahasa roh. Sampai-sampai saya mau menerima lagi sakramen pertobatan (sakramen yang lama telah saya tidak terima setidaknya selama 10 tahun lebih). Sampai-sampai pula saya ikutan terjatuh ketika sedang didoakan dalam bahasa roh (gambaran bagi umat muslim mengenai kegiatan ini, dalam Islam kalau gak salah mirip dengan kegiatan ruqyah…maaf kalau salah). Tapi saya tetap menyadari ada sebuah jurang perbedaan besar antara diri saya saat ini dengan diri saya yang masih ka****k ting-ting dulunya (setidaknya sampai saat saya mulai kuliah). Mungkin dengan keadaan yang dulu, saya malah takut didoakan dalam bahasa roh (kelihatan ekstrim bagi saya), takut untuk bertobat (karena dosanya makin gak enak untuk diakui), apalagi sampai bisa berbahasa roh (mirip dengan komat-kamit tidak karuan, malu khan…?). Tapi saat ini, saya sanggup melakukan semuanya tanpa ada rasa bersalah, pura-pura, malu ataupun ketakutan. Namun tetap saja ada perbedaan besar. Dan saya harus mengakui diri saya tidak berubah menjadi mengimani ka****k 100 persen.
 
Jadi manfaat apa yang akhirnya saya dapatkan dari retret/percobaan tersebut? Manfaat yang saya rasakan adalah perubahan cara pandang saya terhadap orang-orang yang saya anggap fanatik. Inilah manfaat yang paling saya rasakan. Manfaat yang ke dua mungkin saya lebih bisa lagi menikmati kegiatan keagamaan tanpa diembel-embeli dengan keluhan-keluhan seperti konsep iman yang saya bodoh-bodohi-lah, pastornya yang saya anggap kurang cerahlah, konsep dosa yang saya anggap merendahkan manusialah, dlsb. Sekarang saya nikmati saja misa, doa, ibadah saya tanpa peduli pada hal-hal seperti itu lagi. Karena apa, karena saya sudah mendapatkan pelajaran yang paling penting dari percobaan saya tersebut, yaitu, masing-masing dapat dimaklumi konteksnya. Dunia per orang adalah per konteks. Artinya, misalnya saja jika kita berada pada sol sepatunya orang yang mau melakukan bom bunuh diri, dijamin kita dapat memaklumi mengapa orang itu melakukan demikian. Lebih ekstrim lagi, kalau misalnya dirinya adalah diri saya, berikut dengan latar belakangnya, maka tindakan saya pun saya rasa tidak jauh berbeda dengan tindakan orang tersebut. Saya akan tega melakukan bom bunuh diri dengan resiko orang yang tidak bersalah terbunuh. Jadi saat ini saya dapat memaklumi apa yang telah dilakukan oleh Amrozi misalnya. Ingat, saya memakluminya, tidak hanya berempati atau bersimpati. Terlepas bahwa perbuatannya memang berakibat buruk bagi kita semua.
 
Darimana saya bisa mengambil pelajaran/kesimpulan seperti ini? Ini semua berasal dari tumbuhnya kemampuan saya untuk dapat memetakan sekaligus merasakan sendiri hasil dari pemetaan tersebut. Dengan kata lain saya tidak menciptakan perbandingan pemetaan lagi (yaitu misalnya iman saya begini kok dia begitu, kok pasturnya begini, begitu, kok gereja tidak peduli dengan konsep yang salah kaprah, dlsb). Melainkan menikmati hasil pemetaan saya sendiri yang sudah pasti cocok (dan dapat saya nikmati) karena telah sesuai dengan karakteristik diri saya sendiri. Jadi, ketika saya mengikuti retret tersebut, saya bisa tidak mengeluh lagi karena tidak lagi membuat bahan perbandingan seperti biasanya, melainkan mengikuti semua acara dengan cara atau gaya saya sendiri. Inilah yang saya sebut sebagai menikmati dengan konteks saya sendiri. Menikmati dengan kesesuaian latar belakang saya sendiri. Inilah yang menurut saya menjadi titik pangkal permasalahan mengapa orang sulit beradaptasi dengan keadaan. Yang menurut saya, kebanyakan karena mereka tidak dapat menikmati/menjalaninya sesuai dengan konteksnya sendiri (atau merasakan hasil pemetaannya sendiri).
 
Lalu seperti apa sih pemetaan yang telah saya lakukan terhadap acara retret tersebut? Mudah saja sebenarnya. Saya melihat diri saya memang mempunyai kebutuhan untuk bersekutu/berjemaat. Di sini yang saya maksud dengan berjemaat adalah berbagi rasa. Dan biasanya tempat ibadah atau kegiatan keagamaan adalah kondisi yang paling kondusif bagi kita semua untuk berkumpul dan saling membukakan diri, saling menyembuhkan diri, saling menguatkan diri. Tidak peduli itu melalui iman dengan Tuhan, ataupun tidak, ataupun hanya pengen kumpul dan senang-senang belaka. Ataupun hanya kewajiban saja. Terlepas dari semua itu, bagi saya kebutuhan untuk merasa senasib dan sepenanggungan dalam menjalani hidup dan merasakan beban hidup itulah yang terpenting bagi saya.
 
Nah, seperti itulah hasil pemetaan saya terhadap acara retret tersebut. Dan dari hasil pemetaan itu, saya menjadi sadar kesia-siaan mempertanyakan keadaan ataupun mempertanyakan iman orang lain. Karena apa? Karena ternyata kebutuhan saya tidak jauh beda dengan kebutuhan mereka, per konteks masing-masing. Artinya, jika saya diletakkan pada posisi/konteks orang lain, maka bisa dijamin model keimanan saya akan mirip dengan model keimanan yang orang itu miliki. Tingkah laku sayapun akan menjadi mirip. Bahkan bila saya menoleh diri saya kebelakang, dulupun saya juga menjalani seperti mereka juga. Alias jika saya pernah menjalaninya, maka jalan saat ini yang saya tempuh tidak terlepas/masih menyambung dari jalan yang dulu pernah saya tempuh. Menyangkal bahwa saya tidak pernah berjalan di jalan yang dulu tersebut sama-saja seperti kacang lupa kulit, atau sama-saja saya tidak menghargai usaha yang telah saya lakukan sendiri. Lagipula kalau dipikir-pikir, per konteksnya setiap orang memiliki agenda uniknya masing-masing. Alias jalan yang saat ini sedang saya tempuh tidaklah lebih tinggi atau lebih rendah dari jalannya orang lain. Itu sangat tergantung dari agenda dan tujuan unik masing-masing individu atau masing-masing konteksnya. Mungkin bagi orang-orang yang saya anggap fanatik itu, bagi mereka (misalnya Amrozi), mereka telah berjalan cukup jauh (dalam hal spiritual) menurut agenda mereka tersebut. Inilah yang saya maksud dengan memiliki agenda yang unik. Inilah yang saya maksud dengan per konteks.
 
Jadi, pertama kali yang perlu kita lakukan agar kita dapat menikmati kegiatan apapun dalam hidup ini adalah menyadari tak ada sesuatu apapun yang di luar konteks diri kita. Cara kita memandang hidup, melihat, mendengar, berpikir semua ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh latar belakang diri kita. Menerima atau mengerti tentang diri kita sendiri bisa dimulai dari menyadari bahwa kita hanya memiliki satu kumpulan konteks, yaitu sejarah kehidupan diri kita sendiri. Kita tidak mungkin memiliki sejarah kehidupan orang lain. Setiap manusia mempunyai sejarah hidup yang unik. Sehingga pemetaan yang baik seharusnya merupakan pemetaan yang menyatu dengan diri kita. Dengan kata lain, apapun permasalahan yang kita hadapi, sesungguhnya selalu kita jalani dengan cara unik kita sendiri. Sesuai dengan konteks diri kita sendiri. Seringkali banyaknya pertimbangan berasal dari ketakutan kita sendiri akan ketidakmampuan menjalani/menjawab permasalahan berdasarkan standar yang telah ditetapkan (yang tentu saja seringkali standar tersebut bukan kita yang bikin melainkan orang lain). Padahal pengalaman hidup sering mengajarkan kepada kita ternyata kecemasan kita banyak sekali yang tidak terbukti benar. Ternyata hal-hal yang kita takutkan sering kali tidak terjadi. Ini semua berlaku pada apapun masalah yang akan kita hadapi, apapun kegiatan yang akan kita jalankan, apapun itu. Karena saat menjalaninya selalu ternyata kita jalankan sesuai dengan konteks kita sendiri (atau biasa dikatakan, sesuai dengan kemampuan diri kita sendiri). Cara kita menentukan kontekslah (apakah dalam konteks riang? Bete? Sedih? Marah? Frustasi?) yang menentukan bagaimana kita mendapatkan solusi yang memuaskan/menikmati kegiatan tersebut. Banyak konteks yang bisa kita ciptakan sendiri. Banyak pilihan konteks. Namun itu semua selalu kembali lagi kepada diri kita. Kepada konteks utama, yaitu latar belakang sejarah hidup kita yang seutuhnya. Inilah mesin yang memberikan kecenderungan-kecenderungan dalam menciptakan maupun memilih konteks. Jika kita selalu berpikir untuk mengikuti standar orang lain, untuk meniru sejarah orang lain, untuk menjadi orang lain, maka kita sudah tahu konfliknya terjadi dimana. Konflik terjadi pada diri sendiri yang kebingungan bagaimana cara meniru atau mengikuti standar orang lain dan akhirnya hanya untuk mendapati perasaan dirinya bukan dirinya sesungguhnya. Inilah pangkal dari perasaan kesepian. Inilah pangkal dari kehilangan integritas atau jati diri. 
 

Offline vincentliong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 0
KMA : Dunia Per Konteks (lanjutan)
« Reply #8 on: 02 July 2008, 01:58:18 PM »
Hal yang paling mudah untuk dapat melihat bagaimana cara mengerti/memahami orang lain yang benar-benar bertolak-belakang cara pandangnya dengan diri kita (misalnya terhadap orang-orang yang dianggap fanatik atau teroris atau penjahat atau koruptor, dlsb), adalah lihat saja pada orang-orang yang lagi jatuh cinta. Atau mengingat-ingat kembali saat kita sendiri sedang jatuh cinta, atau bagi yang sedang jatuh cinta, keheranan anda sendiri terhadap orang-orang yang tidak mempunyai semangat hidup. Pokoknya segala sesuatu yang berkaitan dengan cinta, terutama cinta lawan jenis. Ketika kita melihat orang lain sedang mabuk cinta, maka bagi kita semua yang pernah jatuh cinta akan mengerti cara pandang orang tersebut akan sangat-sangat dipengaruhi oleh kadar jatuh cintanya. Kita akan mudah memahami mengapa sepertinya orang tersebut seperti memiliki dunianya sendiri. Dan terkadang pula kita hanya tersenyum-senyum melihat teman kita yang bisa tergila-gila sama gebetannya padahal bagi kita gebetan itu biasa-biasa saja. Itulah konteks. Itulah yang terjadi pada Amrozi dkk. Mereka menurut saya telah jatuh cinta pada suatu hal (yaitu doktrin agama). Orang lain yang tidak fanatik akan sulit memahami mengapa mereka bisa sampai tergila-gila sedemikian rupa. Hal ini sama saja seperti kita tidak mengerti mengapa si Udin cinta sama Tuti misalnya. Padahal menurut kita Tuti tidak cantiknya sama-sekali, dan orangnya biasa-biasa saja. Namun kitapun mahfum dengan kondisi jatuh cintanya dia, karena kitapun pernah mengalami situasi yang serupa. Jadi bisa disadari bahwa setiap jatuh cinta itu unik. Terjadinya sesuai dengan latar belakang, pemetaan, kebutuhannya, sejarah hidupnya, keunikan per individu, per konteks, dlsb. Sehingga wajar saja kalau kita tidak bisa merasakan apa yang sedang dirasakan baik oleh orang yang jatuh cinta dengan si x ataupun yang tergila-gila/fanatik dengan agamanya. Selalu ada contoh orang yang bunuh diri karena cinta ditolak. Ataupun seseorang yang berusaha mati-matian memenuhi permintaan sang kekasih. Begitu juga dengan para fanatik agama, yang melakukan bom bunuh diri karena cinta akan agamanya. Saya dapat memahami kadar kecintaannya yang begitu mendalam sehingga mau melakukan bom bunuh diri. Orang lain sering mengatakan mereka telah tercuci otak. Dan menurut pendapat saya, begitu pula dengan kita sendiri, tercuci otak ketika kita sedang jatuh cinta pada apapun. Orang lain akan sulit memahami diri kita. Sebabnya, kita memiliki konteks yang pasti unik.
 
Kembali lagi ke cerita awal saya. Ketika selesai melakukan percobaan tersebut, saya langsung tersadar bahwa saya akhirnya bisa saja menjalani kegiatan/keadaan kehidupan manapun dengan sepenuh hati. Saya berikan sebuah contoh pada diri saya sendiri. Dalam mengikuti sakramen tobat (pertobatan), selalu dikatakan akui dosa kepada pastur dosa-dosa yang memang telah disadari sebagai dosa. Saya pada awalnya ketika retret itu berpikir tidak mungkin saya bisa mengakui dosa-dosa saya dihadapan pastur. Ada 2 alasan. Pertama, saya tidak percaya adanya dosa sekaligus berarti saya tidak percaya ada penghukuman (neraka) ataupun ganjaran (surga). Kedua, saya mempunyai konsep bahwa kesalahan hanyalah ketidakberfungsian dalam pemenuhan tujuan hidup kita saja. Sehingga bagi saya cukup bila saya sudah dapat menyadari apa kesalahan saya kemudian dapat memperbaikinya atau malahan berubah arahpun sama baiknya. Jadi bagi saya, dosa hanyalah konsep fiktif untuk menghidupkan dimensi fiktif pula yaitu dimensi surga dan neraka. Hanya itu kegunaan dosa menurut saya. Tapi saat itu saya sudah mengikuti acara retret dan sudah masuk/sesuai dengan konteks saya. Saya telah dapat menikmati nyanyiannya. Telah dapat berbahasa roh. Telah disembuhkan secara roh, dlsb (catatan, roh dalam hal ini menurut kepercayaan ka****k adalah Roh Kudus, unsur ketiga dari 3 unsur yang menjadi satu Allah). Jadi, seperti yang saya katakan, saya sudah tahu saya tidak akan dapat menerima sakramen pertobatan kalau mau tetap sesuai dengan integritas/konteks diri saya (kecuali kalau saya mulai pura-pura saja, tapi bukan ini yang saya inginkan dalam percobaan/retret tersebut). Namun entah mengapa, saya teringat lagi sebuah perkataan pastur mengenai pertobatan. Mengapa harus diakui di depan manusia (kalau di depan Allah yah memang sudah semestinya dan saya tahu alasannya). Kata pastur itu, seringkali kita sulit mengakui kesalahan kita di depan orang yang telah kita rugikan. Akibatnya seringkali hal ini meninggalkan jejak luka dari hati yang masih penasaran atau hati yang masih merindukan maaf, atau dari hati yang ingin berdamai kembali namun tidak bisa atau tidak kuat karena tidak pernah terucapkan secara fisik. Bila saja pengakuan kesalahan telah diucapkan secara fisik, maka itu akan merupakan sebuah tindakan yang akan sangat menguatkan hati, bahwa kita telah benar-benar membawa pertobatan/komitmen untuk berubah ke atas permukaan/tataran fisik. Saya melihat hal ini dan kemudian saya tersadar masih ada beberapa kesalahan saya yang saya perlu akui secara terbuka dihadapan manusia sehingga apa yang masih mengganjal dalam hati saya bisa dihilangkan/diperkuat komitmen untuk berubahnya. Ketika itu salah satu komitmen saya adalah membahagiakan ibu saya dengan menuruti buta keinginan supaya anaknya selalu mengikuti misa dengan kesungguhan hati, yang mana sudah sering sekali saya menyakiti hati ibu saya dengan sengaja di depan matanya menyepelekan misa yang saya ikuti. Mengetahui bahwa saya akan mengakui secara ucapan fisik (yang jauh lebih sulit daripada hanya mengakui dalam hati, yang mudah berubahnya), ternyata saya malah menangis tersedu-sedu. Sungguh waktu itu penyesalan dan rasa tobat untuk tidak menyakiti hati ibu saya sendiri begitu berdentam di dalam hati saya. Dan saat itulah saya melihat teman-teman saya yang juga menunggu giliran untuk menerima sakramen tobat juga sedang menangisi dosa/kesalahannya sendiri seperti saya. Ketika itulah saya mengerti merekapun sama seperti saya.  Saya merasa malu hanya bisa menilai dari kulit luarnya saja. Saya kemudian mengambil kesimpulan, apapun alatnya (apapun agamanya, ibadatnya, konsep imannya, bahkan bila fanatikpun), manusia tetaplah sama-sama manusia. Semua alat dapat digunakan menurut kebutuhannya masing-masing. Semua orang dapat menerima manfaat yang dapat menjawab permasalahannya masing-masing. Setelah menerima sakramen pertobatan, saya baru merasa baru kali ini tobat saya benar-benar mengena pada diri saya. Atau dengan kata lain mungkin saya baru tahu bagaimana cara yang baik untuk bertobat, menyesal, kemudian benar-benar berkomitmen untuk tidak mengulanginya lagi. Sudah tidak ada prasangka lagi terhadap keimanan orang lain atau prasangka terhadap lembaga agama (dalam hal ini gereja). Saya tidak peduli lagi. Saya sudah dapat melihat dan merasakan langsung apa yang dialami oleh teman-teman saya yang saya anggap fanatik tersebut. Ternyata apa yang mereka alami sama seperti yang saya alami. Hanya perbedaan konteks. Hanya perbedaan latar belakang saja. Hanya itu.
 
Mungkin ada orang yang akan terheran-heran bila saya saat ini saya sering mengatakan “terima kasih Tuhan atas retretnya dan sakramen tobatnya dan juga hidup ini…!” Saya sendiripun juga heran bisa berterimakasih seperti itu. Tetap saja secara intelektual saya tidak dapat mengakui keberadaan Tuhan karena secara integritas, atas pertanyaan adakah Tuhan, saya lebih memilih menjawab “tidak tahu!”. Walaupun demikian bagi saya saat ini saya sudah tidak peduli lagi Tuhan ada ataupun tidak. Karena ‘Tuhan’ yang ada di dalam diri saya, adalah juga ‘Tuhan’ yang ada di dalam diri anda semua. Tuhan sengaja saya masukkan dalam tanda petik, karena Tuhan disini artinya adalah konsep Tuhan per konteks. Jika konteks anda secara umum adalah Islam maka Tuhan adalah Allah. Pada kr****n, maka Tuhan adalah Tuhan Yesus. Pada Budha, maka (mungkin) Tuhan adalah pencerahan diri. Pada Atheis maka (mungkin) Tuhan adalah Humanisme. Pada Komunis maka (mungkin) Tuhan adalah kesejahteraan bersama. Pada Agnostik maka (mungkin) Tuhan adalah kebaikan hidup. Dlsb, dlsb. Begitulah. Walaupun konteks kita berbeda-beda, satu hal yang dapat saya tarik kesimpulannya adalah kita tetap saja sesungguhnya bisa secara berjamaah, bersekutu, berjemaat, berkumpul. Karena memang kebutuhan kita sama. Sama-sama sebagai manusia menjalani kehidupan ini. Sama-sama ingin saling berbagi. Apapun itu. 
 
Uraian penutup. Bagaimana cara kita menghadapi fenomena terorisme, kemerosotan moral, kejahatan, perang, kesenjangan sosial, dlsb. Kuncinya cuma satu. Pahami dunia orang lain tersebut sebagai dunia per konteks. Hidup per konteks sekuat hidup dalam jatuh cintanya masing-masing. Tentu kita bisa mahfum dan lebih kurang menghakimi kalau itu sedang melibatkan cinta. Lalu sesungguhnya apa bedanya dengan kejahatan? Bukankah itu hanyalah cinta dalam bentuk frustasi, kemarahan, penolakan, dsb? Dengan begitu kita sedianya telah mengetahui, pendekatan paling baik bagi orang yang tertolak cintanya tentu bukan dengan menghakimi belaka, melainkan pertama-tama dengan berempati dengan penuh cinta. Selayaknya seperti kita menerima sahabat kita yang sedang berkesusahan karena cintanya tertolak. Seperti itulah kita seharusnya dalam menghadapi fenomena kekerasan. Siap untuk mendengarkan/menjadi pendengar yang baik dari kesusahan cinta orang-orang yang ditolak.
 
Selamat tahun baru!
 
Salam,
Adhi Purwono.

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Meditasi: aliran mitologi, mitos dan logos (tulisan tahun 2006)
« Reply #9 on: 02 July 2008, 02:12:45 PM »
bang vincent, sekadar masukan.
saya merasa tulisan2 di atas bisa ditulis dengan lebih singkat dan sederhana. kesan saya membaca tulisan2 di atas seperti berputar2 pada sesuatu yg ada "di luar". terasa ada bagian yg kurang dari tulisan2 di atas, entah di mana. saya pikir kita bisa melihat lebih jelas kalo mengamati sesuatu yg ada "di dalam".
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Meditasi: aliran mitologi, mitos dan logos (tulisan tahun 2006)
« Reply #10 on: 02 July 2008, 02:14:02 PM »
Iya betul kata saudara morpheus...
Saya saja malas membacanya karena Dr A B C D kembali Ke A B C D....

Salam,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline vincentliong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 0
Re: Meditasi: aliran mitologi, mitos dan logos (tulisan tahun 2006)
« Reply #11 on: 02 July 2008, 02:17:45 PM »
Saya memposting beberapa tulisan ini atas permintaan karuna_murti

Tarik ke MMD Om Riky, ;D

Bisa dipost om vincent? Menarik juga nih, cuma harus subscribe yahoo group dulu :(

Offline vincentliong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 0
Re: Meditasi: aliran mitologi, mitos dan logos (tulisan tahun 2006)
« Reply #12 on: 02 July 2008, 05:02:22 PM »
bang vincent, sekadar masukan.
saya merasa tulisan2 di atas bisa ditulis dengan lebih singkat dan sederhana. kesan saya membaca tulisan2 di atas seperti berputar2 pada sesuatu yg ada "di luar". terasa ada bagian yg kurang dari tulisan2 di atas, entah di mana. saya pikir kita bisa melihat lebih jelas kalo mengamati sesuatu yg ada "di dalam".


Benar sekali pernyataan sdr Morpheus.
Seperti salahsatu balas-berbalas tulisan di forum dengan sdr nyanadhana di e-link: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,3444.msg56465.html#msg56465

"""""
Jadi apakah “Dhamma” yang dimaksut adalah semacam alat nge-test seseorang. Jadi bagaimana cara mengetest sesuatu tsb? Saya belum paham benar, sebab mengetest sesuatu menggunakan sesuatu yang mengetest dan yang di-test bisa menggunakan bahasa yang samasekali berbeda sehingga makin lama makin nga nyambung.

Kalau “Dhamma” yang dimaksut adalah semacam alat nge-test seseorang, lalu apakah alat test bisa diinjak?

Diskusi saya yang terakhir dengan Kainyn_Kutho agak nyambung.

Konsistensi saya adalah pada point tentang tekhik/metode dekon-kompatiologi.

Hal itu pun sulit sekali didiskusikan sebab mendiskusikan sesuatu dengan cara apapun tetap bukanlah sesuatu itu sendiri. Paling-paling asumsi-asumsi lagi jatuh-jatuhnya; asumsi before judgement, asumsi feel, judgement, generalisasi. Masalahnya ngomong perlu bahasa sekedar sesuatu itu sendiri tanpa kegiatan membahas sesuatu maka akan sulit sampai membawa ke sesuatu itu sendiri.

Mau konsisten di asumsi-asumsi atas sesuatu padahal asumsi itu satu diantara sekian banyak sudutpandang. Konsisten pada taraf asumsi-asumsi atas sesuatu hanya bisa jalan kalau yang dibahas adalah suatu doktrin yang tidak bisa diganggu gugat bukan suatu tekhnik/metode.
"""""

Visi saya di kompatiologi adalah membuat orang "menjadi diri sendiri"/ independensi. Di forum ini saya bisa ngoceh agak bebas, saya tetap berusaha bermain keseimbangan agar tidak terlalu dianggap tinggi dan tidak terlalu dianggap rendah.

Dalam mendidik orang dengan "menjadi diri sendiri"/ independensi problem utama adalah murid akan mengikuti segala omongan guru. Kalau saya terlalu terhormat maka sisi "menjadi diri sendiri" tidak tercapai, kalau terlalu rendah maka tidak ada yang berguru. Kadang2 saya harus berprilaku tenguil, bodo, bego, dlsb.

Adhi Purwono yang tulisannya saya lampirkan di atas sempat ikut saya dari tahun 2006an sampai 2007 pertengahan. Akhirnya saya yang dengan berat hati harus secara tegas menjaga jarak dengannya dengan harapan dia bisa berkembang menjadi dirinya sendiri tidak lagi ikut saya.

Andy Ferdiansyah yang menulis Catatan Harian seorang Pendekon yang isinya catatan hariannya mulai kenal saya, ikut saya sampai saya kick out dari kompatiologi malah saya kick out hanya 3 bulan setelah dia ikut saya. Akhirnya dia kembali lagi bertemu saya setelah 2 bulan tidak bertemu sebagai sahabat bukan guru dan murid lagi.

Ada lagi kasus yang berbeda dengan yang namanya Bimo Wikantiyoso. silahkan baca ceritanya.

Offline vincentliong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 0
Re: Meditasi: aliran mitologi, mitos dan logos (tulisan tahun 2006)
« Reply #13 on: 02 July 2008, 05:03:07 PM »
Selamat Datang Suhu Sufi Baru Bimo
e-link: <http://groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/287>

   Ditulis oleh: Drs. Juswan Setyawan   
 

        Bimo Wikantiyoso, S. Psi – penulis Kitab Air - adalah trainer Kompatiologi-praxis generasi pertama yang dihasilkan oleh Vincent Liong dalam program “Training for The Trainers.” Seorang ‘certified trainer’ seperti Bimo bukan hanya mampu meng-operate “receptive thinking” pada dirinya sendiri tetapi telah mampu untuk men-dekonstruksi memori orang lain sehingga selanjutnya juga akan mampu berpikir dengan kedua belahan otaknya sekaligus. Kini Bimo "diberi hak" menyandang gelar strata dua ilmu kompatiologi menjadi Bimo Wikantiyoso, S.Psi., M.Kmpt. dari Universitas Kehidupan.
 

        Namun, kemampuan “receptive thinking” juga membawa ‘efek samping’ yang dapat mengganggu kenyamanan hidup (comfort zone) seseorang. Dengan kemampuan baru ini – terutama bila belum terkendali dengan baik – orang dapat mengalami semacam “information flood” dari sembarang narasumber termasuk dalam bentuk “collective past memories” dari leluhur dan sebagainya. (Sebenarnya untuk mencegah “information flood” ini cukup sederhana lewat ‘command com.’ khusus kepada RAS dan PCS  – topik lain kali).
 

        Dalam kasus Bimo ternyata ia mendapat “information flood” yang mirip-mirip dengan kebanjiran nilai Buddhis dari zaman dahulu kala yang saat sekarang pun hampir tidak pernah dipraktekkan lagi. Nilai-nilai zaman dahulu sebenarnya harus diberikan makna semiotik menurut situasi dan kondisi sekarang dengan latar belakang pendidikan, wawasan serta sistem nilai masa sekarang pula yang telah diadopsi oleh Bimo.
 

        Informasi yang diterima ialah supaya Bimo menjalankan program “penghentian kebiasaan menyia-nyiakan makanan” (stop food disposal) yang disantap seseorang karena persediaan bahan makanan dunia sekarang ini semakin langka dan banyak orang mati atau menderita kelaparan di mana-mana. Banyak sekali manusia zaman sekarang yang tidak menghabiskan makanan yang diambilnya sendiri atau yang dipesannya dan meninggalkannya begitu saja tersisa di piringnya. Memang benar sisa makanan tersebut akan dikumpulkan oleh peternakan-peternakan untuk konsumsi ternak peliharaan.  Namun “the crucial point” bukan di sana. Makanan yang layak untuk dikonsumsi manusia dibuang begitu saja “sebagai sampah” untuk jadi makanan hewan sementara banyak manusia yang tidak mampu mengkonsumsi makanan yang layak bagi manusia itu sendiri.
 

        Pesan kedua ialah untuk appresiasi nilai soal “makan/pantang daging” mahluk bernyawa. Hendaknya manusia sedapat mungkin semakin mengurangi konsumsi daging ternak bila mungkin. Protein dan lemak hewani dapat diganti dengan protein dan lemak nabati yang umumnya lebih sehat dan dengan efek samping yang lebih sedikit. Jadi praksis ini akan menuntun ke arah cara hidup yang semakin vegetarian. Karena empatinya yang semakin intens maka Bimo dapat “merasa kasihan” kepada bebek-bebek yang tergantung pada lemari pajang suatu restoran yang menjual menu daging bebek. Ini berlaku juga untuk hewan lain seperti ayam, kambing dsb. “Bagaimana rasanya sekiranya anda yang menjadi bebek-bebek yang tergantung itu?” kilah Bimo saat menatap rekan-rekannya sedang asyik menikmati steak.  “Bagaimana rasa keterputusasaan mereka?” Maka, konklusi Bimo sebaiknya hewan-hewan itu segera “dibebaskan” dengan cara disantap sesuai tujuan semula pemotongannya. Sedapat mungkin mencegah agar jangan sampai membunuh hewan untuk menyantapnya. Namun apabila sudah terlanjur dibunuh maka seyogyanya orang segera “mengakhiri” penderitaannya.  Suatu tafsiran hermeunetik yang baru atas nilai-nilai yang lama?  Entahlah !
 

        Informasi yang diterima tersebut diterjemahkan oleh otak kiri Bimo dalam makna hermeneutika yang paling keras, entah karena ignoransia, entah karena dijadikan semacam “niat ingsun” atau “laku tapa brata” karena bagaimanapun Bimo memiliki residu “cult base” kejawen yang kental juga, terutama dari sisi warisan ayahnya. Bimo tidak akan makan kecuali “memakan sisa makanan” yang tidak dihabiskan oleh orang lain yang mengajaknya makan bersama. Itulah "the new way of life" dari Bimo, entah itu akan bersifat permanen atau hanya temporary atau transitional.


Kalau kita melihat tayangan film tentang para biksu di Thailand yang membawa mangkuk kuningan ke rumah-rumah para penganut awamnya, maka mereka itu selalu memberikan makanan baru “fresh from the oven” dan yang terbaik kepada para biksu itu. Tidak pernah terjadi bahwa para biksu itu diberikan makanan berupa sisa makanan dari keluarga yang bersangkutan. Tidak akan pernah pula karena dalam hal ini terdapat unsur respek yang tinggi kepada pemuka agama mereka.
 

        Anehnya, setelah ditinggalkan meninggal oleh ayahnya, maka Bimo mencukur gundul kepalanya sehingga memang mirip seorang biksu beneran. Dan entah akibat sinkronitas maka Bimo tak lama kemudian juga ditinggalkan oleh pacarnya (yang bermukim di kota lain) yang bahkan belum mengetahui penampilannya yang baru yang mirip Mr. Kojak itu. Apakah para leluhur telah menuntunnya ke jalan kehidupan wadat dan miskin menurut jalan asketisme mistikus masa lampau? Karena Bimo sendiri adalah seorang muslim maka lebih masuk akal bahwa mereka telah mengarahkannya kepada cara kehidupan para sufi; dalam hal ini seorang sufi modern yang memahami psikologi dan kompatiologi.
 

        Maka dari sekarang Bimo harus memulai tugas barunya untuk menjadi suhu resmi termasuk dosen daripada kompatiologi. Semakin lama ia menunda tugas ini maka apa yang ada padanya akan semakin dilepaskan - rontok satu per satu sampai kapok - dalam suatu proses “detachment” secara alamiah. Mula-mula ayahnya, kemudian pacarnya, berikutnya mungkin karirnya sampai ia “fully dedicated” untuk menjalankan “mission of life” nya sebagai guru pencerahan budi.
 

        Dengan demikian mulai sekarang terbukalah kesempatan bagi siapa saja untuk mendaftarkan diri untuk mempelajari kompatiologi praxis kepada Bimo, yang secara akademis memang sudah layak menjadi dosen. Mau privat less juga boleh terutama bagi mereka yang tebal rasa sungkan dan malu-malunya: psikolog kok belajar kompatiologi-praxis. Sebenarnya, "nothing to lose" juga bukan?! Mendingan dapat memakai dua cara untuk berpikir alih-alih cuma terbiasa memakai satu cara sehingga ada bonus 100 persen dan bahkan lebih. Orang dapat memperoleh skill baru berupa "instaneous receptive thinking" yang kualitasnya jauh melampaui "dialectical thinking" biasa. Alih-alih orang mati-matian berusaha memikirkan suatu solusi atas dasar past data, maka kini luberan solusi akan datang sendiri saat kita telah mampu mengaktivasi ketrampilan dasarnya yaitu "receptive way of thinking".
 

        Namun demikian para calon murid Bimo hendaklah tahu diri. Karena hidup Bimo sudah mulai model biksu atau sufi maka kelangsungan hidupnya juga sebagian akan tergantung kepada kebaikan hati para calon muridnya. Ia tidak mempunyai pekerjaan tetap kecuali job-job tertentu yang diberikan oleh psikolog yang sudah berlisensi untuk berpraktek. Inilah ironisnya dunia psikologi walaupun seseorang menggondol gelar sarjana psikologi tetapi ia tidak bisa mencari makan lewat bidang studinya sendiri karena yang boleh praktek sebagai psikolog hanyalah mereka dari strata dua. Dari mana biaya Bimo untuk studi strata dua saat ayahnya sudah meninggal dan ia sendiri tidak mempunyai pekerjaan tetap? Dunia akademisnya mana mau tahu karena itu risiko pilihannya sendiri dan tarsaksi jual beli ilmu sudah terjadi; gelar sudah didapat soal karir memang tidak pernah dijamin ada.  Tetapi penulis Kitab Air ini memang memiliki ciri tipologi manusia air yang tetap akan tenang, diam, menunggu bahkan sampai menguap kering kerontang oleh terik matahari, beku oleh hawa dingin atau membusuk di kubangan yang airnya tidak mengalir.

 
        Calon murid Bimo bila memberinya imbalan uang maka tetap saja ia tidak akan memakai uang itu untuk membeli makanan karena ia harus makan dari piring orang lain yang masih bersisa.  Apakah para calon muridnya tega memberikan kepadanya sisa-sisa makanan dari  piring mereka? Harus ! sebab kalau tidak, maka Bimo akan puasa sampai ada yang memberikan kepadanya sisa makanannya. Ini sebenarnya susah susah gampang. Pesan saja makanan yang agak banyak sehingga “tidak mungkin” dihabiskan sendiri, maka Bimo “terpaksa” menghabiskan semuanya itu. Inipun sebenarnya kasihan juga; bagaimana kalau sisa itu demikian banyak sehingga dapat membuatnya sesak nafas karena kekenyangan? Celakanya, Bimo akan makan semua sisa saus dan kuah yang orang tinggalkan. Ia juga akan memakai piring dan sendok bekas orang yang menggunakannya semula.

Kasihan benar bila Bimo mendapat murid yang penyakitan, sakit paru-paru, halitosis dsb. Oleh karena itu calon murid yang berpenyakitan harus berterus terang kepadanya sebelumnya untuk mencegah terjadinya efek samping yang kurang menyehatkan dirinya.

Di samping memberinya “makanan sisa” diharapkan juga para (calon) muridnya memberinya uang transport pp. dan juga angpao, karena ia toh harus hidup bukan?
 

       Inilah kisah “aneh tapi nyata” pada milenia ketiga dunia yang semakin tua ini. Mohon maaf seribu maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan pada hati Bimo, karena saya juga mendapat amanat untuk menulis artikel ini. Walaupun kini hati Bimo sudah seluas samudra yang mampu menampung segala jenis hinaan dan hal-hal yang meruntuhkan gengsi dan ego manusia biasa kita semua tetap prihatin terhadap “laku hidup” yang kini dipilihnya. Que sera sera Bimo; what will be will be. At the end – anyway - everything will be all good...  eventually.
 

Jakarta, 19 Agustus 2006.
Mang Iyus

Offline vincentliong

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 106
  • Reputasi: 0
Re: Meditasi: aliran mitologi, mitos dan logos (tulisan tahun 2006)
« Reply #14 on: 02 July 2008, 05:03:48 PM »
Wejangan Perdana Reshi Kompatisme Shri Bimo
e-link: <http://groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/291>

Ditulis oleh: Drs. Juswan Setyawan


        Selesai pelantikan apapun di negeri ini dan di mana saja selalu tokoh yang baru dilantik menyampaikan pidato pelantikannya (oratio credentialis). Tak terkecuali dengan pentahbisan Reshi Shri Bimo dengan alias “Pendeta Botak”, suatu gelar kehormatan yang diberikan sendiri oleh Master Kim Il Sen, “biang kerok” kompatiologi yang sekaligus sangat dibenci dan dicintai oleh banyak orang. Ia datang “membawa pedang” sehingga dunia menjadi semakin chaos untuk sementara untuk kemudian menjadi semakin sadar akan pentingnya komunikasi empati antara manusia dengan manusia, manusia dengan hewan, manusia dengan alam sekitar (Mother Gaia) dan manusia dengan Sang Pencipta (hablummin n’Allah wal hablummin an'nas – sorry kalau salah ejaan/taqlid, yang penting valuenya benar).
 

        Kalau hidup hanya untuk mencari makan maka hidup manusia tidak lebih dari tingkat hidup seekor hyena yang tidak mengandalkan akalnya untuk mencari makan tetapi cukup dengan cakar dan moncongnya. Ini inti pertama wejangan Reshi Shri Bimo yang sejajar dengan pendapat Dr. Laura Schlesinger dalam bukunya “How Could You Do That” (HarperCollins Publishers, 1996).

“You know the final excuse that really gets my hackles to full quivering attention? It’s when callers protest that they are “only human”. ONLY human? As if one’s humanness were a blueprint for instinctive, reflexive reactions to situations, like the rest of the animal kingdom. I see being “human” as the unique opportunity to use our mind and will to act in ways that elevates us above the animal kingdom.”
 

        Selanjutnya Laura mengatakan;
And it is largely with the 3 C’s that we accomplish that (i.e. “We were put on the earth to rise above nature.”) The 3 C’s are Character, Courage, and Conscience, without which we are merely gigantic ants instinctively filling out our biologically determined destiny.” (Schlesinger, p. 9)
 

        Menjadi mirip seperti hyena masih mendingan; bahkan lebih hina lagi kalau hanya seperti "semut raksasa". Badannya saja yang gede, otak dan hatinya tidak ada! Hewan hanya makan saat lapar saja untuk survive sekaligus demi keseimbangan ekologi tetapi hewan tidak menumpuk aset. Semut pun menumpuk makanan untuk masa paceklik dan untuk persediaan bagi anak-anak semut yang tidak berdaya. (Kalau anak sapi namanya gudel, anak semut apa ya namanya Bimo?)
 

        Lihatlah bagaimana indahnya manuver Bimo dengan “Ilmu Air”-nya menangkis dan menanggapi serangan “Angin Beracun” yang saya kirim kemarin. Ia menanggapinya dengan sersan “serius tapi santai”. Tidak melawan. Bila anda melempar batu atau tokay ke dalam air, maka air tidak pernah akan menolak tetapi menerimanya saja.  Bila anda menepuk air, maka muka anda sendiri yang kecipratan dan tangan anda sendiri yang akan terasa pedih akhirnya. Namun air setelah tergoncang sejenak akan tenang kembali.  Bimo menelan saja “penghinaan” dengan menganggapnya sebagai lelucon yang membangkitkan semangat. Bravo, Reshi Bimo, “Anda memang pantas mendapat bintang!” Betapa banyaknya insan di negara ini yang langsung angkat kelewang apabila merasa terhina barang sedikit bahkan saat baru pada taraf “merasa resah”. Namun, itu adalah ciri khas reaksi elemen Api dan bukan elemen Air. Maka agamapun memiliki dua ciri elemen yaitu elemen Api dan elemen Air, yang masing-masing atau membuat suasana menjadi panas seperti api neraka atau menjadi sejuk seperti angin firdaus.
 

        Pesan kedua dari wejangan Shri Bimo sarat dengan nilai apresiasi ekologi. Manusia dalam mengejar kebutuhannya telah bersikap sangat tidak empati kepada alam. Sekalipun tujuannya mungkin saja “tidak keliru”. Misalnya, berapa banyak pohon-pohon tropis ditebang untuk dijadikan bahan kertas yang selanjutnya akan dipakai untuk dicetak menjadi buku, majalah atau koran. “Mencerdaskan manusia” tetapi sekaligus dengan cara “menghancurkan alam” secara sangat “tidak cerdas” dan khianat di mana reboisasi dilalaikan, dana reboisasi dikorupsi, dan hutan dihancurkan tanpa tebang-pilih sehingga mengakibatkan banjir serta kekeringan di seluruh negeri. Manusia yang tidak mampu berkomunikasi empati dengan alam tidak hanya menghancurkan alam tetapi sekaligus menghancurkan dirinya sendiri. Segelintir manusia mengantongi devisa jutaan dollar untuk dirinya sendiri dan pada saat bersamaan membawa malapetaka bagi banyak rakyat kecil yang kehilangan segala-galanya. Lumpur panas Sidoarjo juga begitu intinya. Petani kehilangan sumber rezekinya karena sawahnya kebanjiran - atau kekeringan - dan para peladang mengalami kehilangan hal (humus) yang sama. 
 

        Ketiga, Reshi Shri Bimo mengemukan tema “penghematan makanan”. Dan ini bukan hanya dalam bentuk wacana yang indah-indah namun kosong melainkan justru dengan tindakan konkrit yaitu “hanya memakan sisa makanan yang tidak dihabiskan manusia lain”. Tindakan ini memang ekstrim dan radha masokhis di mata orang awam. Namun, bagi seorang Reshi hal itu adalah “suatu laku” yang biasa-biasa saja. Semoga ini dapat menjadi momentum bagi gerakan baru yaitu Gerakan Penghematan Pangan Nasional.
 

        Mungkin hal ini kelihatannya sebagai suatu res novum atau “barang baru” untuk kita - lewat kaca mata di negeri kita. Tetapi gerakan seperti ini telah lama terjadi secara alamiah, naluriah, dan merata di seluruh negeri Jepang misalnya. Duapuluhan tahun yang lalu saya diundang makan di sebuah restoran Jepang di Tokyo. Meja penuh dengan hidangan yang disaji dalam piring-piring mini seukuran piring untuk Tari Piring orang Padang. Di satu piring ada masakan berupa terong ukuran kecil dan hanya separuh pula. Pada pinggan yang lain ada dua tusuk sate. Ya ampun! Bagaimana pula cara makannya? Saya tidak berani mulai walaupun sebagai tamu dipersilakan terus. Lalu saya berbisik kepada rekan saya: “Bagaimana cara makannya?” Saya pikir terong itu sekali telan saja habis dan sate itu biasanya saya ambil 5 tusuk sekaligus. Dan kali ini hanya ada dua tusuk sate untuk enam orang. Rekan saya yang sudah paham akan dilema ini segera memberi contoh. Terongnya cuma dipotong dengan ujung sendok dan diambil secuil saja. Mungkin tidak cukup untuk mulut bayi pun!  Dan satenya cuma diambil dagingnya dua potong, potongan lainnya disisakan!  Masya’allah ribet banget deh!
 

        Sepulangnya dari perjamuan, eh rekan saya malah memuji penghematan model Jepang ini. Katanya, Jepang itu negara kaya tetapi sumber alamnya sangat terbatas, maka penduduknya secara alamiah dipaksa untuk hidup hemat. Kita bisa makan seberapa banyak kita mau. Kalau sate habis boleh pesan lagi, bahkan pesan seberapa kali pun. Namun semua pesanan itu akan habis dimakan dan terjamin tidak ada yang akan tersisa atau dibuang (seperti di hampir semua restoran kita).

Moral dari tatacara makan seperti itu juga ialah untuk menanamkan “sikap tahu diri” (self restraint) dan sikap untuk ‘memikirkan kepentingan orang lain” juga (altruisme - empatisme). 
 

        Dan kini Reshi Shri Bimo ingin kita semua mengadopsi dan memberi apresiasi terhadap perilaku konsumsi yang telah menjadi kebiasaan baik di seluruh rumah tangga dan restoran di negeri Sakura tadi.  Mungkin juga kebiasaan seperti itu sudah mendarah daging sejak zaman Ainu atau zaman Bushido di negara tersebut.  Saya pernah mendengar bahwa dalam kebudayaan Jawa juga terdapat adat semacam itu. Dikatakan bahwa “Dewi Sri akan menangis bila anak-anak tidak menghabiskan nasi di piringnya.” Jadi, Reshi Shri Bimo berkat infusi “memory floods” dari nenek moyangnya ingin mengangkat kembali nilai luhur lokal tersebut secara lebih kontemporer dengan tema modern tentang “Gaia Movement”. Eh, Bimo, emangnya elo mau segera mendaftar jadi anggota Green Peace?!
 

        Memang untuk semuanya itu perlu dan harus terjadi suatu “Paradigm Shift” dan diharapkan Reshi Shri Bimo akan memulai hal tersebut bukan dengan kata-kata tetapi dengan teladan nyata. Bukan dengan wejangan-wejangan basi tetapi lewat ilmu baru komunikasi empati.

Selamat berjuang kawan !  Para psikolog sejawat anda satu Alma Mater telah mulai antri untuk belajar "ilmu dekonstruksi memori" langsung dari anda. Dan mereka pasti tidak akan memboroskan makanan karena pasti akan menyisakannya untuk anda habiskan!  Benar-benar suatu "shock therapy" yang luar biasa. Bahkan lebih dashsyat dari kejutan "kursi listrik" psikiater kuno.  Ha ha ha...
 

Namaste,
 
Minggu, 20 Agustus 2006.
Mang Iyus





From: bimo
To: psikologi_transformatif [at] yahoogroups.com
Sent: Sunday, August 20, 2006 12:38 PM
Subject: [psikologi_transformatif] wah-wah kayaknya kok berlebihan...

begini yah saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang saling tergabung dalam ranah bawah sadar manusia... MERDEKA!!!  saya tidak pernah merasa bahwa saya melakukan segala sesuatu yang begitu menghebohkan, yang saya tahu adalah sya hanya membantu orang memahami apa makna kehidupan dengan memperkenalkan suatu persepsi baru dalam keseharian. bang juswan terima kasih atas pernyataanya yang sangat memberi semangat hihihihihi lucu juga anda menganggap saya seperti itu... tapi terimakasih. Semogal terhitung mulai dari hari ini saya mencoba setidaknya satu hari memuat satu tulisan. Bang juswan dan rekan-rekan sekalian, apa yang saya kerjakan hanya mencoba mencari makna dalam kehidupan ini. hidup itu bukan sekedar bertahan hidup, tapi memaknai hidup. hal ini dikarenakan dari sekian juta spesies yang ada di planet ini, hanya manusia yang mampu memaknai dan mengabstraksi segala tindak-tanduknya. apakah kemampuan ini hanya digunakan sebagai tools untuk mencari makan? kalo memang begitu "you all are so LAME" karena dengan ini berarti anda tidak lebih dari seekor hyena yang
menggunakan moncong dan cakarnya untuk berburu. hal ini dikarenakan bahwa akal budi hanya seperti cakar dan moncong yakni alat untuk mencari makan. Anda tahu betapa kesadaran manusia ini dibayar oleh alam dengan harga mahal? berapa banyak pohon, hewan harus mati agar manusia dan kesadaranya tetap hidup? Jutaaan.... apa balas budi kita pada alam? kita hanya sibuk untuk bertahan hidup tanpa pernah berpikir untuk apa hidup ini, padahal cost kehidupan kita paling mahal dibandingkan spesies lain. dengan keadaan ini, manusia tetap saja tidak sadar.. memakan makanan yang tersisa adalah cara saya untuk menghargai kontribusi alam dalam mesupport kesadaran saya. Saya mencoba dari hal yang kecil dulu, belum bisa jadi petapa yang cukup
makan embun dan semedi setiap saat, saya masih cinta seks dan alkohol dan maryuana... THEY RULES!!! tapi mohon rekan2 merenungkan betapa untuk menjaga kesadaran dalam sebuah spesies, mother nature memberikan yang terbaik pada anak2nya kenapa anak2nya hanya bermain untuk kesenangan sendiri tanpa memikirkan orang tua dan saudara2nya (dalam hal ini antar sesama manusia). betapa manusia masih egois seperti kanak2.. oleh karena itu mari belajar menjadi lebih dewasa. Cobalah bertanggung jawab dengan kesadaran kita... memang bikin hidup yang kusut ini jadi tambah ribet... tapi mana ada sih kedewasaan yang lebih mudah dari kanak2?

mencoba menyadari bahwa pikiran bukan hanya tools untuk mencari makan adalah perubahan paradigma yang paling mendasar. dan itu yang paling sulit.. namun caranya cukup sederhana yakni berkomunikasi antara kesadaran dengan alam dan berempati antara kesadaran dengan alam dengan paradigma yang baru yakni dengan jujur, atau boleh dikatakan vincent dkk kompatiology!!! So COOL!!!


From: bimo
To: vincentliong [at] yahoogroups.com
Sent: Mon Aug 21, 2006 8:53 pm
Subject: i'm not Reshi..

om yuswan- ckckckck terimakasih untuk masukannya boleh lah... All Right... hari ini saya ingin bicara tentang tahap selanjutnya dari topik bahasan kemarin. Kunci pertama dari kesadaran adalah menyadari bahwa anda sadar. Sadar betapa alam telah mengerahkan segala potensinya untuk memelihara kesadaran anda.. oleh karena itu hidup anda sangat amat berarti. Menyadari bahwa hidup adalah sebuah berkah bukan musibah
membuat anda mensyukuri hal itu. tapi omong2 bersyukur tentah berkah kehidupan mensyukuri sebuah rezeki bisa makan saja orang tidak semua orang menghargai kok. semuanya "take fo granted" memang seharusnya begitu.. rekan2 yang baik, kenapa saya mulai dari makanan, karena makanan adalah kebutuhan manusia paling dasar. berapa banyak dari rekan2 yang mengucapkan syukur hari ini bisa makan? tentu saja dihayati yah bukan ritual. kalo sudah habit mah susah atuh.. sebaiknya sih penghayatan. menghayati makanan. Rekan2 dengan menghayati pemenuhan kebutuhan mendasar anda maka anda bisa menghayati kebutuhan2 yang lebih tinggi. Dengan meminjam hirarki kebutuhan maslow maka kebutuhan mendasar yang makan dilakukan dengan penghayatan maka tidak salah juga untuk menghayati rasa syukur bahwa anda masih hidup sampai saat ini dengan betapa aman dan damainya anda saat ini. ah nggak banyak kriminalitas kok di jakarta. memang tapi betapa damainya anda dibandingkan orang2 lebanon dan irak syukurilah itu... cinta, penghargaan diri dan aktualisasi diri adalah kebutuhan tingkat tinggi dimana hanya segelintir orang mencapainya. hal ini saya kemukakan karena betapa jarang orang yang menghayati perasaan bahwa kedua kebutuhan tadi terpenuhi. apa bedanya cinta dan sex? apa bedanya penghargaan diri dengan arogansi? apa bedanya aktualisasi diri dengan anti sosial (menurut maslow orang yang mengaktualisasikan diri sering menghadapi friksi dengan sosial). rekan2 tercinta mari kita menghayati hal yang paling mendasar dalam hidup ini bahwa kita bisa makan. Baru kita memahami apa itu kebutuhan yang lainnya.. ok lah hari ini cukup dulu warnetnya nanti mahal bokek bo (maaf yah)... SALAM SEJAHTERA bagi anda semua